Oleh : Drs. Wahyurudhanto, M.Si[1]
Abstrak:
Revisi terbatas atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menegaskan mengenai diperbolehkannya calon independen turut berlaga dalam pemilihan kepala daerah. Kehadiran calon independen dalam pilkada dapat dipandang sebagai penyempurnaan sistem politik di negeri ini. Selama ini yang dirasakan oleh publik bahwa pembatasan calon di luar parpol merupakan reduksi yang dapat menghilangkan hak-hak konstitusional bagi warga negara. Namun di sisi lain kehadiran calon independen akan menjadi rival bagi calon yang diusung oleh partai politik. Dalam suasana baru, persaingan ini rawan menimbulkan konflik sosial. Karena dalam menarik dukungan, selain faktor ideologis, bisa juga faktor primordial maupun uang ikut berbicara. Polri sebagai penanggung-jawab keamanan dalam negeri berkepentingan dalam menjaga proses ini tetap dalam bingkai kamtibmas. Polmas sebagai model perpolisian melalui deteksi dini akan sangat berperan dalam melakukan fungsi mengantisipasi kerawanan konflik yang bisa menjadi picu bagi tindakan kriminalitas.
Kata Kunci:Dinamika politik lokal, calon independen, Polmas, konflik, deteksi dini, kamtibmas.
Selepas revisi terbatas kedua Undang Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka dipastikan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung untuk tahun 2008 akan memasuki babak baru. Revisi tersebut merupakan lampu hijau bagi calon independen untuk bisa memasuki babak laga, berkompetisi bersama dengan calon dari partai politik atau calon dari gabungan partai politik. Kini tidak ada lagi hambatan bagi calon independen untuk maju dalam Pilkada. Calon independen sebenarnya bukan barang baru dalam proses pilkada secara langsung. Sebelum dilakukan revisi peluang bagi calon independen sudah ada. UU No. 32/2004 menyatakan calon independen bisa saja menjadi peserta pilkada, seperti disebutkan pada Pasal 59 ayat (4) yakni : Dalam proses penetapan pasangan calon, partai politik atau gabungan partai politik memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat. Namun fakta di lapangan berbicara lain. Calon independen tidak bisa maju jika tidak mendapat dukungan dari partai politik atau gabungan partai politik.
Bagi partai politik, kesediaan untuk mengusung calon tentu harus diikat dulu melalui “negosiasi” yang menguntungkan partai. Tak bisa dimungkiri lagi bahwa diperbolehkannya kehadiran calon independen dalam pilkada dapat dipandang sebagai penyempurnaan sistem politik di negeri ini. Selama ini yang dirasakan oleh publik bahwa pembatasan calon di luar parpol merupakan reduksi yang dapat menghilangkan hak-hak konstitusional bagi warga negara. Politik dikatakan sehat jika pencalonan secara perorangan dapat diakomodasi, karena hal tersebut merupakan hak politik bagi setiap warga negara yang dijamin konstitusi. Pengalaman selama ini menunjukkan tabiat partai yang lebih bersikap pada kepentingannya dari pada kepentingan masyarakat. Maka calon perseorangan yang mendaftar melalui partai selalu terganjal ketika mereka tidak bisa mengakomodasi kepentingan partai. Dan ini merupakan hal yang wajar jika kita berpijak pada dasar bagi partai untuk mengusung calon. Sudah pasti karena nama partai yang dimajukan, maka kepentingan partai yang dinomorsatukan. Kepentingan ini bisa diartikan pada banyak hal, termasuknya adanya “janji” untuk memberikan kontribusi pada partai. Kontribusi pada banyak tentunya, termasuk materi, karena partai toh butuh biaya operasional yang tidak sedikit.
Dengan demikian, kata-kata pada pasal 59 UU nomor 32/2004 ayat (e) yang menyatakan partai politik atau gabungan partai politik harus memperhatikan pendapat dan tanggapan masyarakat, selama ini hanyalah merupakan pemanis saja, agar ada kesan partai mau mendengarkan suara masyarakat.
Yang menarik dengan adanya revisi terhadap ketentuan ini, maka inilah kesempatan untuk menguji sejauh mana apresiasi publik terhadap eksistensi parpol. Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan dibolehkannya calon independen pada tahun 2007 lalu, wacana mengenai ketakutan partai atas putusan ini terus mengemuka dan wacana tersdebut terus bergulir hingga sekarang. Kegembiraan masyarakat terhadap calon independen dalam pilkada diharapkan dapat mendobrak partai-partai politik yang makin menghegemoni dan oligarkis. Fakta yang tidak bisa dibantah adalah pada kekalahan para incumbent dalam pemilihan gubernur di beberapa provinsi, seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, dan Jawa Barat. Kekalahan incumbent menunjukkan kejenuhan rakyat terhadap kondisi status quo. Apalagi jika calon independen dianggap publik lebih mumpuni dan memberi harapan baru ketimbang figur yang diusung partai-partai, maka tuntutan masyarakat untuk majunya calon independen ini diharapkan dapat mendorong semangat demokratisasi internal di tubuh partai.
Dominasi Partai Politik
Dominasi Partai Politik
Jika kita mengikuti bagaimana dinamika politik lokal pemilihan kepala daerah, baik itu pemilihan gubernur, bupati atau walikota, maka semangat yang sangat kental terasa, yaitu adanya dominasi dari partai politik, terutama partai-partai besar. Partai politik sebagai institusi yang seharusnya melakukan rekrutmen dan pengkaderan pada kader atau simpatisannya, dalam proses pilkada selama ini menunjukkan sikap yang tidak seharusnya dilakukan. Seperti dikemukan oleh Andrik Purwasito (2008), demokrasi kita agaknya memang masih menjadi kebutuhan partai politik, golongan, pribadi-pribadi dan belum menjadi kebutuhan rakyat. Inilah demokrasi “waton sulaya” (asal-asalan) yang terus dipraktekkan dalam sistem perpolitikan kita. Inilah praktek demokrasi yang diarahkan untuk tujuan mempertahankan status quo. Demokrasi memang mengatasnamakan rakyat, tetapi dalam prakteknya rakyat dan demokrasi hanya sebuah cara melegitimasi kekuasaan.
Dalam proses pilkada kita bisa melihat (atau setidaknya merasakan) bahwa kewenangan partai untuk melakukan seleksi calon kepala daerah yang akan diusungnya dengan melakukan rekrutmen bagi kader atau simpatisannya ternyata telah disalahgunakan. Yang dilakukan oleh partai-partai politik adalah melakukan “jual-beli” untuk mematikan proses demokrasi. Akibatnya, citra partai sekarang ini tak ubahnya seperti ”broker politik” yang kerjanya hanya memeras kandidat yang maju dalam pilkada. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana Sarwono Kusumaatmadja, Djasri Marin, Bibit Waluyo, maupun Agum Gumelar yang terlanjur ‘’membayar’’ ke partai, tetapi tidak bisa maju dalam Pilgub DKI, lantaran tidak mendapat dukungan parpol (meski akhirnya Agum mendapat dukungan PDIP dan PPP dalam Pilgub Jabar dan Bibit Waluyo yang didukung PDIP maju dalam Pilgub Jateng. Agum Gumelar akhirnya kalah dalam pilgub Jabar, sedang Bibit Waluyo ketika tulisan ini dibuat pilgub Jateng belum dilangsungkan).
Kondisi tersebut tidak bisa dielakkan jika melihat telah terjadinya kencenderungan baru dalam peta politik Indonesia. Kini peta politik di Indonesia telah bergeser dari yang tadinya bureaucratic government menjadi party government, executive heavy menjadi legislatine heavy dan floating mass menjadi mass society. Konfigurasi ini menjadikan iklim politik di Indonesia menjadi “aneh”. Aneh dalam arti yang terjadi bukan lagi etika politik yang berlangsung secara wajar, tetapi adalah bagaimana memaksakan irama politik untuk kepentingan-kepentingan sesaat, dalam hal ini adalah kepentingan-kepentingan partai. Maka yang terjadi bukanlah bagaimana memperjuangkan nilai-nilai ideal jangka panjang dalam kultur politik yang sehat, tetapi justru “atraksi-atraksi” demi memperjuangkan kepentingan individu dan kelompok.
Akibat yang bisa kita lihat adalah aroma yang muncul menjadi tidak sedap. Intrik, manipulasi, konspirasi, money politics menjadikan aroma yang selalu menghiasi percaturan politik saat itu. Partisipasi masyarakat juga tidak terbangun, karena semuanya dikendalikan oleh parlemen, yakni DPRD. Media massa pun kemudian selalu dihiasi dengan fakta-fakta berlangsungnya proses politik yang tidak sehat dan tidak beradab. Fakta yang kita temui, pilkada sering menghasilkan kepala daerah yang bermasalah. Mulai dari ijazah palsu, preman, pelaku kriminal, koruptor, sampai kepala daerah yang tidak mempunyai kapabilitas intelektual yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa proses politik dalam mengusung calon kepala daerah oleh partai tidak dilakukan secara benar, tetapi hanya pada bagaimana menyelaraskan “kepuasan” bagi partai dan calon. Akibatnya sering fakta-fakta negatif disembunyikan, dan menjadi terbongkar ketika dalam perjalanannya “bau busuk” tersebut akhirnya tercium oleh publik dan direspon melalui proses hukum.
Karena itu jika melihat proses pilkada, maka outcomes yang kita peroleh adalah bahwa kepala daerah yang terpilih merupakan pejabat politik tetapi juga pejabat publik. Sebagai pejabat publik nanti akan bertugas memimpin birokrasi untuk menjalankan roda pemerintahan. Fungsi-fungsi pemerintahan tersebut terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik, dan pembangunan (protective, public services, dan development). Sehingga dalam konteks struktur kekuasaan, kepala daerah adalah kepala eksekutif di daerah. Sebagai pejabat publik, kepala daerah menjalankan fungsi pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat (publik), berdampak terhadap rakyat, dan dirasakan oleh rakyat.
Namun yang terjadi adalah titik berat nilai politis yang lebih dominan. Setrelah terpilih sebagai kepala daerah, dalam banyak kasus yang muncul ternyata kepala daerah lebih mementingkan kepentingan partai. Maka aroma politisasi birokrasi pun dengan mudah tercium. Kepentingan rakyat akan menjadi nomor kesekian, setelah kepentingan partai dan kepentingan para “pengawas” yaitu para anggota DPRD terpenuhi. Inilah bukti nyata dominasi partaoi politik pra dan pasca pemilihan daerah yang merupakan ciri khas dinamika politik lokal saat ini.
Dinamika Politik Lokal
Pasca keputusan revisi terbatas UU Nomor 32 Tahun 2004 khususnya mengenai diperbolehkannya calon perseorangan untuk ikut berkompetisi, tentu saja akan membuat dinamika politik lokal mempunyai warna baru. Ada hal yang sangat spesifik dalam pemilihan kepala daerah. Yang pertama, kampanye Pilkada akan selalu mengangkat isu lokal Saat ini telah terjadi pergeseran dalam paradigma kampanye di Indonesia. Jika dulu kampanye hanyalah sarana untuk meyakinkan pemilih, kini kampanye sudah merupakan komunikasi politik dan pendidikan politik. Karena itu isu kampanye dan komunikasi politik dalam kampanye yang tidak tepat akan menyebabkan ketersinggungan pada kelompok-kelompok di daerah. Hal ini ditunjukkan dengan isu-isu yang diangkat selalu merupakan isu yang bisa membawa kebanggaan daerah, baik dalam kesejahteraan maupun semangat kebanggaan atas kepopuleran daerah.
Kedua adalah faktor pendeknya jarak fisik dan jarak kepentingan antara calon dan pemilih akan memberikan kecenderungan pada potensi konflik antarpendukung. Pendukung calon berdomisili dan berionteraksi dalam suatu komunitas besar di daerah, sehingga gesekan-gesekan yang muncul sangat potensial menimbulkan konflik. Sehingga melihat pilkada kita harus melihat dalam konteks bahwa konfigurasi politik lokal akan sangat dipengaruhi oleh bagaimana rakyat menanggapi proses pencalonan dan proses pemilihan, sampai bagaimana calon terpilih nanti mampu menunjukkan kapabilitasnya dengan kemampuan leadership yang memadai.
Dan ketiga adalah kenyataan yang seharusnya oloeh semua komponen publik dipahami bahwa pilkada adalah proses jangka pendek. Hal inilah yang seringkali menimbulkan pendapat bahwa kampanye adalah bagaimana mengumbar janji, bahwa nanti janji tersebut tidak bisa ditepati itu soal lain. Padahal seharusnya yang lebih penting justru penyelenggaraan pemerintahan lima tahun di bawah kepemimpinan kepala daerah. Pilkada harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membangun lokal good governance, karena di sana ada partisipasi masyarakat, akuntabilitas, transparansi, dan reponsibilitas pemerintah daerah.
Ketiga hal tersebut akan saling tarik-menarik, karena masing-masing mempunyai kepentingan dengan kadar yang saling berlainan. Kepala daerah akan berada di posisi yang harus mampu mengakomodasi sedmuanya. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa pendulum yang cenderung lebih condong ke birokrasi ataupun ke legislatif, semuanya sama-sama tidak ideal. Pilkada sesuai UU No. 32/2004 akan mencoba mewarnai dinamika politik lokal. Ekperimen dalam kancah kehidupan demokrasi di Indonesia akan dilakukan dalam kegiatan pilkada, baik pra pilkada maupun pasca pilkada. Hadirnya calon perseorangan tentu saja akan menjadi rivalitas tersendiri bagi calon yang diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik. Setidaknya setelah keputusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007 mengenai calon independen sangat terasa adanya suasana “ketakutan” dari kalangan partai politik, terutama partai-partai besar.
Ketakutan itu mungkin muncul, terutama dengan pengalaman pendek perjalanan demokrasi yang berbasiskan partai-partai politik sejak Pemilu 1999. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Februari 2007, hanya 23% dari masyarakat Indonesia yang menyatakan berafiliasi dengan partai-partai politik. Selebihnya lebih mempercayai kalangan lain, baik dari kelompok agamawan, kaum intelektual, ataupun perseorangan yang mempunyai profesi lain. (Pilliang, 2008) Hasil penelitian LSI itu tentu tidak bisa dijadikan acuan jangka menengah dan panjang. Bagaimanapun, kehadiran dan popularitas calon perseorangan bisa diuji pascapemilu 2004 dengan melihat proses pilkada yang diikuti oleh para calon yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Sebagaimana diketahui bahwa mereka dulunya adalah calon perseorangan yang tidak berafiliasi dengan partai-partai politik. Kenyataan yang bisa kita lihat adalah hampir seluruh anggota DPD RI itu gagal merebut posisi gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati dan wali kota-wakil wali kota, sekalipun juga didukung oleh partai-partai politik. Mereka dikalahkan oleh para calon populis lain yang didukung oleh partai-partai politik yang lebih jeli melihat para potensi seorang tokoh.
Tentu saja jika kita merujuk pada kasus di Aceh, keberhasilan calon perseorangan di Provinsi Aceh harus dilihat dari kacamata berbeda. Bagaimanapun, Aceh adalah daerah bekas konflik. Pemberlakuan Aceh sebagai daerah operasi militer dalam keadaan darurat militer, sampai tertib sipil, telah menghilangkan kepercayaan kepada partai-partai politik nasional. Bukan hanya itu, struktur pemerintahan daerah juga tidak lagi dipercaya. Organisasi pergerakan seperti Gerakan Aceh Merdeka dan Sentra Informasi Referendum Aceh lebih dipercaya memberikan perubahan. Sebagai daerah pasca-konflik, tentunya dinamika seperti itu masuk akal. Keadaan itu berbeda dari daerah-daerah normal lainnya. Kehadiran partai-partai politik sudah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat. Keluarga-keluarga tertentu dikenal berafiliasi dengan partai-partai politik yang sudah hadir sejak tahun 1955. Bahkan, partai-partai politik itu dikenal melahirkan kelompok oligarkis lokal yang sangat kuat, sehingga sulit untuk mengotonomkan dirinya menjadi bukan lagi bagian dari partai-partai politik. Para anggota DPRD adalah bagian dari kelompok-kelompok sosial dan kekuatan ekonomi lokal yang sudah memiliki basis partai politik yang kuat. Sehingga sebenarnya aneh kalau ketakutan atas hilangnya partai-partai politik dijadikan sebagai rujukan. Ketakutan itu justru menjadi tidak beralasan, kalau kita melihat konstruksi sosial, ekonomi dan politik di Indonesia.
Jika kita menyimak mengenai proses pemilihan kepala daerah secara langsung yang sudah dua tahun ini berjalan sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 6 tahun 2005, boleh dikatakan inilah produk perundangan pertama dalam sejarah politik Indonesia yang mengatur pilkada langsung. Pada ketentuan sebelumnya sudah ada undang-undang yang mengintrodusir sistem pemilihan langsung, yakni UU No. 1/1957. Ketentuan pemilihan langsung tertuang dalam Pasal 23 dan penjelasannya. Pasal itu membutuhkan undang-undang pilkada langsung tersendiri, namun tidak ditindaklanjuti sampai dikeluarkannya ketentuan perundang-undangan baru yang menggantikannya, seperti Penetapan Presiden No. 6/1959, UU No. 18/1965, dan UU No. 4/1975 yang didasarkan pada UUD 1945.
Karena itu bagi bagi politisi, aktivis partai, dan masyarakat, pilkada langsung yang dimulai pada tahun 2005 dirasakan sebagai hal baru. Dalam tradisi politik di Indonesia, setiap hal baru selalu menimbulkan suasana baru, baik itu semangat, harapan, maupun persoalan baru. Karena itu, sama seperti produk undang-undang lain yang mempengaruhi iklim politik di Indonesia, pilkada langsung ternyata telah menimbulkan persoalan-persoalan baru. Isu “dagang sapi” dalam proses mengusung calon kepala daerah bukanlah isu baru. Kendati sulit dibuktikan tetapi aromanya tercium dengan sangat menyengat. Partai-partai besar pun mencoba berkilah dengan membentuk opini bahwa persoalan “jual-beli” tidak mereka lakukan. Seperti Wakil Ketua DPD Golkar Rully Chairul Azwar sampai-sampai mengemukakan bahwa partainya justru pernah mengeluarkan dana yang tidak sedikit bagi kompensasi parpol lain yang berkoalisi dengan Partai Golkar (Suara Pembaruan, 8 Januari 2008). Tetapi statement seperti itu oleh publik dianggap saja seperti “maling teriak maling”.
Memasuki era calon independen bisa maju dalam pemilihan kepala daerah, maka yang harus diwaspadai adalah munculnya persoalan baru akibat adanya ketentuan baru yang memberikan corak baru. Warna baru tersebut adalah pudarnya semangat untuk melakukan pendekatan kepada partai-partai besar atau pada gabungan partai bagi calon independen yang merasa siap bagi dari sisi mental, dukungan publik, maupun finansial. Dari perspektif keamanan, maka yang harus diantisipasi adalah peluang munculnya riak-riak kriminal akibat kebutuhan formalitas dalam rangka proses pemilihan kepala daerah baik sebelum maupun sesudah pemilihan.
Polmas dan Dinamika Politik Lokal
Lalu apa kaitannya perpolisian masyarakat atau Polmas dengan dinamika politik lokal sehubungan dengan hadirnya calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah. Merujuk pada pengalaman pemilihan kepala daerah di negara lain, bagi negara-negara yang sudah mapan sistem dan prosedur politiknya, kehadiran calon perseorangan hanya bersifat penyeimbang untuk isu-isu minoritas, misalnya masalah lingkungan hidup, hak-hak binatang, bahkan juga pilihan atas lesbianisme dan homoseksualitas. Dalam kasus di Indonesia, bisa saja isu tersebut bergeser kepada hak-hak masyarakat adat, tanah ulayat, aliran kepercayaan, sampai kepada pengakuan atas mitologi tradisional yang dimiliki oleh beragam kebudayaan lokal di Indonesia. Namun jangan lupa, di Indonesia kepentingan memunculkan figur bisa berimbas pada fanatisme atas isu-isu yang sangat mikro tersebut. Artinya bahwa dari masalah-masalah kecil tersebut bisa menjadi besar ketika fanatisme “dibakar” dengan modal sosial maupun modal kapital. Adalah fakta bahwa kelompok masyarakat di Indonesia sangat mudah bertikai bahkan dengan mudah menggunakan kekerasan hanya karena persoalan dukung-mendukung. Di situlah peranan Polmas menjadi sangat penting. Apalagi dalam rangka syarat formalitas nanti akan ada proses mengumpulkan dukungan. Manipulasi data, pembengkakan penduduk, pemalsuan KTP adalah contoh-contoh bibit kriminalitas yang sudah harus bisa mulai diantisipasi sejak sekarang.
Pemikiran tentang community policing yang di Indonesia dikenal dengan sebutan Polmas atau perpolisian masyarakat kini terus dikembangkan oleh banyak pihak termasuk di Indonesia. Asumsi dari perpolisian masyarakat yaitu, pertama kamtibmas adalah tanggung jawab masyarakat, kedua adanya institusi polisi tidak menghilangkan tanggung jawab masyarakat terhadap pemeliharaan kamtibmas, dan ketiga perlu kemitraan polisi dengan warga dalam pemolisian dan pemecahan masalah warga terutama pada masalah-masalah sosial. Dari berbagai literatur yang ada maupun penyimpulan yang dikemukakan dalam Skep Kapolri Nomor 737 Tahun 2005 tentang penyelenggraan Polmas, maka pengertian yang ada bisa disimpulkan pada tiga poin utama, yaitu membangun kemitraan dengan masyarakat, melakukan pemecahan masalah, dan perubahan internal polisi yaitu sikap pro aktif polisi sendiri dalam memberikan dukungan bagi keberhasilan Polmas. Berdasarkaqn Skep Kapolri, prinsip-prinsip Polmas adalah, transparansi dan akuntabilitas, partisipasi dan kesetaraan, personalisasi, penugasan permanent, serta desentralisasi dan otonomisasi.
Polri yang saat ini sedang melaksanakan proses reformasi untuk menjadi kepolisian sipil, harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakat dengan cara merubah paradigma dari menitik-beratkan pada pendekatan yang reaktif dan konvensional (kekuasaan) menuju pendekatan yang proaktif dan mendapat dukungan publik dengan mengedepankan kemitraan dalam rangka pemecahan masalah-masalah sosial. (Sutanto, 2006) Polmas merupakan jalan untuk menuju kepolisian sipil, yaitu cara bertindak polisi yang humanis, mengedepankan hak asasi manusia, dan selalu berorientasi pada kepentingan masyarakat. Dalam rangka implementasi Polmas, salah satu kemampuan yang harus dipunyai oleh petugas Polmas adalah kemampuan deteksi dini. (Lampiran Skep Kapolri No. Pol. : SKEP/433/VII/2006). Kemampuan deteksi dini ini dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan bahan keterangan / informasi, agar bisa dipergunakan oleh pimpinan dalam proses pengambilan keputusan. Tugas dan kegiatan yang dilakukan oleh petugas Polmas hanyalah merupakan pelaksanaan fungsi intelijen terbatas, yaitu melakukan deteksi, identifikasi, dan analisis terhadap gejala awal suatu kegiatan yang belum terjadi seiring dengan dinamika dan perubahan masyarakat.
Terkait dengan revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 perihal calon independen, maka antisipasi konflik akibat dinamika politik lokal yang tidak terkendali harus bisa sejak awal “dibaca” oleh Polri selaku penanggung-jawab keamanan dalam negeri. Implementasi Polmas melalui optimalisasi deteksi dini oleh petugas polmas dan masyarakat merupakan langkah yang tepat dalam situasi seperti sekarang ini, karena petugas Polmas akan bisa secara intensif berfungsi melakukan pengumpulan bahan keterangan terhadap dinamika dan perubahan masyarakat yang meliputi aspek statis dan dinamis dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk bisa menemukan gejala awal yang dapat menimbulkan gangguan keamanan baik dari sumber terbuka maupun tertutup. Deteksi dini menjadi sangat penting karena informasi awal akan adanya peluang konflik apabila tidak dihambat bisa menimbulkan gangguan keamanan.
Dalam rangka melakukan antisipasi untuk mengatasi konflik melalui deteksi dini, maka yang dilakukan Polri adalah melakukan tindakan proaktif agar potensi-potensi yang ada dalam setiap komuniti diaktifkan sebagai mitra polisi dalam menciptakan rasa aman pada setiap warga dan kehidupan sosial, untuk selanjutnya dapat diacu guna mendorong terciptanya kegiatan-kegiatan kondusif bagi produktivitas masyarakat. Jika kita melihat proses ini, maka akan nampak adanya keterkaitan antara implementasi Polmas dalam upaya mengatasi konflik. Terdapat tiga pilar dalam Polmas yaitu kesetaraan (partnership), pemecahan masalah (problem solving) dan pro aktif. Optimalisasi deteksi dini menunjukkan tiga hal tersebut, yaitu melalui informasi yang diperoleh petugas Polmas akan ditindak lanjuti dengan sikap pro aktif polisi untuk mengaktifkan potensi pada tingkat lokal. Potensi tersebut akan menimbulkan partisipasi masyarakat untuk mau menjadi mitra Polri yang merupakan sendiri kedua yaitu partnership. Tujuannya adalah untuk memecahkan masalah dalam hal mengatasi konflik, bagian proses ini merupakan bentuk dari problem solving. Deteksi dini diperlukan agar apabila ada potensi konflik berupa penolakan atas perbedaan, bisa diantisipasi sebelumnya. Antisipasi ini akan merupakan kebijakan atau kegiatan oleh Polri untuk menciptakan situasi kondusif dalam kerangka kamtibmas.
Di sinilah kaitan Polmas dengan dinamika politik lokal. Proses Pilkada selepas revisi terbatas UU Nomor 32/2004 tentang calon independen memang akan menimbulkan kerawanan konflik yang akan berujung pada gangguan kamtibmas. Polisi tidak bisa tinggal diam dalam rangka menghadapi perubahan baru dalam dinamika politik lokal. Membaca peta politik lokal dengan segala unsur yang mempengeruhinya harus dilakukan secara serius, dan Polmas akan menjadi jawaban dalam melakukan tugas ini. Jika konflik telah berkembang menjadi terbuka, maka polisi akan kerepotan sendiri, sehingga sejak awal harus sudah dilakukan langkah-langkah dalam menjaga suasana ini. Dalam pilkada yang melibatkan calon dari partai dan calon independen, maka basis masa tidak hanya berdasarkan ideologi saja, tetapi juga bisa karena dorongan material. Kekuatan massa bisa dibentuk melalui pengaruh ideologi, atau semangat primordial, tetapi juga bisa melalui kekuatan uang. Dan ini yang harus diantisipasi jauh-jauh hari. (http://wahyurudhanto.blogspot.com/)
Bahan Bacaan
Andrik Purwasito, Elite Politikdan Demokrasi Waton Sulaya, Jurnal Politika, Volume 4 No. 1, 2008.
Budi Setiyono, Birokrasi dalam Perspektif Politik dan Administrasi, Pusat Kajian Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, Universitas Diponegoro, Semarang, 2004.
Indra J, Pilliang, Catatan Kritis Calon Perseorangan, artikel di Suara Merdeka, 24 Juli 2007.
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung: Filosofi, Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Penerbit Pustaka Pelajar, 2005.
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Muhanto AQ, Potensi Konflik Sosial dalam Pelaksanaan Pilkada 2005, makalah dalam diskusi.
Sutoro Eko, Pilkada Secara Langsung: Konteks, Proses dan Implikasi, makalah dalam diskusi “Mendorong Partisipasi Publik dalam Proses Penyempurnaan UU No 22/1999 di DPR RI”, 12 Januari 2004.
Syamsudin Harris, Otda Menuju Resentralisasi, artikel di Media Indonesia, 22 Desember 2004.
Syamsuddin Haris (editor), Desentralisasi dan Otonomi Daerah, penerbit LIPI Press, Jakarta, cetakan ketiga, 2007.
Sutanto, et al (editor), Community Policing, Falsafah Baru Pemolisian, Lemdiklat Polri dan Pensil-324, 2004.
Swantoro, FS, Kabar Baik bagi Calon Independen, artikel di Suara Merdeka, 8 Januari 2008.
Wawan E, Koeswandono, Calon Independen dan Institusi Politik Baru, artikel di Surabaya Post, 30 Juli 2007.
[1] Drs. A. Wahyurudhanto, M.Si, staf pengajar pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian untuk mata kuliah Polmas dan Administrasi Pemerintahan.
Komentar
Posting Komentar