Seiring
pesatnya dinamika masyarakat modern yang ditandai dengan berkembangnya
hasil – hasil teknologi, ternyata berdampak sosiologis yang bersifat
regional, nasional bahkan internasionalpun semakin komplek. Namun
disamping memberikan dampak perubahan yang bersifat positif, tak kalah
pentingnya dinamika masyarakat modern yang semakin mengglobal itu,
ternyata menghasilkan pula dampak negatif berupa kejahatan semakin
terstruktur dari segi metode dan lintas negara, lintas benua
jaringannya. Dari kejahatan transnasional telah mengawali ke kejahatan
internasional.
Tantangan pelaksanaan tugas
kepolisian selalu berkait dengan keadaan dan perkembangan
lingkungannya, kejadian besar teror dunia yaitu kejadian bencana teror
bom Word Trade Centre (WTC) di New york Amerika Serikat tanggal
11 September 2001 telah mengguncang dunia, karena korbannya lebih dari
3000 orang. Tanpa diduga, pada tanggal 12 Oktober 2002 (tanggal, bulan
dan tahun masing – masing di tambah satu) teror bom terbesar kedua
terjadi di Indonesia, tepatnya di pulau Bali yang menewaskan 202 orang
dari berbagai negara. Kemudian disusul pengeboman hotel JW Marriot Jakarta tanggal 5 Agustus 2003, pengeboman di depan Kedubes Australia, Bom Bali II dan lain - lainnya.
Apabila ditengok kasus –
kasus teror bom yang menggonjang berbagai negara dunia sebelumnya
seperti di Amerika Serikat, Inggris, India, pakistan dan sebagainya
dimana kepolisiannya mempunyai sarana dan prasarana yang modern dan
lengkap ternyata belum mampu mengungkap kasus – kasus tersebut, lebih
ironis Amerika Serikat menggunakan “pasal gregetan“ menuduh Osamah bin Laden dengan kelompoknya Al-Qaedanya tanpa proses hukum yang valid dan tanpa pengadilan yang fair.
Kepolisian Negara Republik
Indonesia dengan segala keterbatasan sarana dan prasaran ternyata mampu
mengungkap kasus – kasus besar teror bom yang telah terjadi ditanah air.
Sebagai contoh keberhasilan pengungkapan kasus bom periode 1999 – 2001
tercatat 163 kasus bom terungkap 104 kasus (70%), periode 2002 – 2004
terjadi 37 kasus berhasil diungkap 42 kasus (125%), keberhasilan
tersebut disamping mengharumkan Polri dimata dunia internasional tetapi
juga bangsa dan negara Indonesia.
Salah satu pengalaman Polri yang sangat spektrakuler adalah pengungkapan kasus – kasus bom dengan menggunakan metode scientific crime investigation
(penyidikan secara ilmiah). Pengungkapan Kasus Bom Bali pada awalnya
banyak diragukan berbagai pihak, apa mungkin Polri mampu mengungkapnya?
Bahkan ketika setahap demi setahap mulai menapak mengungkap bom bali
langsung terdengar tuduhan tak sedap, Polri telah merekayasa kasusnya.
Keberhasilan tersebut
tentunya tidak lepas dari keterpaduan fungsi dan peran para ahli
forensik dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berawal
dari pengolahan Tempat Kejadian Perkara (TKP) dengan melakukan
pemeriksaan dan menghubungkan micro evidence (barang bukti mikro), seperti pengungkapan identitas korban menggunakan pemeriksaan sidik jari (daktiloskopi), pemeriksaan deoxirybose nucleic acid (DNA), Serologi / darah, Odontologi Forensik (pemeriksaan gigi), disaster victimiIdentification
(DVI) dan lain lain. Pengungkapan dengan menggunakan ilmu kimia, fisika
dan lain – lain termasuk proses pelacakan salah satu tersangka yang
didasarkan nomor seri kendaraan bermotor (nomor rangka dan nomor mesin)
dengan metode penimbulan kembali (re-etching) nomor – nomor
tersebut yang telah dirusak dengan reaksi kimia tertentu, serta
penentuan bahan isian bom yang ditemukan di TKP yang identik dengan
bahan yang ada di tubuh, pakaian, rumah, kendaraan tersangka.
Sebagaimana di ucapkan oleh Kepala Kepolisian Federal Australia (AFP = Australian Federal Police)
Commisioner Mc. Keelty bahwa keberhasilan Polri dalam menangani teror
bom adalah prestasi standar internasional, karena kepolisian berbagai
negara tidak berhasil mengungkap teror bom dalam waktu relatif singkat.
Berdasarkan Pasal 14
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia menyebutkan salah satu tugas kepolisian adalah melakukan
penyidikan. Penyidikan diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana yang menjelaskan bahwa penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya.
Dalam upaya mencari dan
mengumpulkan bukti dalam proses penyidikan, penyidik diberi kewenangan
seperti yang tersirat dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP yang
menyatakan bahwa mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara dan Pasal 120 ayat (1) KUHAP
menyatakan dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat
orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
Pengertian mendatangkan para
ahli / memiliki keahlian khusus tersebut salah satunya dapat dipenuhi
oleh Laboratorium Forensik, dimana sesuai dengan Keputusan Kapolri No :
Kep / 22 / VI / 2004 tanggal 30 Juni 2004 tentang perubahan atas
Keputusan kapolri No. Pol. : KEP / 30 / VI / 2003 tanggal 30 Juni 2003
tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan-satuan Organisasi pada Tingkat
Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia lampiran ”G” Bareskrim
Polri Laboratorium Forensik mempunyai tugas membina dan melaksanakan
kriminalistik / forensik sebagai ilmu dan penerapannya untuk mendukung
pelaksanaan tugas Polri yang meliputi : kimia forensik, narkotika
forensik, biologi forensik, toksiologi forensik, fisika forensik,
ballistik forensik serta fotografi forensik.
Untuk menanggulangi kejahatan yang
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti tersebut di atas
hanya dapat ditanggulangi dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi pula. Proses penyidikan kejahatan dengan menggunakan teknologi
yang lazim disebut penyidikan secara ilmiah atau “scientific crimeiInvestigation / SCI penyidikan secara ilmiah) dimana peran dan fungsi tersebut sebagian diemban oleh Laboratorium Forensik. Dan ”term” scientific crime investigation telah
teruji dalam proses pengungkapan kasus – kasus yang menggunakan ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagaimana dibahas sebelumnya.
Kalimat bijak mengatakan ”tak kenal maka tak sayang
..”, untuk itu agar kita lebih mengenal Laboratorium Forensik khususnya
bagi anggota, umumnya bagi siapa saja yang mempunyai keinginan untuk
mengetahui lebih jauh, berikut adalah catatan kecil tentang Laboratorium
Forensik Bareskrim Polri
1. Sejarah Laboratorium Forensik Bareskrim Polri
a. Periode 1954 – 1959
Kelahiran Labfor tidak
terlepas dari sejarah berdirinya NCB / Interpol. Dimana pada bulan Mei
1952, dua utusan dari Kejaksaan Agung dan Djawatan Kepolisian Negara
menghadiri sidang ke-21 Majelis Umum ICPO / Interpol sebagi peninjau dan
pada tahun yang sama Indonesia memutuskan untuk masuk menjadi anggota
ICPO / Interpol.
Sebagai syarat diterimanya Polri menjadi anggota Interpol, salah satunya Indonesia
harus sudah menerapkan atau menggunakan Ilmu Forensik. Dengan
ditunjuknya DKN sebagai Biro Pusat Nasional Indonesia (NCB Indonesia)
maka pada tanggal 15 Januari 1954 dengan order Kepala Kepolisian Negara
Nomor : 1 / VIII / 1954, dibentuklah Seksi Interpol dan Seksi
Laboratorium, di bawah Dinas Reserse Kriminil. Dan
Seksi Laboratorium pada saat itu bertugas melakukan pemeriksaan
surat-surat / dokumen dan pemeriksaan senjata api / Balistik.
Pada tanggal 16 april
1957 didirikan Laboratorium Kriminil Cabang Surabaya dengan Surat
Keputusan Kepala Kepolisian Negara Nomor : 26 / Lab / 1957 dan
ditempatkan secara adiministratif di bawah Kantor Komisariat Jawa
Timur. Dan dengan bekerja sama Depot Pharmasi Depkes di Surabaya dan
kamar mayat di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya maka dimulailah
kegiatan-kegiatan pemeriksaan ilmiah laboratoris di bidang kimia.
b. Periode 1959 – 1963
Dengan peraturan Menteri
Muda Kepolisian Nomor : 1 / PRT / MMK / 1960 tanggal 20 Januari 1960,
Seksi Laboratorium dipisahkan dari Dinas Reserse Kriminil Markas Besar
Polisi Negara dan ditempatkan langsung di bawah Komando dan Pengawasan
Menteri Muda Kepolisian dengan nama Laboratorium Departemen Kepolisian.
Hal ini dimaksud agar semua dinas operasional di dalam lingkungan
Kepolisian Negara dapat memanfaatkan jasa-jasa Laboratorium Kriminil.
c. Periode 1963 – 1964
Dengan Instruksi Menteri /
Kepala Staf Angkatan Kepolisian No. Pol : 4 / Instruksi / 1963 tanggal
25 Januari 1963, dilakukan penggabungan Laboratorium Departemen
Kepolisian dengan Direktorat identifikasi menjadi Lembaga Laboratorium
dan Identifikasi Departemen Kepolisian.
d. Periode 1964 – 1970
Dengan semakin meningkatnya
kualitas dan kuantitas kegiatan, maka dengan Surat Keputusan Menteri /
Panglima Angkatan Kepolisian No. Pol : 11 / SK / MK / 1964 tanggal 14
Pebruari 1964, Lembaga Laboratorium dan Identifikasi dipecah kembali
menjadi Direktorat Laboratorium Kriminil dan Direktorat Identifikasi.
e. Periode 1970 – 1977
Dengan Surat Keputusan
Menteri Pertahanan Keamanan / Panglima Angkatan Bersenjata Nomor: Skep /
A / 385 / VIII / 1970, Direktorat Laboratorium Kriminil yang tadinya di
bawah Kepala Kepolisian menjadi berada di bawah Komando Utama Pusat
Reserse dengan nama Laboratorium Kriminil Koserse.
Pada tahun 1972 Laboratorium
Kriminil Koserse dipercayakan oleh Pimpinan Polri untuk melaksanakan
Operasi Narkotik “B”. Di sini terlihat, bahwa Laboratorium Kriminil
bukan saja hanya dibebani tugas bantuan teknik penyidikan (represif),
tetapi juga diberi tugas dalam bidang preventif dan pembinaan
masyarakat.
Dan pada tahun 1972 dibentuklah Labforcab Medan yang melayani Aceh, Sumut, Padang, dan Riau.
f. Periode 1977 – 1984
Sejak tanggal 1 Juli 1977
dengan Surat Keputusan MENHANKAM/PANGAB Nomor : SKEP / 15 / IV / 1977
dan Surat Keputusan KAPOLRI No. Pol. : SKEP / 50 / VII / 1977,
Laboratorium Kriminil ditetapkan sebagai Badan Pelaksana Pusat di
Tingkat Mabes Polri yang berkedudukan langsung di bawah Kapolri.
Pada tanggal 9
Desember 1982 dibentuk Labforcab Semarang yang melayani Jawa Tengah dan
Yogyakarta serta tugas khusus sebagai teaching laboratory bagi taruna
Akpol dan pendidikan sejenis lainnya
g. Periode 1984 -1992
Pada tahun 1984 terjadi
perubahan tentang kedudukan Laboratorium Kriminal Polri yaitu dari
langsung di bawah Kapolri menjadi berkedudukan di dalam Direktorat
Reserse. Tetapi pada tahun yang
sama terjadi perubahan lagi kembali menjadi berkedudukan di bawah
Kapolri, dengan tugas membina Fungsi Khusus Kriminalistik, dan
menyelenggarakan serta melaksanakan fungsi tersebut dalam rangka
mendukung pelaksanaan tugas fungsi Reserse Kepolisian dan fungsi-fungsi
operasional lainnya serta pelayanan umum Polri.
Pada tahun 1985 dibentuklah Labforcab Makassar yang melayani Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya.
h. Periode 1992 – 2001
Berdasarkan Surat Keputusan Pangab No. Kep/11/X/1992, tanggal 5 Oktober 1992 Laboratorium Kriminil berubah nama menjadi Pusat Laboratorium Forensik.
Dan pada tanggal 3 Maret 1999 dengan Keputusan Kapolri No. Pol : Kep / 11 / III / 1999 dibentuk dan disahkan Laboratorium Forensik Cabang Palembang dan Denpasar.
i. Periode 2001 – 2010
Berdasarkan Surat Keputusan
Kapolri No. Pol. : Kep / 9 / V /2001, tanggal 25 Mei 2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Mabes Polri, Puslabfor kembali menjadi bagian
dari Korserse Polri dan dengan Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep /
53 / X / 2002 dengan perubahan Korserse menjadi Bareskrim maka sampai sekarang Puslabfor berkedudukan di bawah Bareskrim Polri atau menjadi Puslabfor Bareskrim Polri.
j. Periode 2010 – sekarang
Berdasarkan Peraturan
Kapolri nomor 21 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Mabes
Polri, Puslabfor tetap berada dibawah struktur Bareskrim Polri bersama
Pusinafis dan Pusiknas. Dalam organisasi baru terdapat beberapa
perubahan dan penambahan antara lain penambahan bidang baru yaitu bidang
Narkobafor, penambahan subbid Komputer Forensik serta beberapa
perubahan nomeklatur dan titelaturnya.
Saat ini Puslabfor Bareskrim Polri telah mempunyai 6 Labforcab yang tersebar di Medan, Palembang, Semarang, Surabaya, Makasar dan Denpasar
Dalam rangka peningkatan pelayanan sesuai tugas pokok, fungsi dan perannya, Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi akan segera di bangun Labforcab Balikpapan, Pontianak, Pekanbaru dan Papua.
Saat ini Puslabfor Bareskrim Polri telah mempunyai 6 Labforcab yang tersebar di Medan, Palembang, Semarang, Surabaya, Makasar dan Denpasar
Dalam rangka peningkatan pelayanan sesuai tugas pokok, fungsi dan perannya, Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi akan segera di bangun Labforcab Balikpapan, Pontianak, Pekanbaru dan Papua.
2. Areal Service Labfor Polri
a. PUSLABFOR BARESKRIM POLRI (JAKARTA) :
1) Polda Metro Jaya
2) Polda Jawa Barat
3) Polda Banten
4) Polda Kalimantan Barat
5) Back up seluruh cabang
5) Back up seluruh cabang
b. LABFOR CABANG MEDAN :
1) Polda Aceh
2) Polda Sumatera Utara
3) Polda Sumatera Barat
4) Polda Riau
5) Polda Kepulauan Riau
c. LABFORCAB SURABAYA :
1) Polda Jawa Timur
2) Polda Kalimantan Tengah
3) Polda Kalimantan Selatan
4) Polda Kalimantan Timur
d. LABFORCAB SEMARANG :
1) Polda Jawa Tengah
2) Polda Daerah Istimewa Yogyakarta
3) Tugas khusus khusus sebagai teaching laboratory bagi taruna Akpol dan pendidikan sejenis lainnya.
e. LABFORCAB MAKASAR :
1) Polda Sulawesi Selatan
2) Polda Sulawesi Tenggara
3) Polda Sulawesi Utara
4) Polda Sulawesi Tengah
5) Polda Gorontalo
6) Polda Maluku
7) Polda Maluku Utara
8) Polda Papua
f. LABFORCAB PALEMBANG :
1) Polda Sumatera Selatan
2) Polda Lampung
3) Polda Jambi
4) Polda Bengkulu
5) Polda Bangka Belitung
g. LABFORCAB DENPASAR :
1) Polda Bali
2) Polda Nusa Tenggara Barat
3) Polda Nusa Tenggara Timur
3. Kewenangan
formal Laboratorium forensik
Dalam pelaksanaan tugas pokok, fungsi
dan peran Labfor Polri selama ini antara lain didasarkan kepada :
a. UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana
b. UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara RI.
c. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1173
/ Menkes / SK / X / 1998 tentang Penunjukan Laboratorium pemeriksa Narkoba dan
Psikotropika.
d. Surat Edaran Jaksa Agung RI No. 5 / KRI
/ 2589 perihal penunjukan Labkrim Polri
untuk pemeriksa tulisan.
e Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. 808 /
XII / 1983 perihal penunjukan Labkrim Polri sebagai pemeriksa barang bukti
kasus kasus pidana umum.
f. Surat edaran Jaksa Agung RI No. SE /
003/SA/2/1984 tentang keterangan ahli mengenai tanda tangan dan tulisan sebagai
alat bukti.
g. Peraturan Kapolri nomor 21 tahun 2010
tentang susunan organisasi dan tata kerja satker Mabes Polri.
h. Peraturan Kapolri nomor 10 tahun 2009
tentang tata cara permintaan bantuan kepada Labfor Polri
4. Peran Laboratorium Forensik
Dalam Penegakan Hukum.
Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan
salah satu tugas kepolisian adalah melakukan penyidikan. Penyidikan diatur
dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjelaskan
bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Dalam upaya mencari dan mengumpulkan
bukti dalam proses penyidikan, penyidik diberi kewenangan seperti yang tersirat
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf h KUHAP yang menyatakan bahwa mendatangkan orang
ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara dan Pasal 120
ayat (1) KUHAP menyatakan dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta
pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
Pengertian mendatangkan para ahli /
memiliki keahlian khusus tersebut salah satunya dapat dipenuhi oleh
Laboratorium Forensik, sehingga Laboratorium Forensik dapat berperan dalam tiap tahapan
proses penegakan hukum sebagai berikut :
a. Tahap penyelidikan
Pada proses penyelidikan, penyelidik mempunyai wewenang untuk mencari
keterangan dan barang bukti. Selain itu, penyelidik bersama-sama penyidik yang
telah menerima laporan segera datang ke TKP dan melarang setiap orang untuk
meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan belum selesai untuk menjaga status
quo. Dalam rangka penanganan TKP ini,
penyelidik maupun penyidik berusaha
mencari barang bukti yang nantinya akan dilakukan pemeriksaan di
Laboratorium.
Untuk mengenali, mencari,
mengambil dan mengumpulkan
barang bukti tersebut diperlukan ketelitian, kecermatan dan pengetahuan
atau keahlian mengenai bahan atau barang bukti tersebut. Oleh karena itu, tahap ini perlu melibatkan
Laboratorium Forensik.
Sebagai contoh kasus narkotika, pemalsuan produk industri, kebakaran, pembunuhan,
peledakan, pencemaran lingkungan hidup /
limbah dimana barang buktinya sering bersifat mikro yang keberhasilan penemuan
dan pemeriksaan sangat tergantung terhadap teknologi yang dipergunakan.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium tersebut nantinya dapat dijadikan
petunjuk dalam proses penyelidikan / penyidikan lebih lanjut.
b. Tahap penindakan
Salah satu kegiatan penindakan adalah melakukan penyitaan terhadap barang
atau benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Dalam hal
melakukan penyitaan terhadap benda atau barang yang berbahaya atau mudah
terkontaminasi, cara pengambilannya memerlukan peralatan atau penanganan
khusus, maka diperlukan dukungan teknis dari Laboratorium Forensik untuk
menangani barang bukti tersebut. Sebagai
contoh kasus pencemaran lingkungan, keracunan, kebakaran dan sebagainya.
Dengan demikian, diharapkan bahwa barang bukti yang kemudian hari akan
dilakukan pemeriksaan di Laboratorium tidak mengalami perubahan atau
terkontaminasi, sehingga hasil pemeriksaan yang dilakukan akan sesuai dengan
sifat asli barang bukti tersebut. Peran
Laboratorium Forensik pada tahap penindakan sangat diperlukan yaitu pada
pengambilan barang bukti atau sampling serta pengamanan atau pengawetan barang
bukti yang akan diperiksa di laboratorium.
c. Tahap pemeriksaan
Pemeriksaan merupakan kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan
keidentikkan tersangka dan atau saksi atau barang bukti, sehingga kedudukan
atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut
menjadi jelas.
Salah satu kegiatan pada tahap pemeriksaan yang berhubungan dengan
Laboratorium Forensik antara lain bahwa penyidik dapat meminta pendapat orang
Ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Sepanjang pendapat orang Ahli
yang diminta penyidik tersebut berhubungan dengan barang bukti, maka Ahli
tersebut akan melakukan pemeriksaan atau analisa barang bukti di laboratorium.
Sebagai contoh pemeriksaan kandungan zat aktif dalam narkotika, pemeriksaan
racun dalam organ tubuh, pemeriksaan keaslian tulisan tangan, sidik jari pada
senjata api dan sebagainya.
Dimana hal-hal tersebut memerlukan pemanfaatan teknologi yang dimiliki oleh
Laboratorium Forensik.
d. Tahap penyelesaian dan penyerahan
berkas perkara.
Tahap ini
merupakan tahap akhir dari proses penyidikan. Dimana dalam hal penyidik telah
selesai melakukan penyidikan, maka penyidik wajib segera menyerahkan berkas
perkara itu kepada Penuntut Umum. Susunan berkas perkara, antara lain Berita
Acara Pemeriksaan Ahli mengenai barang bukti.
Dengan demikian,
maka peran Laboratorium Forensik pada tahap ini adalah melakukan pembuatan
Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik dan menyerahkannya kepada
penyidik.
e. Tahap penuntutan
Peran Laboratorium Forensik Polri
dalam hal proses penuntutan, Penuntut Umum
dapat melakukan konsultasi dengan
pemeriksa Ahli dari Laboratorium Forensik tentang hasil pemeriksaan laboratoris
kriminalistik, sehingga unsur pidana yang didakwakan kepada tersangka menjadi
lebih akurat. Selain itu, dalam hal Jaksa melakukan penyidikan kasus tindak
pidana khusus, maka jaksa sebagai penyidik dapat mengirimkan barang bukti untuk
diperiksa oleh Ahli di Laboratorium Forensik.
f. Tahap peradilan
Peran Laboratorium Forensik Polri
dalam tahap Peradilan, menurut KUHAP Pasal 184 ayat 1, ada 5 (lima) alat bukti yang sah, yaitu :
1) Keterangan
Saksi.
2) keterangan Ahli.
3) Surat.
4) Petunjuk.
5) Keterangan Terdakwa.
Dari
ke-5 (lima) alat bukti tersebut diatas, minimal 3 (tiga) diantaranya dapat
diemban oleh laboratorium forensik Polri yaitu keterangan ahli, surat dan petunjuk
berdasarkan hasil pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan pemeriksaan
laboratoris barang bukti dalam bentuk produk pemeriksaan laboratorium forensik
Polri.
5. Jenis
Pelayanan Laboratorium Forensik Polri
Laboratorium Forensik
memberikan pelayanan bagi Aparat Penegak Hukum serta masyarakat umum yang
memerlukan jasa pemeriksaan / pelayanan umum untuk mendapatkan rasa keadilan
dan atau keperluan lainnya.
a. Bidang Dokumen dan Uang Palsu Forensik
(Biddokupalfor)
Bertugas menyelenggarakan
pelayanan
pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan pemeriksaan laboratoris
kriminalistik barang bukti dokumen (tulisan tangan, tulisan ketik, dan tanda tangan), uang palsu (uang kertas RI,
uang kertas asing, dan uang logam) dan produk cetak (produk cetak
konvensional, produk cetak digital, dan cakram optik) serta memberikan
pelayanan umum forensik kriminalistik.
b. Bidang Balistik dan Metalurgi Forensik (Bidbalmetfor)
Bertugas menyelenggarakan
pelayanan pemeriksaan
teknis kriminalistik TKP dan pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti
senjata api (senjata api, peluru dan selongsong peluru), bahan
peledak (bahan
peledak, komponen-komponen bom, dan bom pasca ledakan (post blast) ) dan metalurgi (bukti nomor seri, kerusakan logam), dan kecelakaan konstruksi serta
memberikan pelayanan umum forensik kriminalistik.
c. Bidang Fisika dan Komputer Forensik (Bidfiskomfor)
Bertugas menyelenggarakan
pelayanan
pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan pemeriksaan laboratoris kriminalistik
barang bukti uji kebohongan (lie detector),
jejak, radioaktif, konstruksi bangunan, peralatan teknik, kebakaran/pembakaran,
dan komputer (suara dan
gambar (audio/video), komputer & telepon genggam (computer & mobile phones), dan kejahatan jaringan internet/intranet (cyber network)) serta memberikan
pelayanan umum forensik kriminalistik.
d. Bidang Kimia, Toksikologi, dan Biologi Forensik
(Bidkimbiofor)
bertugas
menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan laboratoris
kriminalistik barang bukti kimia (bahan kimia yang belum diketahui (unknown material), dan bahan kimia produk industri),
biologi/serologi (serologi,
biologi molecular, dan bahan-bahan hayati) dan toksikologi
atau lingkungan hidup (toksikologi, mikroorganisme, dan pencemaran lingkungan
hidup), serta
memberikan pelayanan umum forensik
kriminalistik.
e. Bidang Narkotika, Psikotropika dan obat berbahaya
forensik (Bidnarkobafor)
bertugas
menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan
pemeriksaan laboratoris
kriminalistik barang bukti narkotika
(narkotika bahan alam, bahan sintesa & semi sintesa, dan cairan tubuh),
psikotropika (bahan
& sediaan psikotropika, laboratorium illegal (clandestine labs) bahan psikotropika) dan obat (bahan
kimia obat berbahaya, bahan kimia
adiktif, dan prekursor). Serta
memberikan pelayanan umum forensik kriminalistik.
6. Produk hasil pemeriksaan Laboratorium
Forensik Polri
Jenis pelayanan Laboratorium
Forensik Polri tersebut di sajikan dalam bentuk produk pemeriksaan Laboratorium
Forensik Polri yang dikategorikan sesuai
kepentingannya sebagai berikut :
a. Kepentingan
Peradilan (PRO JUSTICIA).
Jenis pelayanan
ini hanya diberikan berdasarkan permintaan dari Aparat Penegak Hukum (Polri,
Jaksa, Hakim, POM TNI, PPNS dan instansi terkait lainnya) dalam rangka proses
penegakan hukum (Tahap Penyidikan, Penuntutan serta Peradilan) untuk suatu
Perkara Pidana dalam bentuk BERITA ACARA pemeriksaan teknis
kriminalistik TKP dan pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti.
b. Kepentingan Non Peradilan
(NON JUSTICIA).
Jenis pelayanan
ini dapat diberikan kepada / diminta masyarakat dalam rangka proses penegakan
aturan internal kelompok / masyarakat
atau untuk meredam terjadinya konflik atau untuk kepentingan terapi
(bukan kepentingan penegakan hukum).
Biasanya dilakukan untuk suatu
Perkara Perdata, Perkara dalam rumah tangga atau kepentingan terapi apabila ada
kecurigaan terhadap anggota keluarga yang diduga terlibat narkoba, dalam
bentuk SURAT KETERANGAN pemeriksaan contoh uji. (http://wartalabfor.blogspot.com)
Komentar
Posting Komentar