Kebijakan Perpolisian Masyarakat

* Kelemahan Konseptual atau Cacat Implementasi?

0leh: Tri Hendra Wahyudi

Di Indonesia kita mulai mengenal  model Perpolisian Masyarakat (Polmas) sejak tahun 2005, meski sejatinya semenjak tahun 2000-an wacana itu sudah muncul. Di negara lain mungkin Polmas dikenal dengan istilah berbeda, di Jepang lazim disebut sebagai Koban, di Amerika, Singapura, Inggris, kita mengenal istilahNeighbourhood Policing atau istilah sejnis lainnyayang essensinya tak jauh beda dengan pengertian Polmas di Indonesia. Secara general mungkin dapat ditarik benang merah, bahwa inti dari Polmas, Koban, Neighbourhood Policing atau istilah sejenis, bisa terwakili dalam satu frase “Community Oriented Policing (COP)”, atau jika di-Indonesiakan berarti Perpolisian yang berorientasi pada kebutuhan komunitas/masyarakat, yang kemudian lazim disingkat Perpolisian Masyarakat (Polmas). Jadi semangatnya adalah optimalisasi fungsi-fungsi kepolisian agar reliable dan adaptable terhadap dinamika sosial komunitas serta menciptakan raut wajah perpolisian yang lebih civilian.
Sebagai strategi, Polmas sekaligus menjadi kebijakan resmi Polri yang kemudian dijabarkan dan dilaksanakan melalui berbagai model tindakan. Melalui Surat Keputusan Kapolri No.737/2005, kebijakan Polmas diimplementasikan ke bagian terkecil dari lembaga kepolisian, yakni Polsek (Kepolisian Sektor) yang ada di tiap-tiap Kecamatan.[1] Petugas di Polsek inilah yang menjadi ujung tombak pelaksanaan Polmas. Meski kemudian ada kebijakan yang menyatakan bahwa seyogyanya semangat Polmas harus diemban oleh seluruh jarajan polisi, mulai pangkat terendah hingga Kapolri.
Di masing-masing Polsek, dibentuk petugas khusus yang disebut Petugas Polmas atau lazim disebut dengan istilah Babin Kamtibmas (Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat), yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut sebagai Petugas Polmas. Petugas Polmas ini mendampingi desa/kelurahan dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip Perpolisian Masyarakat sesuai yang digariskan dalam Surat Keputusan (SKEP) Kapolri.
Petugas Polmas, dalam Tupoksi idealnya bekerjasama dan berjejaring dengan seluruh stake holder di Desa/Kelurahan yang mereka dampingi, melalui apa yang disebut sebagai Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) yang langkah-langkah teknisnya ditetapkan melalui SKEP Kapolri No. 433/2006.[2] Meski beberapa kali strategi Polmas ini mengalami berbagai revisi, namun jika berpedoman pada frame filosofis “community oriented policing” sesungguhnya tidak ada pergeseran semangat dan essensi yang mendasar, hanya lebih pada revisi inkremental demi perubahan instrumen regulasi yang lebih aplikatif, akomodatif dan demi perbaikan piranti kelembagaan yang akuntabel dan responsif.
Sesungguhnya, tujuan mulia kebijakan Polmas dalam jangka panjang adalah membuat polisi lebih humanis, lebih menghargai HAM, mengedepankan pendekatan sosio-kultural termasuk menghormati aspek-aspek local-genius, serta mengutamakan metode dialogis dan partisipatif dalam menyelesaikan problem sosial Kamtibmas di masyarakat. Jadi, disamping polisi berkewajiban menyelesaikan kasus kriminal dan konflik sosial secara kuratif, juga mencegah timbulnya potensi tindakan kriminal dan konflik di masyarakat (preventif). Ini hanya bisa dilakukan jika petugas Polmas (sebagai ujung tombak) khususnya, maupun petugas Polisi pada umumnya memiliki bekal pemahaman sosial yang komperehensif, dan itu artinya tidak ada jalan lain selain membaur secara egaliter dengan komunitas yang didampingi. Itu asumsi ideal dari penerapan Polmas menurut SKEP Kapolri, yakni mengedepankan aspek pelayanan berbasis profesionalitas dan pemahaman sosial yang mumpuni. Tak salah jika dua tahun belakangan mulai dirilis kebijakan local boy for local job policing, meski hingga tulisan ini dibuat dampak dan capaiannya belum pernah diukur.
Namun demikian, dalam rentang waktu setengah dekade semenjak kebijakan  Polmas ini di-launching, rasanya masih banyak problem-problem relasional antara polisi dengan masyarakat di tataran komunitas yang belum juga teratasi, di Jawa Timur misalnya: bagaimana keterlibatan polisi dalam tindakan represif terkait kasus-kasus penertiban dan penggusuran (PKL, bangunan, lokalisasi, tempat hiburan, dll). Penyerbuan kelompok garis keras terhadap Ahmadiyah dan aktivis HAM, yang diantaranya polisi justru tak terlihat independen. Ada pula kasus salah tangkap dan penyiksaan di Jombang, hingga bentrok-bentrok dalam aksi demonstrasi mahasiswa yang menimbulkan korban di dua belah pihak. Masih ada kasus suap di dalam operasi-operasi penertiban lalu-lintas. Atau bagaimana pula posisi polisi ketika terjadi konflik antara buruh dan pengusaha dan masih ada sederet catatan lain yang mencerminkan buramnya track reccord (profesionalitas) polisi di lapangan dan kurang harmonisnya relasi antara polisi-masyarakat. Bukankah dua hal terakhir ini yang menjadi tujuan utama dari Polmas? Menjadikan polisi sebagai pelindung dan pelayan masyarakat yang profesional dan egaliter?
 Jika menilik dari masih banyaknya kasus konflik polisi-masyarakat, dan problem-problem Kamtibmas di tingkat komunitas yang tak kunjung terselesaikan,  bagaimanakah sesungguhnya konsep Polmas dalam konteks pelayanan publik beserta pelaksanaannya, jika dikaji dalam perspektif teoritis kebijakan publik?

Perjalanan Polmas dan implementasi di lapangan

Berdasarkan SKEP Kapolri 737/2005 dan No. 433/2006, Polres dan Polsek di seluruh Indonesia kemudian serentak ‘membentuk’ FKPM. Bersama jajaran Muspika lainnya (Komandan Koramil dan Camat), Kapolsek mengumpulkan seluruh Lurah di wilayahnya, memerintahkan untuk mengumpulkan warga dan tokoh masyarakat. Lalu memberikan ceramah soal Polmas dan urgensi pembentukan FKPM dalam waktu secepat-cepatnya. Melalui proses mobilisasi kilat, yang terkesan asal tunjuk, tiap-tiap Lurah diminta mengusulkan nama-nama yang akan dilantik menjadi pengurus FKPM di masing-masing desa/kelurahan. Sesudah nama-nama diserahkan, hanya dalam hitungan hari nama-nama itu dilantik menjadi pengurus FKPM, sebagai Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan Bendahara serta anggota. Tak heran jika kemudian dalam rentang 3 (tiga) bulan lebih dari 500 kepengurusan FKPM terbentuk di Surabaya. Bahkan hingga 2010 lalu menurut data Polrestabes Surabaya, tercatat ada sekitar 1.883 FKPM yang sudah terbentuk.
Proses mobilisasi yang sangat singkat ini berdampak pada lahirnya premanisasi yang terorganisir dengan nama FKPM. Ujungnya, kepolisian (Polsek) yang kelimpungan ketika harus ‘merawat’ FKPM bentukan mereka sendiri. Pengurus FKPM ini mulai menagih piranti-piranti simbolik kepada polisi, semacam seragam: rompi, jaket, topi,  kartu tanda anggota, dan fasilitas lainnya untuk meneguhkan eksistensi mereka sebagai kepanjangan tangan polisi. Belum lagi soal perilaku FKPM di lapangan yang seringkali menyerupai tindakan polisional.
Gejala negatif ini segera direspon Polri dengan merevisi instrumen hukum SKEP Kapolri No.433/2006 dengan Peraturan Kapolri (Perkap) No. 7/2008. Dengan maksud menghentikan upaya mobilisasi masyarakat melalui FKPM, dan memperluas pengertian Polmas sebagai bukan sekedar FKPM, tetapi mencakup berbagai model dan variannya yang lebih merepresentasikan karakter sosial lokal. Namun, perubahan yang niatnya baik ini justru membingungkan aparat kepolisian yang ada di lapangan. Selain akibat komunikasi yang buruk dalam menerjemahkan kebijakan hingga ke level terbawah, juga adanya beban moral Polsek yang terlanjur ‘membentuk’ pengurus FKPM di desa/kelurahan. Sebagai  pertanggungjawaban polisi terhadap proses sebelumnya, tak jarang Polsek memanfaatkan pengurus FKPM ini untuk hal-hal seremonial, bahkan untuk kepentingan politik di luar Kamtibmas.
Jika hal di atas terjadi, bukan masyarakat partisipatif yang dihasilkan oleh kebijakan Polmas. Melainkan akan lahir masyarakat taklukan polisi yang hanya menjadi perpanjangan tangan dari kekuatan Polisi.[3] Kemungkinan ini rasanya masih kental mewarnai proses perjalanan Polmas semenjak lima tahun yang lalu. Bahkan setelah direvisinya SKEP No. 737/2005 dengan Peraturan Kapolri No.7/2008, proses pembentukan FKPM melalui mobilisasi secara massif oleh Polres/Polsek masih berlangsung di beberapa daerah di Jawa Timur.

Perpolisian sebagai sebuah kebijakan pelayanan publik
Dalam pembukaan konstitusi Indonesia disebutkan, Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia. Pun dalam berbagai teori good governance danpublic service, sektor keamanan dan ketertiban biasanya diserahkan kepada negara sebagai penyelenggaranya karena berkaitan erat dengan hak asasi keselamatan per-individu, bahkan di negara-negara yang kita kenal liberal. Artinya, setiap urusan yang berkaitan dengan kebutuhan publik akan keselamatan dan keamanan tiap-tiap warganegara adalah tanggungjawab negara untuk memenuhinya. Ini diejawantahkan dalam pembentukan institusi penyelenggara Kamtibmas, diantaranya kepolisian.
Dengan logika di atas, Tupoksi dari kepolisian, sebagaimana diemban aparatur birokrasi yang lain, adalah  menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat sesuai yang telah digariskan dalam konstitusi dan dijabarkan dalam berbagai regulasi (lex specialis) dan kebijakan politik di bawahnya, terutama yang berkaitan dengan bidang Kamtibmas.
Untuk bisa menganalisa secara komperehensif problem konseptual dan epistemologis dari Perpolisian Masyarakat, harus kita runut lebih dahulu secara seksama landasan historis dan filosofis dari eksistensi institusi kepolisian dan kewenangannya, termasuk relasinya terhadap negara dan masyarakat. Baru kemudian dikaitkan dengan dasar regulasi lahirnya Kebijakan Polmas di Indonesia.
Sebenarnya, filososfi Polmas adalah bertujuan untuk mengembalikan Polisi kepada pemiliknya, yakni rakyat.[4] Karena pada masa pemerintahan kolonial, polisi adalah bagian dari pemerintahan dalam negeri yang bertugas melayani masyarakat dalam menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan masing-masing. Namun pada masa perang kemerdekaan, karena tuntutan semangat bela negara dan atas provokasi Jepang, polisi beralih fungsi menjadi pasukan bersenjata yang ikut berperang bersama tentara.
Idealnya, ketika revolusi bersenjata telah usai dan Indonesia meraih kemerdekaannya, seyogyanya polisi dikembalikan lagi kepada pemerintahan dalam negeri. Akan tetapi alih-alih mengembalikan polisi pada ‘khitah’nya, pada masa pemerintahan Orde Baru justru memasukkan institusi kepolisian dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI), dengan maksud menjadikannya sebagai bagian dari instrumen koersif yang mendukung kekuasaan hegemonik Soeharto. Hal ini berlangsung selama tiga dekade, hingga masyarakat menjadi lupa (dibuat lupa secara sistemik) bahwa ada model perpolisian yang civilian.
Pasca Reformasi 1998, kepolisian kembali dipisahkan dari TNI (ABRI) dengan harapan akan mampu mengurangi perilaku militeristik yang telah mengakar. Namun hingga satu dekade belakangan, tanda-tanda menuju ke arah polisi yang civilian itu belum jua tampak.
Dalam sejarah Indonesia, seperti disinggung di atas, memang yang bertanggungjawab penuh atas pelayanan ketertiban masyarakat adalah pemerintahan dalam negeri. Lembaga ini yang berwenang mengangkat pegawai administratif, dan mereka diberikan seragam khusus untuk sekedar membedakan dengan khalayak ramai. Pegawai administratif inilah yang kemudian kita kenal dengan nama Polisi.
Polisi ini hanya bertugas untuk menjaga ketertiban masyarakat, civic order. Polisi semacam inilah yang harusnya dihidupkan kembali oleh negara, atau setidaknya ini bisa menjiwai  kebijakan Polmas yang ada sekarang. Agar Polisi lebih mengedepankan aspek perlindungan dan keselamatan warga negara, daripada melindungi kepentingan pemerintah,[5]  yang kadang (bahkan seringkali) harus vis a vis dengan kebutuhan publik.
    
Kebijakan Polmas dalam perspektif good governance
Dalam teori kebijakan publik, minimal ada empat tahapan besar dalam sebuah kebijakan publik yang harus dicermati dengan seksama dan konsisten (step by step)agar kebijakan tersebut tepat sasaran (meet the goal). 
Tahap agenda settingTahapan ini tediri dari rangkaian proses panjang yang akan sangat menentukan kebijakan yang dihasilkan. Tahap awal adalah identifikasi problem sosial, yang kemudian dituangkan dalam naskah draft regulasi. Draft naskah ini disosialisasikan ke publik untuk mendapatkan masukan, kritik, bahkan penolakan. Namun semuanya dalam kerangka menuju naskah regulasi yang lebih sempurna. Proses ini  idealnya tak hanya berlangsung sekali, harusnya sosialisasi dilakukan terus menerus sebelum diajukan sebagai rancangan regulasi.
Setelah tahapan di atas terlewati, harus dilakukan assesment ke segenap stakeholder. Proses ini adalah tahapan terakhir menghimpun informasi dan menggalang masukan-masukan dari publik, lalu menggodoknya dalam forum-forum diskusi, sebelum sebuah rancangan kebijakan siap disahkan.
Tahap Formulasi Kebijakan. Tahapan ini terbagi dalam dua fase besar, yaitu tahapan legislasi (penetapan/pengesahan) kebijakan yang dilanjutkan dengan fase pencanangan program dan tujuan yang dijabarkan dalam regulasi-regulasi teknis di bawahnya.
Tahap Implementasi Kebijakan. Tahapan inipun terbagi dalam dua kegiatan besar yang bisa dilakukan secara bersamaan, yakni penyiapan dan penguatan struktur pelaksana di lapangan. Di sisi lain, intervensi sosial harus dilakukan sesuai arahan regulasi dan tujuan yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut.
Mengapa dua hal ini bisa dilakukan bersamaan, karena keduanya saling melengkapi. Penguatan infrastruktur dan suprastruktur bisa dilakukan bertahap sesuai kebutuhan masyarakat. Sebaliknya dari proses-proses intervensi tersebut akan terlihat aspek prinsipil dan konseptual apa saja yang harus dibenahi, dan menyusul diperbaiki sambil berjalan.
Tahap Evaluasi Kebijakan. Inilah tahapan akhir dari sebuah kebijakan. Apa yang bisa dievaluasi dari sebuah kebijakan? Pertama, adalah dampak langsung dari kebijakan tersebut. Idealnya dampak langsung itu sudah diperkirakan sebelumnya dari proses pembuatan rencana kebijakan. Dampak langsung yang ingin dicapai inilah yang menentukan sejauhmana intervensi ke masyarakat (kelompok sasaran) perlu dilakukan, termasuk dengan metode apa yang kompatibel. Kedua, dampak tidak langsung (outcome), semacam  perubahan sosial yang terjadi pasca pelaksanaan sebuah kebijakan. Perubahan itu terjadi bukan karena direncanakan sejak awal, namun lebih mengacu pada efek domino sebuah implementasi kebijakan. Baik dampak langsung maupun tak langsung, keduanya selalu berwajah ganda, positif dan negatif bagi kelompok sasaran kebijakan.
Dalam teori good governance, kegagalan sebuah kebijakan bisa disebabkan oleh dua aspek: adanya defisit legitimasi yang dimiliki oleh regulator dan instrumen yang ada gagal mengatasi problem sosial dan politik yg dihadapi. Sementara regulasi dikatakan  gagal mewujudkan tujuannya  jika “target group are not willing to complyor/and the regulation can’t be implemented.”
Dua hal ini mencerminkan kelemahan ‘regulator’ memahami permasalahan, sehingga tujuan yang ingin dicapai berbeda (bahkan bertentangan) dengan kebutuhan target group. Serta instrumen politik yang ada tak memadai untuk mengidentifikasi problem mendasar di tataran akar rumput, sehingga bisa dipastikan akan gagal dalam menentukan solusinya. Dari beberapa pertimbangan teoritis ini, saya akan mencoba mencermati kebijakan Polmas yang telah dilaksanakan selama kurang lebih setengah dekade oleh kepolisian Republik Indonesia.
Proses agenda setting dalam penetapan kebijakan Polmas ini terkesan seadanya. Dan terlebih, tim yang diberi mandat untuk mengidentifikasi problem Kamtibmas kurang komperehensif memahami problem di masyarakat. Meski telah melibatkan kalangan NGO, namun ide-ide dasar dari kepolisian masih mengemuka dalam redaksional akhir naskah regulasi. Indikator lemahnya agenda setting ini juga terlihat dari seringnya tambal sulam regulasi, mulai 2005, 2006, 2007 hingga 2008. Dan ini disempurnakan lagi dengan Peraturan Kapolri No. 8/2009 tentang prinsip-prinsip HAM dalam pelaksanaan Polmas. Selain menunjukkan adanya ketergesaan dalam penyusunan regulasi dan lemahnya assesment ke publik, revisi inkremental ini membuat pelaksanaan Polmas di lapangan carut-marut, karena landasan normatifnya berubah-ubah hampir tiap tahun. Apalagi mengingat proses sosialisasi internal di kalangan kepolisian tingkat bawah juga hanya setengah hati.
Dalam tahapan formulasi kebijakan, mungkin karena minimnya masukan dari lembaga independen yang mengamati kinerja kepolisian, atau bisa jadi karena lembaga kepolisian yang anti kritik, masih ada ketidaksinkronan antara regulasi dan goal yang ingin dicapai. Hingga munculnya Perkap No 7/2008 mengenai pedoman pelaksanaan Polmas, masih sering terdapat kata ‘pembentukan FKPM’, yang pasti akan diterjemahkan oleh aparat kepolisian di Polsek sebagai upaya mobilisasi dan mengoptimalkan potensi masyarakat untuk membantu kinerja kepolisian. Sementara, tujuan besar dari Polmas adalah membangkitkan semangat emansipatoris masyarakat dalam penyelenggaraan Kamtibmas di seluruh Indonesia, bukan mencetak masyarakat sebagai pembantu polisi. Kata pembentukan bermakna kontradiktif dengan ide partisipasi dan kemandirian, karena ‘pembentukan’  bernuansa top-down yang berarti menafikkan potensi inisiatif dan kemandirian dari masyarakat.
Dari sisi implementasi, terlihat ketidaksiapan struktur aparat di tingkat Polres dan Polsek. Kultur instruktif di lembaga kepolisian yang diadopsi dari norma militer membuat kebijakan Polmas dipandang oleh aparat di lapangan lebih sebagai sekedar ‘pelaksanaan tugas baru’ daripada proses ‘perbaikan kualitas pelayanan’. Tak heran jika kemudian pergantian kebijakan hanya dimaknai petugas polisi di lapangan sebagai ‘sekedar mengemban peran baru’ yang ruh filosofi Polmas-nya luput. Sehingga semangat regulasi dengan pemahaman perangkat pelaksana di lapangan tak berbanding lurus, atau bahkan berbeda secara diametral. Belum lagi petugas Polmas di lapangan tidak dilengkapi dengan pengetahuan yang mumpuni tentang HAM dan cara-cara pendekatan yang memprioritaskan aspek sosio-kultural, jadi jangan heran ketika penerapan Polmas ini  justru melahirkan penindasan baru.
Ada pula permasalahan pada aspek finansial yang tidak memadai sebagai kompensasi beban kerja petugas Polmas yang lebih berat. Seringkali alasan finansial ini yang mengemuka bagi petugas Polmas, dan hingga sekarang belum ada solusi. Apalagi jika rumor seputar ‘penyunatan’ anggaran petugas Polmas yang jumlahnya sudah kecil itu  benar-benar terjadi, bisa dibayangkan betapa menyedihkan nasib aparat ujung tombak Polmas di lapangan.
Demikian pula dalam proses intervensi, terdapat kesalahan yang fundamental. Sebagian tampak pada proses mobilisasi masyarakat dalam membentuk FKPM, seperti yang dijelaskan di paragraf sebelumnya. Kata kunci dari keberhasilan intervensi adalah pola komunikasi yang tepat dan egaliter. Prinsip semacam ini belum dimiliki oleh Petugas Polmas di lapangan yang notabene adalah petugas kepolisian alumni Lemdikpol lama, sehingga aspek HAM dan sosiologis belum diinjeksikan dalam kurikulum yang militeristik. Celakanya, tindakan tambal sulam lainnya berupa kursus/pelatihan singkat tentang HAM dan Polmas (oleh Polri), yang semula diharapkan bisa menjadi suluh, hanya menyentuh sebagian kecil aparat kepolisian. Sehingga peran serta civil society, yang diwakili NGO dan akademisi, mutlak dibutuhkan dalam proses ini.
Terakhir, dari sisi evaluasi kebijakan. Dari berbagai hasil evaluasi, baik oleh internal kepolisian maupun oleh NGO  yang concern terhadap kebijakan Polmas, yang muncul adalah nada-nada pesimis akan keberhasilan Polmas di seluruh wilayah. Di level nasional, riset yang dilakukan lembaga Imparsial tahun ini menyatakan bahwa mayoritas masyarakat tidak puas dengan kinerja pelayanan kepolisian secara umum, kecuali terkait penanganan terorisme. Bahkan hasil riset yangg dilakukan UII Yogyakarta dan Akpol pada pertengahan 2010, melalui metodologi kualitatif maupun kuantitatif, mereka menyebut kebijakan Polmas di tingkat Polda Jawa Timur secara umum dianggap gagal, meski ada catatan kecil keberhasilan di beberapa komunitas Kelompok Kerja COP (Community Orientet Policing) di beberapa kelurahan di Surabaya.
Terlihat dari hasil riset, kebijakan Polmas belum berhasil dan belum berimbas pada meningkatnya persepsi publik terhadap Polri. Dampak langsung kasat mata dari kebijakan Polmas di semua wilayah hanyalah lahirnya pengurus-pengurus FKPM. Alih-alih meningkatkan partisipasi dan kemandirian masyarakat, kebijakan Polmas justru berdampak tak langsung pada lahirnya pengurus FKPM yang di sebagian wilayah justru bermetamorfosis menjadi preman baru di wilayah masing-masing. FKPM menjadi sejenis Pamswakarsa yang pernah menjamur pasca reformasi 1998. Dalam bahasa teoritis, ini adalah indikasi privatization of force yang merupakan gejala kegagalan governinSebuah kegagalan negara mengidentifikasi danmengelola potensi Kamtibmas, terutama dalam konteks Polmas.

Kebijakan Polmas dan governability 

Salah satu alasan politis ketidakberhasilan kebijakan Polmas adalah adanya defisit legitimasi. Masyarakat sangat jengah dengan perilaku sebagian oknum kepolisian di pusat maupun di lapangan yang tidak mencerminkan profesionalisme sebagai penegak hukum. Di berbagai kesempatan Polri selalu berdalih, itu adalah perilaku oknum yang tidak bisa digeneralisasi menjadi perilaku institusional. Namun, jika trend yang sama terjadi di hampir di semua wilayah, di semua strata, semua bidang, selalu ada oknum yang berperilaku menyimpang, dan gejalanya sangat massif, hal semacam itu sesungguhnya tidak bisa lagi dikategorikan sebagai problem personal, oknum belaka. Melainkan ada indikasi problem struktural yang perlu ditelisik dan mendapat penanganan sistemik untuk mengatasinya, bukan hanya cukup dengan tindakan-tindakan punishman individual.
Dampak jangka panjang dari merosotnya legitimasi publik terhadap institusi kepolisian ini adalah adanya resistensi dari publik (target group) terhadap kebijakan Polmas. Alih-alih lahir empati dan partisipasi, bahkan publik mencibir Polmas sebagai program pembentukan spionase baru oleh polisi yang akan melakukan pengawasan melekat kepada masyarakat, seperti di era Orde Baru. Apalagi mengingat proses pembentukan FKPM yang seperti digambarkan di atas.
Kemungkinan terakhir dari perspektif good governance adalah, bahwa jika kebijakan Polmas tidak bisa diimplementasikan ke masyarakat dengan baik, bisa jadi karena secara konseptual program tersebut belum sempurna. Atau yang lebih menakutkan, ada problem lebih mendasar lagi, yakni kesalahan asumtif  Polri dalam memahami masyarakat, mengidentifikasi: positioning polisi dalam kerangka sosial, tugas dan kewenangan polisi dan apa saja kebutuhan masyarakat akan Kamtibmas.
Dari sisi konseptual, ternyata kebijakan Polmas semenjak awal telah mengandung potensi distorsif pada implementasinya. Ini didasarkan pada adanya kesenjangan pemahaman kepolisian secara institusional yang masih berparadigma state-oriented, dengan ruh kebijakan Polmas yang berkiblat pada community-oriented.Kesenjangan ini semestinya harus diselesaikan terlebih dahulu secara tuntas pada tingkat kelembagaan (Polri) sebelum beranjak pada kebijakan-kebijakan strategis lainnya.
Contoh nyata dari belum tuntasnya dekonstruksi paradigma state-oriented di lembaga kepolisian bisa diamati dari bagaimana perilaku arogan aparat polisi di lapangan saat bertugas, seringkali mereka menggunakan pendekatan kekuasaan, mengabaikan SOP yang telah ditetapkan. Seolah-olah hukum hanya berlaku bagi masyarakat, tidak bagi polisi yang merepresentasikan aparat negara. Ini disebabkan oleh faktor psikologis mereka yang masih kental dengan pendidikan kepolisian a’la  militer daripada pendidikan kepolisian yang civilian. Polisi lebih suka mengidentifikasi diri sebagai subjek penegak hukum dan masyarakat sebagai objek hukum semata. Contoh kedua yang paling  nyata, jargon mereka: Melayani, Melindungi dan Mengayomi Masyarakat! Dua kata pertama, ‘melayani dan melindungi’, dari sisi etimologis tidak terlalu bermasalah. Kata Melayani, mencerminkan polisi sebagai bagian dari birokrasi yang digaji dari uang publik sehingga berkewajiban menyelenggarakan public serviceseperti perangkat pemerintah lainnyaKata melindungi, relevan dengan eksistensi mereka yang dilatih khusus dan dipersenjatai, sehingga melindungi masyarakat dari ancaman kriminalitas adalah kewajiban mutlak setiap polisi. Sementara kata ‘mengayomi’, yang diadopsi dari bahasa Jawa, berkonotasi sangat feodalistik. Pengayoman biasanya diberikan oleh penguasa kepada rakyat jelata, atau diberikan oleh pemenang perang terhadap pihak yang ditakhlukkan. Jika kata ini diadopsi dalam jargon kepolisian, dengan demikian jangan disalahkan ketika relasi antara polisi dengan masyarakat menjadi sangan paternalistik, power-sentris.
Problem mendasar kedua dari institusi kepolisian adalah perlu tinjauan ulang positioning Polri dalam kerangka relasi public-state. Dalam situasi sosial yang harmonis, posisi polisi-masyarakat-pemerintah tentu tidak terlalu dipermasalahkan, bagaimanapun bentuknya. Tetapi dalam kondisi muncul conflic of interest antara masyarakat luas dan pemerintah/negara, yang tak jarang melibatkan jejaring konglomerasi bisnis, Polri ada di pihak mana? Semisal kasus sengketa PT Freeport, buruh dan masyarakat Papua lokal? Sementara Polri menerima dana dari PT Freeport, yang notabene itu melanggar ketentuan hukum. Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini harus dijawab Polri lebih awal sebelum merumuskan tentang konsep pelayanan publik kepolisian.
Yang terakhir, perdebatan klasik seputar Polmas. Bahwa ada distorsi makna dalam Polmas itu sendiri, dan ini adalah problem etimologis dan epistemologis yang harus dituntaskan hingga ke jajaran Polri paling bawah. Bahwa Polmas seringkali diartikan (oleh para penyusun regulasi bahkan hingga ke aparat kepolisian di tingkat Polsek) sebagai ‘Pemolisian Masyarakat’. Ini fatal dan berbahaya! Konsep dasar dari Polmas adalah agar polisi, terutama petugas kepolisian yang ada di suatu wilayah (misalnya Petugas Polmas) memperhatikan kebutuhan komunitas, bukan mengedepankan kepentingan pemerintah, apalagi kelompok pemodal yang kadang berkelindan dengan jejaring penguasa politik. Jika Polmas bermakna pemolisian masyarakat, seperti yang dipahami oleh mayoritas aparat polisi di lapangan, itu artinya Polmas boleh diartikan sebagai upaya kepolisian untuk memobilisasi masyarakat dalam rangka meringankan tugas-tugas polisi. Dengan dalih minimnya anggaran Polri dan jumlah personil polisi jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan luas wilayah yang harus ditangani. Dengan demikian, semangat emansipatoris yang seyogyanya diusung kebijakan Polmas akan tergerus dan takhluk pada kepentingan pragmatis Polri. Lalu, kebijakan Polmas yang hendak membongkar kejumudan relasi polisi-masyarakat yang timpang, hanya akan selesai pada tataran wacana.● 


Referensi:
-          Majalah SOROT (Jembatan Komunikasi Polisi-Warga) Edisi Juli-Agustus 2010. Pusham Unair Press. Surabaya 2010
-          Majalah SOROT (Jembatan Komunikasi Polisi-Warga) Edisi September 2009. Pusham Unair Press. Surabaya 2009.
-          Laporan tahunan Peningkatan Perpolisian Masyarakat di Jawa Timur. Pusham Unair. Surabaya 2008
-          Laporan tahunan Peningkatan Perpolisian Masyarakat di Jawa Timur. Pusham Unair. Suraba

Komentar

Selamat pagi...