Polisi dan pekerja MMP merasa perairan Bangka itu milik perusahaan tambang hingga tak boleh ada yang menyelam. Para wisatawan asal Belanda, Amerika, Swedia dan Jerman yang sempat merekam kerusakan alam bawah laut yang diduga dampak reklamasi MMP, dipaksa menghapus hasil dokumentasi. Kejadian ini sungguh mencoreng citra pariwisata Indonesia.
Empat wisatawan mancanegara yang tengah menyelam di perairan Pulau Bangka, Minahasa Utara, dipaksa naik ke darat dan dilarang menyelam oleh personil Brimob dan pekerja PT Mikgro Metal Perdana (MMP), Sabtu (31/5/14). Tak hanya melarang menyelam, pekerja tambang juga menghapus dokumentasi pemandangan bawah laut yang berhasil mereka abadikan.
Keempat wisatawan ini menumpang perahu yang disewa Murex Dive Resort ini, dari Amerika, Belanda, Swedia dan Jerman.
Angelique Batuna, pemilik Murex Dive Resort, mengatakan, empat turis ini menyelam sekaligus mendokumentasikan kerusakan laut yang diduga dampak tambang. Perairan itu memang lokasi biasa penyelam beraksi. “Mereka menyelam sejak pukul 9.00. Selang 30 menit, beberapa orang diduga pekerja MMP melempar batu.”
Tak berhenti di situ, perahu yang ditumpangi penyelam dipaksa mendarat. Penyelam dimintai keterangan. Mereka digiring ke kantor hukum tua (kepala desa) Ehe. Yang dicari tidak berada di tempat, hingga dipertemukan kepala Badan Perwakilan Desa.
Dalam pertemuan itu, kata Angelique, pekerja tambang melarang mereka menyelam di lokasi yang diklaim menjadi milik MMP, karena tidak memiliki izin.
“Sejak kapan kami harus minta izin menyelam di daerah itu?” protes Angelique. “Tempat itu, disebut Sipi, telah lama dipakai menyelam. Tak pernah ada yang melarang.”
Dokumentasi bawah laut dipaksa dihapus. Informasi dari para penyelam, reklamasi pantai di perairan itu berdampak kerusakan karang, menyebabkan air keruh dan banyak sedimentasi. “Sebagian besar dokumentasi dihapus. Hanya satu selamat, itupun gambar tidak jelas.”
Aksi ini mengguncang psikologis para penyelam. Turis mancanegara itu merasa diintimidasi dan berniat melaporkan kejadian pada kedutaan besar masing-masing. “Ini jelas aksi pembajakan perahu. Para penyelam, awalnya, menolak permintaan pekerja MMP pergi ke darat.”
Dia merasa heran, karena perusahaan tambanglah yang beroperasi ilegal di pulau itu. “Izin eksplorasi sudah dibatalkan MA. Sekarang malah menimbun laut dan melarang orang menyelam.”
Selain berjalan di luar prosedur, tindakan ini mencoreng citra pariwisata Sulawesi Utara, bahkan Indonesia. “Mereka tidak mengizinkan siapapun menyelam di situ. Mereka bilang laut itu sudah dibeli.”
Merty Meiskatulung, warga Desa Kahuku, membenarkan penuturan Angelique. Berdasarkan pemantaua, pekerja MMP, didampingi Brimob. Mereka melarang turis menyelam karena lokasi itu dinilai dimiliki perusahaan tambang. “Setelah itu, kamera yang dipegang oleh para bule diambil, lalu dihapus.”
Dia menyaksikan polisi dan pekerja MMP mendesak penyelam menghapus dokumentasi. “Karena mereka takut, terpaksa dihapus.”
Angelin Palit, direktur eksekutif Walhi Sulut, menyesalkan pelarangan ini. “MMP tidak berhak melarang siapapun menyelam di perairan Bangka.” Kejadian ini, katanya, menunjukkan MMP sangat tidak menghargai peraturan di Indonesia.
Dinas Pariwisata tak pernah larang penyelaman
Femmy Pangkerego, kepala dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Minut, ketika dikonfirmasi Mongabay, terkejut dan mengaku baru mendengar. Dia menyayangkan aksi pelarangan oleh pekerja MMP ini.
Femmy mengatakan, Disbudpar tidak pernah melarang wisatawan menyelam di perairan Minut termasuk Pulau Bangka.
Perairan Bangka menjadi bagian dari 12 titik penyelaman di Minut. Bahkan, berdasarkan penututan penyelam, ekosistem bawah laut di Bangka memiliki keunikan tersendiri.
Bagaimana dengan kerusakan laut dampak reklamasi perusahaan tambang? “Kalau benar, akan saya laporkan pada atasan. Sayang jika ekosistem bawah laut rusak, karena bisa mengurangi wisatawan.”
Luas Pulau Bangka sekitar 4.800 hektar, dengan 2.649 jiwa tersebar pada tiga desa yaitu Desa Libas, Kahuku, Ehe dan Desa Lihunu. Izin tambang biji besi itu pada areal sekitar 2.000 hektar, hingga akan ada relokasi kurang lebih 750 keluarga ke Sipi Kayu Bulan, di Kecamatan Likupang Timur.
Kini, perusahaan mulai eksplorasi dengan membuat jalan tambang dan reklamasi pantai. Operasional tambang dijaga Brimob.
Sejak awal, sebagian besar warga Pulau Bangka menolak tambang ada di sana. Mereka khawatir pulau rusak dan mematikan kehidupan mereka. Wargapun menggugat bupati dan perusahaan. Pada September 2013, putusan Mahkamah Agung keluar dan memerintahkan Bupati Minut mencabut izin tambang itu.
Dukung KLH usut tambang Bangka
Pada 26 Mei 204, Koalisi Penyelamatan Pulau Bangka mengeluarkan pernyataan bersama mendukung respon positif Sudariyono, deputi Kementerian Lingkungan Hidup bidang Penataan Hukum Lingkungan, yang menerima laporan pengaduan masyarakat Pulau Bangka. Bahkan, KLH segera mengirimkan pejabat pengawas lingkungan hidup untuk bergabung dengan tim dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sulawesi Utara. KLH segera meninjau dan melihat langsung kerusakan di sana.
Kasus tambang Pulau Bangka berlarut karena putusan MA tak digubris Bupati Minut yang terus memberikan izin ‘lanjutan’ kepada perusahaan. Keputusan MA No.291 K/TUN/2013 tertanggal 24 September 2013 oleh bupati dan MMP tetap tidak ada arti.
“Seorang kepala daerah pejabat negara justru tidak menganggap institusi penegak hukum sebesar MA yang kini dipimpin M. Hatta Ali. Ini bentuk perlawanan hukum oleh kepala daerah yang seharusnya tunduk pada perintah pengadilan,” kata Khalisah Khalid dari Walhi Nasional dalam pernyataan itu.
Koalisi ini terdiri dari Walhi, Jatam, Greenpeace, YLBHI, LMND, Tunas Hijau, Change.org, Kiara, dan KontraS.
Komentar
Posting Komentar