I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjalanan reformasi telah membawa seluruh institusi dan komponen masyarakat negeri ini untuk terus berbenah diri. Pembenahan telah menyentuh berbagai ranah yang mengatur kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut seiring dengan tuntutan kualitas pelayanan publik yang selama ini telah mengalir melalui setiap kebijakan birokrasi. Kepolisian merupakan bagian integral aparat negara yang mengemban amanah melalui visi, misi, dan tugas pokoknya sebagai penegak hukum, pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat.
Sejalan dengan pemikiran di atas maka terdapat hal-hal yang perlu dicermati secara tepat terkait dengan operasionalnya yakni; Falsafah kepolisian yang bersifat personal dalam arti anggota polisi yang sama bertugas di masyarakat yang sama; Gaya manajemen dan strategi organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara pro-aktif; Tujuan untuk memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun permasalahan lain dalam masyarakat, dengan menerapkan prinsip menjalin hubungan kemitraan polisi-masyarakat.
Perpolisian tradisional lebih menekankan pada angka statistik penyelesaian kasus (crimes solved or offenses cleared by arrest) sebagai parameter hard data untuk membuktikan berhasilnya pekerjaan kepolisian. Perpolisian moderen merupakan hasil perkembangan perpolisian konvensional. Selain itu juga memberikan masyarakat peran untuk ikut bertanggungjawab terhadap Kamtibmas. Sedangkan unsur penegakan hukum tetap menjadi tanggungjawab polisi. Terkait dengan itu polisi melakukan pendekatan terhadap masalah kejahatan dilihat dari perspektif yang lebih luas, mulai dari mencari asal mula kejahatan sampai pada pemecahan masalah kejahatan maupun masalah lain yang menjadi perhatian publik. Pola perpolisian berorientasi pada penuntasan masalah (problem solving policing) dan kegiatan sepenuhnya berorientasi pada pelayanan publik (public service policing). Pemolisian mengandalkan sumber daya setempat (resource based policing), dan mengakomodir kebutuhan masyarakat, serta mempertahankan kedekatan dengan masyarakat (community policing).
Selain itu sebagai dukungan terhadap perpolisian moderen implementasi Polmas diwujudkan oleh kiprah kepolisian profesional, demokratis, berwibawa, kuat, dan dekat dengan masyarakat. Hal tersebut sangat relevan dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang harmonis. Perlunya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian guna membangun kemitraan. Dalam implementasi tugas-tugas kepolisian dituntut cocok dengan kebutuhan masyarakatnya. Diperlukan kebijakan pimpinan institusi kepolisian dalam membangun kemitraan masyarakat baik terkait dengan aspek teknis kepolisian, penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) maupun penerapan Polmas. Sebagai model strategi dalam membangun kemitraan (partnership building) maka Polmas dibutuhkan efektifitas perannya dalam implementasinya.
Citra polisi di mata masyarakat dengan iklim yang kurang kondusif akan menjadi ganjalan dalam membangun kemitraan. Tuntutan pencintraan tersebut sangat terkait dengan perilaku polisi yang etis dan bermoral. Dampak reformasi Indonesia adalah lahirnya tuntutan masyarakat terhadap institusi kepolisian dengan citra profesional dan humanis. Untuk itu maka kini terus dilakukan uapaya memantabkan kultur polisi sipil yang demokratis, menegakkan hukum dan hak asasi manusia. Polmas dalam partnership building mendorong terwujudnya kepolisian profesional dan berorientasi pada kepuasan masyaraka. Hal ini telah mengedepankan tindakan proaktif, menjadikan masyarakat sebagai subyek. Menempatkan masyarakat sebagai mitra kerja yang setara dalam mewujudkan Kamtibmas.
B. Permasalahan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yakni : ” Bagaimanakah Polmas sebagai strategi dalam partnership building?”
II. PEMBAHASAN
A. Hakekat, landasan hukum, dan landasan konseptual Polmas
1. Hakekat Polmas. Pada hakekatnya Polmas atau perpolisian masyarakat (community policing) merupakan : a. perwujudan kerjasama Polisi dan masyarakat untuk menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan ketentraman umum dalam kehidupan masyarakat setempat. Konsepsi Polmas secara konvensional melembaga dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Polmas merupakan model community policing ala negeri ini. b. Menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial mengandung makna bukan hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan permasalahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap Kamtibmas. c. Menciptakan ketentraman umum. Mengandung makna bahwa Polmas bukan hanya sekedar meniadakan gangguan faktual terhadap Kamtibmas tetapi juga perasaan takut warga menghadapi gangguan Kamtibmas. d. Kerjasama Polisi dan masyarakat yang mengandung makna bukan sekedar bekerja bersama dalam operasionalisasi penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban sosial tetapi juga meliputi mekanisme kemitraan yang mencakup keseluruhan proses manajemen, mulai dari perencanaan sampai pengawasan/ pengendalian dan analisis/ evaluasi atas pelaksanaannya. e. Falsafah kerja kepolisian yang bersifat personal dalam arti anggota polisi yang sama bertugas dalam masyarakat, didukung oleh gaya manajemen dan strategi organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara proaktif bersama-sama dengan masyarakat. f. Polmas mempunyai tujuan memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun permasalahan lain dalam masyarakat, dengan bekerja dalam hubungan kemitraan polisi-masyarakat, dengan polisi sebagai "problem solver". g. Pemolisian Masyarakat suatu filosofi atau strategi yang dimiliki oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya. Dan hal yang terpenting bagi Polri sebelum menerapkan Polmas adalah bagaimana institusi tersebut dapat dipercaya oleh masyarakat, untuk mempermudah terjadinya kemitraaan.
2. Landasan Hukum. Landasan hukum Perpolisian masyarakat meliputi : a. UUD 1945 perubahan Kedua Bab XII Pasal 30 : (1) Tiap-tiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha … Keamanan negara. (2) Usaha … Keamanan negara dilaksanakan melalui sistem … keamanan rakyat semesta oleh … dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. b. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pertimbangan huruf b ditegaskan bahwa “Pemeliharaan Keamanan Dalam Negeri dilakukan oleh Polri selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Sedangkan pada Pasal 3 : (1) Pengembangan fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau bentuk-bentuk pengawasan swakarsa. (2) Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, dan c, melaksankan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. c. Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.) d. Bahwa untuk anev Polmas dilakukan melalui sistem pendataan yang memungkinkan proses analisis dari satuan terbawah Kepolisian Sektor (Polsek) sampai Markas Besar (Mabes Polri) (pasal 54).) Dalam Skep/737/X/2005, Polmas menjadi program penuh dari tingkat Polsek sampai Polres, sedangkan pengawasan kegiatan dilakukan hingga tingkat Polda.
3. Landasan Konseptual.
a. Pengertian. Berbagai hal yang perlu diuraikan terkait dengan pengertian Polmas adalah sebagai berikut : 1. Konsep Polmas mencangkup dua unsur yakni Perpolisian dan masyarakat. Secara harafiah, perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata Policing berarti segala hal ikhwal penyelenggaraan fungsi Kepolisian. Pengelolaan fungsi kepolisian secara menyeluruh. Mulai dari tataran manajemen puncak sampai manajemen lapis bawah, termasuk pemikiran-pemikiran filosofinya. 2. Masyarakat yang merupakan terjemahan dari kata Community dalam konteks Polmas berarti warga masyarakat yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya. Dalam perkembangan kebijakan Kapolri selanjutnya ) Community Policing diterjemahkan sebagai pemolisian masyarakat atau perpolisian masyarakat atau disingkat Polmas. Sedangkan pemolisian, merupakan pemberdayaan seluruh komponen dan sumber daya yang dapat dilibatkan dalam tugas dan fungsi guna mendukung penyelenggaraan fungsi kepolisian agar mendapatkan hasil yang lebih optimal.) 3. Trust building dalam konteks ini dimaksudkan sebagai public trust building yakni membangun kepercayaan masyarakat terkait dengan strategi Polmas. 4. Perpolisian masyarakat dalam trust building dimaksudkan sebagai seluruh kiprah perpolisian masyarakat baik terkait dengan hakikat Polmas maupun muaranya pada upaya membangun kepercayaan masyarakat kepada kinerja kepolisian, sehingga memerlukan langkah-langkah strategis. 5. Partnership building dimaksudkan sebagai kegiatan membangun kemitraan polisi - masyarakat dalam mewujudkan Kamtibmas. Sebagai strategi mencapai partnership building maka implementasi Polmas menekankan kemitraan polisi-masyarakat dalam menyelesaikan setiap permasalahan Kamtibmas. 6. Model Polmas dapat mengambil bentuk : a). Model wilayah yaitu yang mencakup satu atau gabungan beberapa area/kawasan pemukiman (RW/ RK/ dusun/ desa/ kelurahan). Pembentukan Polmas model ini harus lebih didasarkan pada keinginan masyarakat itu sendiri, walaupun proses ini bisa saja dilatarbelakangi oleh dorongan Polisi. b). Model kawasan yaitu satu kesatuan area kegiatan bisnis dengan pembatasan terhadap wilayah hukum yang jelas seperti mall, pusat perdagangan, perkantoran, dan kawasan industri). Polmas model ini dapat dilakukan inisiatif bersama masyarakat dan petugas kepolisian. C) Perwujudan nilai-nilai dan hakekat Polmas, telah bermuara pada lahirnya trust building dan berdampak pada tumbuhnya kemitraan.
b. Konsep Community Policing (CP). Menurut para ahli seperti Trojanowich (1998), Bayley (1988), Meliala (1999), dan Rahardjo (2001) yang secara garis besar menekankan pada pentingnya kerjasama antara polisi dengan masyarakat tempat bertugas untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah sosialnya sendiri. Konsep Polmas yang diadopsi Polri sekarang ini, bervariasi. Ada yang mirip sistem Koban atau Chuzaiso dari Jepang, sistem Neighbourhood Policing dari Singapura, atau Community Policing dari Amerika Serikat. Konsep tersebut dimodifikasi di Indonesia, karena karakteristik budaya masyarakatnya. Perlu ada penyesuaian cara bertindak sebagai penjabaran konsep Polmas tersebut dengan karakteristik masyarakat. Meski demikian, pengertian Polmas sampai saat ini masih ada yang mengartikan pemolisian masyarakat dan pembinaan Kamtibmas maupun Community Oriented Policing (COP). Namun demikian dalam perkembangannya telah dimodifikasi dengan kebijakan tentang Polmas sebagai pemolisian masyarakat.)
c. Kultur polisi sipil. Merupakan gambaran dari budaya kepolisian yang akan secara langsung ditanggapi oleh masyarakat, dengan pujian, perasaan puas, atau dengan celaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap sikap dan perilaku Polri. Dalam rangka pemantapan kultur Polri, maka perlu diurai mengenai elemen budaya yakni artefak, nilai-nilai (values) dan asumsi dasar atau paradigma.) 1. Artefak, merupakan elemen budaya yang kasat mata, mudah diobservasi oleh seseorang atau kelompok orang baik dalam maupun luar organisasi. Menurut Mary Jo Hatch (1997) kategorisasi artefak yakni manifestasi fisik, yang terdiri atas logo, bentuk bangunan, cara berpakaian, tata letak bangunan, dan design organisasi. Sedangkan manifestasi perilaku antara lain upacara-ritual, cara berkomunikasi, tradisi/kebiasaan, sistem reward dan punishment, cara menyapa, mitos/sejarah/cerita-cerita sukses, dan metafora yang digunakan). Untuk itu perubahan secara kultural harus menampilkan sosok polisi yang ramah, tidak lagi memeras, tidak suka menjebak, tidak lagi arogan, tidak sewenang-wenang dan tidak bisa dibeli oleh calo kasus kejahatan. 2. Nilai-nilai (values), adalah sebuah konsep yang abstrak., namun bila diimplementasikan dalam model Polmas dikaitkan dengan transparansi dan akuntabilitas kinerja kepolisian akan sangat mendukung terwujudnya kemitraan polisi-masyarakat.
d. Kultur Masyarakat. Kultur masyarakat merupakan hasil dari proses panjang cara masyarakat mengelola kehidupan bersama. Dalam proses ini masyarakat memasukkan gagasan tentang hak dan kewajiban, kemudian merumuskan dalam sistem aturan baik yang bersifat formal maupun non-formal beserta sarana dan prasarana untuk mengelola dan menegakkannya. Beberapa tuntutan terkait dengan persoalan masa lalu yang belum terselesaikan yakni telah menciptakan perasaan kekecewaan, kekhawatiran, dan ketidakadilan masyarakat. Salah satu bidang penting dari perkembangan itu adalah lemahnya lembaga penegak hukum akibat dari krisis sosial dan kepercayaan yang berkepanjangan. Dalam kondisi ini untuk membangun kemitraan diperlukan kultur polisi yang relevan dengan kebutuhan masyarakatnya.
e. Sinerginya Kultur Polisi dan Kultur Masyarakat. Setelah kemandirian Polri model Polmas di berbagai struktur kepolisian dan masyarakat terus dikembangkan. Dalam implementasinya, terbentuknya sejumlah FKPM (Forum Komunikasi Polisi Masyarakat) sebagai wadah bertemunya aparat kepolisian dan masyarakat. Melalui ruang yang mengedepankan kebersamaan baik dalam pembahasan maupun tindakan tentang soal Kamtibmas dan isu-isu sosial lainnya. FKPM dalam proses berikutnya, bisa menggunakan perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan yang sudah ada. Misalnya saja perkumpulan Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, PKK, dan lain-lainnya. Dalam hal inilah pentingnya program Polmas yang awalnya dikenal dengan COP (Civilian Oriented Policing), polisi yang berbasis masyarakat sipil. Program ini merupakan salah satu wujud dan arah polisi Indonesia masa depan,) di era reformasi polisi. Antara kultur polisi yang melayani dan menegakkan hukum secara profesional menjadi sinergi dengan kultur masyarakat yang berperilaku demokratis, reforrmis, dan kultur yang mendukung penegakan hukum dan hak asasi manhusia.
e. Polmas Sebagai DukunganTerhadap Pencitraan Polisi. Pencintraan merupakan suatu proses menuju terwujudnya citra polisi sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat serta penegak hukum. Sebagai profil profesional, bermoral dan moderen, polisi dalam melaksanakan tugasnya memahami dan menerapkan prinsip - prinsip dasar penegakan HAM. Dalam rangka kemitraan Polisi – masyarakat, dibutuhkan keterampilan komunikasi yang efektif, dengan bermacam-macam orang dari lapisan yang berbeda. 1) Komunikasi internal terjadi ketika dengan sesama anggota kelompoknya. 2) Komunikasi eksternal terjadi ketika anggota kepolisian berkomunikasi dengan departemen terkait dalam pemerintahan, organisasi- organisasi non pemerintah, kalangan bisnis, korban kejahatan, pelaku kejahatan dan anggota masyarakat lainnya. Implementasi Polmas yang efektif akan mendukung efektifitas pencintraan polisi, polisi yang bercitra profesional dan humanis dalam mewujudkan tugas memelihara Kamtibmas.
f. Unsur Utama dari Kemitraan Efektif 1. Sifat sukarela untuk bermitra 2. Saling ketergantungan sebagai dampak dari saling berbagi tanggung jawab, sumber daya, dan kompetensi. 4. Sinerginya konsep nilai tambah atau jumlah yang lebih besar dari pada bila tidak bermitra, namun hanya secara individu 5. Komitmen atau perjanjian pada bagian dari peserta. 6. Bekerja bersama-sama para mitra di semua tingkat, tahapan serta pelaksanaan dan evaluasi. 7. Adanya tambahan dukungan 8. Terjadinya peningkatan berbagai jenis sumber daya dan kompetensi. 9. Terjadinya komunikasi yang baik 10. Saling menghormati dan saling percaya.
g. Pemantapan Kultur. Konsep pemantapan, untuk menggambarkan perubahan dari kondisi kultur polisi sipil yang masih kurang stabil menjadi lebih stabil. Pemahaman tentang : a. Kata civil dikaitkan dengan civility yang secara harafiah berarti kesopanan. Dalam kata civilize yang berarti membudayakan lebih sopan. Kata civilization yang berarti peradaban, cara hidup orang atau negara yang beradab. Dengan demikian, civility tidak bisa diartikan hanya sebagai kesopanan, melainkan mencakup pemahaman yang lebih luas, termasuk peradaban. b. polisi sipil bukan polisi kekuasaan meskipun menggunakan kekuasaan lasimnya kepolisian. Konsep polisi sipil adalah pada pengakuan polisi atas diri klien sebagai sosok bermartabat dan berharga diri. Nilai-nilai martabat/harga diri tersebut melekat dalam setiap pelayanan, pengayoman, perlindungan dan penegakan hukum.
B. Analisis Faktor Pengaruh Kinerja Kepolisian.
1. Aspek Sumber Daya Manusia. a. Dengan berbagai keterbatasan sumber daya manusia, maka Polri kini terus membuat dan melaksanakan program Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). Di berbagai daerah dibangun pula Pemuda Mitra Kamtibmas (PMK), ada Ulama Mitra Kamtibmas dan sebagainya. Yang perlu bagi tuntutan masyarakat adalah dibangun wadah untuk menjembadani antara masyarakat dengan polisi. Kondisi kemitraan polisi dengan masyarakat masih perlu terus ditingkatkan. b.Kondisi sebagian masyarakat yang masih merasa takut berhubungan dengan polisi. Masyarakat masih melihat polisi bagai hantu yang menakutkan. Meski Polri juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk tidak takut melaporkan apabila ada oknum polisi yang arogan dan merusak citra. Masyarakat perlu sadar akan haknya untuk mendapatkan pelayanan dan sebagai mitra polisi.
2. Aspek Kultur. a. Kultur Polisi. Kultur kepolisian Indonesia dibangun atas dasar nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya sebagai pedoman dan tuntunan dalam bertugas. Di samping itu juga berorientasi pada penjabaran nilai-nilai Filosofi, Visi, Misi, tujuan, tugas, wewenang dan Doktrin Polri. Semuanya bermuara pada upaya untuk memelihara Kamtibmas. Melalui kegiatan melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, kiranya mampu mendorong meningkatnya kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat." b. Polisi sebagai elemen aparatur pemerintahan. Berbagai persoalan publik diharapkan dapat dilakukan sharing-position polisi dengan masyarakat dalam pelaksanaan tugasnya, hal ini sebagaimana dirumuskannya konsep community policing oleh Robert R Friedmann (1998). c. Perubahan kultur polisi sebagai kerangka konseptual untuk mengimplementasikannya.
3. Aspek Konsistensi Pelayanan Polisi. Pertama-tama yang perlu dibenahi adalah mentalitas. Mental pelayan diberikan makna positif seiring dengan komitmen seluruh komponen kepolisian. Secara kasuistis penyimpangan petugas kepolisian berdampak negatif. Terutama di tengah kepolisian yang sedang membangun kemitraan dan kepercayaan masyarakat. Misalnya saja Babinkamtibmas telah memberikan penyuluhan bahwa polisi saat ini telah berubah, sudah transparan, tak diskriminasi, dan akuntabel, tak lagi ada pungutan yang menyimpang ketentuan. Namun ironis memang karena masih saja ada sebagian warga yang merasakan ketika berurusan dengan masalah pelayanan oleh petugas polisi ketika menegakkan hukum, sebagian warga masyarakat mengalami perlakuan yang diskriminatif dan pungutan liar yang membebaninya.
4. Aspek Perilaku Aparat. Bahwa masih adanya perilaku aparat yang belum sesuai dengan harapan masyarakat. Perilaku arogan yang masih melekat sebagai warisan masa lalu. Di berbagai daerah, masih banyak oknum-oknum yang belum menyadari tugas sebagai Polri. Banyak oknom polisi yang bersikap arogan dan seakan-akan kebal hukum. Kebijakan Polri itu tidak pernah demikian. Disadari bahwa hal tersebut hanyalah ulah oknum saja, namun ulah segelintir oknum tersebut nama baik Polri menjadi tercemar. Sekarang ini, pimpinan Polri sedang berupaya menertibkan polisi-polisi nakal yang mencemarkan nama baik institusi Polri. Sosok polisi ideal itu adalah low profile, berkomitmen kuat dan punya kemauan kerja, serta memiliki dedikasi yang tinggi. Sedangkan kekurangan Polri, adalah pengawasan secara internal. Kelemahan ini tergolong klasik, ada istilah ”jeruk makan jeruk”. Sesama anggota dalam melaksanakan pengawasan di instansi manapun tak bisa dijamin obyektivitasnya.
5. Aspek Efektifitas Menghadapi Perubahan. Tantangan bagi institusi kepolisian dalam melayani masyarakat yang dinamis dan memang telah banyak mengalami perubahan, namun masih belum efektif. Misalnya saja bagaimana menyesuaikan struktur pengelolaan (governing stucture) kepolisian agar dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Efektivitas struktur pengelolaan organisasi kepolisian dalam melayani masyarakat telah bergerak dari bentuk birokrasi (bureaucracy) ke bentuk pasar (market), lalu ke bentuk jaringan (network), lagi-lagi masih mengalami berbagai ketimpangan.
6. Aspek Efektifitas Komunikasi dengan Masyarakat. Polri harus memperbanyak komunikasi dengan masyarakat. Kemudian lebih banyak melibatkan masyarakat dalam Kamtibmas. Masyarakat juga harus turut serta. Jadi harus ada kedekatan antara polisi dengan masyarakat. Hal ini guna mewujudkan keharmonisan antara polisi dan stakeholder dalam mewujudkan Kamtibmas.
7. Aspek Efektifitas Penggunaan Hukum dan Peraturan non pidana. Dalam perkembangannya kini semakin banyak persoalan yang muncul. Dalam faktanya hal tersebut telaha diatur dalam berbagai produk hukum, peraturan-peraturan, undang-undang publik, dan statuta. Peraturan-peraturan serta undang-undang tersebut dapat digunakan polisi untuk membantu memecahkan masalah. Peraturan-peraturan tentang bangunan, misalnya, dapat digunakan untuk menegakkan tindakan pencegahan kejahatan. Peraturan mengenai kebisingan suara dapat pula digunakan untuk menangani penyewa kamar yang susah diatur, peraturan mengenai kesehatan dapat digunakan untuk mencegah terlalu padatnya tingkat hunian dan mencegah peredaran narkoba.
8. Aspek Kebijakan di Bidang Operasional. Kebijakan di bidang operasional diarahkan agar terpeliharanya Kamtibmas, tegaknya hukum serta meningkatnya kualitas perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, guna terwujudnya Kamdagri. Penerapan strategi tersebut antara lain adalah meningkatkan pemeliharaan Kamtibmas dengan mengedepankan pendekatan pre-emtif dan preventif.
9. Aspek Sikap Perilaku Anggota Polri. Masih banyaknya perilaku yang belum sepenuhnya mencerminkan jati diri sebagai pelindung, penyayom dan pelayan. masyarakat Penampilan Polri masih menyisakan sikap perilaku yang arogan, cenderung menggunakan kekerasan, diskriminatif, kurang responsif dan belum profesional masih merupakan masalah yang harus dibenahi secara terus menerus.
C. Polmas Sebagai Strategi Dalam Partnership Building
1. Pembinaan Terhadap Aspek Internal.
a. Mengembangkan Sistem Pembinaan Sumberdaya Manusia. Pembinaan SDM khusus bagi petugas Polmas yang meliputi : 1) Rekruitmen, pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan para pelatih maupun petugas Polmas. 2) Pembinaan karier secara berjenjang dari tingkat kelurahan sampai dengan supervisor dan pembina Polmas tingkat Polres dan seterusnya. 3) Penilaian kinerja dengan membuat standar penilaian baik untuk perorangan maupun kesatuan. 4) Pemberian penghargaan dan penghukuman yang tepat dan consisten. Menyelenggarakan program-program pendidikan dan pelatihan Polmas secara bertahan sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan. 5), Meningkatkan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan tugas Polmas. 6) Menyediakan dukungan anggaran yang memadai dalam pelaksanaan tugas Polmas. 7) Mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang kondusif bagi penerapan Polmas sehingga setiap aktivitas penyajian layanan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Setiap anggota Polri seharusnya menunjukkan sikap dan perilaku yang respek dan senantiasa membangun hubungan yang harmonis. Meningkatkan kemampuan anggota kepolisian sehingga tercapai kinerja yang diharapkan. Proses tersebut melibatkan peran masyarakat sebagai mitra kepolisian.
b. Mengembangkan Model Penerapan Polmas. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam kebijakan) bahwa Polmas merupakan kebijakan strategis mengingat hal tersebut merupakan wujud perkembangan kepolisian moderen dalam Negara demokrasi yang plural yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. 1) Polmas yang dikembangkan dari pola tradisional seperti Model Siskamling seperti ronda kampung dan ronda kawasan pemukiman) . 2) Pemberdayaan Pranata Sosial seperti halnya dengan Jaga baya, jaga tirta, Pecalang, dan Pela gandong. 3) Melalui intensifikasi kegiatan fungsi Binmas Polri. penerangan, penyuluhan. 4) Patroli. 5) kegiatan pembinaan oleh fungsi teknis kepolisian. 6) penggalangan potensi komunitas. 7) pendidikan/pelatihan keterampilan Kamtibmas. 8) Koordinasi dan kerjasama kamtibmas. Polmas yang dikembangkan dari Pola Community Policing di Negara lain yang kini diadopsi di Indonesia meliputi : 1) Perpolisian masyarakat sesuai dengan Skep Kapolri No. Pol. :Skep/737/X/2005) yang terdiri atas komponen petugas Polmas, pembentukan FKPM, pembentukan Balai Kemitraan Polri-masyarakat. 2) Di Jepang yakni sistem Koban dan sistem Chuzaisho. 3) Kanada dan Amerika Serikat melalui Hot Spot Area dan Neighborhood Watch.
c. Memberikan Program Pelatihan. Program pelatihan diberikan kepada setiap anggota kepolisian tentang teknologi kepolisian dan tehnik berkomunikasi dengan masyarakat secara efektif. Polri harus memperbanyak komunikasi dengan masyarakat. Kemudian lebih banyak melibatkan masyarakat dalam Kamtibmas. Masyarakat juga harus turut serta. Jadi harus ada kedekatan antara polisi dengan masyarakat. Hal ini guna mewujudkan keharmonisan antara polisi dan stakeholder dalam mewujudkan kamtibmas. Sedangkan teknologi kepolisian, adalah untuk mendukung trust building. Dimaksudkan untuk mendukung profesionalisme kepolisian. Bahwa secara teknis pengembangan teknologi kepolisian merupakan bagian dari unsur kualitas pelayanan kepolisian yang moderen dan akan memampukan institusi kepolisian untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
d. Menerapkan Manajemen Perubahan Secara Konsisten. Guna keberhasilan Polmas maka harus didukung perubahan manajemen. Hal ini terkait dengan Polmas sebagai strategi yang mendasar dari penyelenggaraan tugas kepolisian yang semula mendasari prinsip layanan birokratif menuju arah personalisasi penyajian layanan kepolisian, yakni yang layanan nyata oleh petugas kepolisian yang langsung bersentuhan dengan warga masyarakat.) Selain itu layanan juga dilaksanakan oleh seluruh tingkatan, dengan kebijakan yang komprehensif. Perubahan manajemen Polri diarahkan untuk mendukung kebijakan Polmas, diarahkan untuk berkembangnya organisasi yang berdaya saing sehat, setiap individu diarahkan kepada penciptaan kesempatan melakukan perubahan baik karier maupun kehidupan pribadinya. Perlu langkah antisipatif terhadap penolakan perubahan manajemen bagi yang telah berada pada “zona aman”.
e. Mengembangkan Sistem Pengawasan yang Efektif. Untuk meningkatkan profesionalitas dan kinerja personil Polri, dibutuhkan sistem pengawasan dan penilaian terhadap perencanaan dan implementasi program kerja atau kegiatan guna mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan program kerja atau kegiatan tersebut. Mekanisme pengawasan dilakukan secara berkala, mencakup pengawasan internal organisasi Polri dan pengawasan yang dilakukan pihak lain di luar Polri, seperti masyarakat, media massa, ormas, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lain-lain. Sedangkan sistem penilaian (evaluasi) dilakukan pada setiap periode tertentu atau pada akhir program kerja dan didasarkan atas kriteria dan indikator keberhasilan program kerja yang jelas dan transparan.
f. Mengembangkan Akuntabilitas Publik. Polri merupakan lembaga publik yang secara struktural bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia, namun secara moral juga bertanggung jawab kepada rakyat, karena sumber anggaran Polri berasal dari pajak-pajak yang dibayarkan masyarakat. Oleh karena itu, Polri harus mempertanggungjawabkan seluruh penggunaan anggaran kepada masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas publik oleh Polri. Sebagai bentuk akuntabiltas publik, pemimpin Polri dapat membangun mekanisme pertanggungjawaban setiap unit dari kesatuannya. Setiap unit di kesatuan Polri (Mabes, Polda, Polres dan Polsek) harus membuat laporan pertanggungjawaban yang menunjukkan tingkat pencapaian hasil berdasarkan perbandingan antara perencanaan dengan realisasi (program dan anggaran).
g. Memberikan Pelatihan Pelayanan Prima. Kepada seluruh petugas kepolisian diberikan pelatihan pelayanan prima, pembenahan aspek mentalitas. Mental pelayan bukan lagi slogan kosong namun diberikan makna dengan komitmen seluruh komponen kepolisian. Sering terjadi secara kasuistis namun berdampak negatif akan adanya konsep pelayan masyarakat namun praktiknya perilaku feodal yang dipertontonkan. Dalam membangun kemitraan dan kepercayaan masyarakat pemaknaan pelayan yang sebenar-benarnya sebagai pelayan. Babinkamtibmas dengan mulut berbusa telah memberikan penyuluhan bahwa polisi telah berubah. Sudah transparan, tak diskriminasi, dan akuntabel, tak lagi ada pungutan yang menyimpang ketentuan. Nyatanya ketika warga berurusan dengan petugas reserse, masyarakat mengalami perlakuan yang diskriminatif yang nyata-nyata melukai hati mereka.
h. Penetapan Kebijakan Remunerasi. Ini dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan beban tugas setiap anggota kepolisian, sehingga pelaksanaan tugas dapat dilakukan secara lebih fokus. Hal tersebut sejalan dengan paradigma polisi yang berorientasi kepada kualitas pelayanan masyarakat. Indikator Keberhasilan perpolisian masyarakat adalah sebagai berikut : 1. Intensitas kegiatan forum baik kegiatan pengurus maupun keikut-sertaan warganya. 2. Kemampuan forum menemukan dan mengidentifikasikan akar masalah, 3. Kemampuan petugas Polmas dalam penyelesaian masalah termasuk konflik/pertikaian antar warga, 4. Kemampuan mengakomodir/menanggapi keluhan masyarakat. 5. Intensitas kunjungan warga oleh petugas Polmas meningkat.
2. Pembinaan Terhadap Aspek Eksternal
a. Membangun Kepercayaan Masyarakat. Institusi kepolisian melakukan upaya mempromosikan nilai-nilai demokrasi berkaitan dengan partisipasi masyarakat guna mengembangkan kemitraan dengan masyarakat terus dilakukan. Selain terkait dengan isu-isu Kamtibmas, Polmas juga terkait dengan isu-isu lain yang dibutuhkan masyarakat. Pada tingkatan dan kondisi tertentu, berhubungan dengan polisi diciptakan sebagai hal yang menyenangkan. diperlukan : 1. kecepatan dan ketepatan waktu dalam menangani masalah yang dihadapi masyarakat. 2. Tugas dan peran polisi tidak lagi dirasakan sebagai hal yang dikomersialisasi.
b. Memenuhi Harapan Masyarakat. Adanya polisi sipil yang profesional yang lebih mengutamakan kemitraan (partnership) dan pemecahan masalah (problem solving) untuk menunjukkan jati diri polisi sipil yang humanis dan mampu berkomunikasi dari hati ke hati dengan warga masyarakat. Senantiasa berupaya mengurangi rasa ketakutan warga masyarakat terhadap gangguan kamtibmas dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Keberhasilan Polri membungkam berbagai kejahatan seperti judi dan premanisme, membuat citra Polri semakin menguat.
c. Mengadakan Kerjasama Dengan Instansi Terkait Lainnya. Ketertiban masyarakat merupakan hasil dari proses panjang cara masyarakat mengelola kehidupan bersama. Dalam proses ini masyarakat memasukkan gagasan tentang hak dan kewajiban, kemudian merumuskan dalam sistem aturan baik yang bersifat formal maupun non-formal beserta sarana dan prasarana untuk mengelola dan menegakkannya.
d. Meningkatkan Peranserta Aktif stakeholder. Pemeliharaan Kamtibmas merupakan tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat. Untuk itu, Polri membutuhkan dukungan dari berbagai pihak terkait (stakeholders) guna memelihara Kamtibmas. Dalam rangka pemeliharaan kamtibmas tersebut, Polri meningkatkan dukungan dari berbagai kalangan, seperti pemerintah daerah, DPRD, dunia usaha (private sector), media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi dan masyarakat. Dukungan stakeholders dapat diwujudkan dalam bentuk pengawasan masyarakat, media massa dan LSM terhadap perilaku personil Polri.
e. Mengembangkan Berbagai Terobosan Dalam Bentuk Pelatihan Dan Sosialisasi. Guna membangun kultur polisi yang mampu berkomunikasi efektif dengan masyarakatnya sehingga mereka mudah mendapat informasi dari kepolisian tentang hukum. Menciptakan program Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). Misalnya Pemuda Mitra Kamtibmas (PMK), Ulama Mitra Kamtibmas, Cendekia mitra Kamtibmas, dan sebagainya. Yang diperlukan bagi masyarakat adalah dibangun wadah untuk menjembadani antara masyarakat - Polri melalui program kemitraan agar masyarakat tidak takut berhubungan dengan polisi, lebih berani memposisikan polisi dan masyarakat sebagai mitra.
f. Operasionalisasi Polmas. Kegiatan perorangan oleh petugas Polmas, supervisor, dan unsur manajemen mencakup : a. Petugas pengemban Polmas di lapangan, antara lain memfasilitasi siskamling, memanfaatkan pertemuan warga dan kegiatan masyarakat seperti pertandingan sepak bola, konser musik, dan melakukan tatap muka dengan berbagai kelompok termasuk tokoh masyarakat, agama, pemuda , dan sebagainya.) b. Supervisor/pengendali Polmas, melalui 1) tatap muka dengan komunitas tertentu. 2) memberdayakan peran pranata sosial tertentu. 3) memfasilitasi kegiatan umum. 4) melakukan koordinasi dengan penyelenggara kegiatan demi mencegah terjadinya gangguan keamanan. 5) menghadiri/memfasilitasi forum diskusi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu. 6) memfasilitasi penyelenggaraan lomba-lomba keterampilan tertentu terkait dengan masalah Kamtibmas. C. Manajemen. Melakukan kegiatan : 1) koordinasi dan komunikasi dengan pejabat formal dalam rangka pengembangan sistem penanggulangan Kamtibmas. 2) konsultasi dan diskusi dalam pembuatan aturan, perijinan, pengaturan, dan pembangunan dalam rangka pencegahan dan penaggulangan bencana alam.3) koordinasi dengan Pemda dan institusi terkait. 4) penentuan sasaran, metode dan prioritas penerapan program di wilayah dalam batas kewenangan jabatannya.
g. Mengembangkan Perilaku Terpuji. Di berbagai tempat tugas masih banyak ditemukan oknum polisi yang belum menyadari tugasnya. Sikap arogan dan seakan-akan kebal hukum berdampak negatif dalam era reformasi birokrasi. Dampak ulah negatif segelintir oknum, nama baik Polri menjadi tercemar. Polri sedang berupaya menertibkan polisi-polisi nakal yang mencemarkan nama baik institusinya. Sosok polisi ideal itu adalah low profile, berkomitmen kuat, punya kemauan kerja, dan memiliki dedikasi yang tinggi. Kekurangan aspek pengawasan secara internal tergolong klasik, munculnya istilah ”jeruk makan jeruk”, dimaknai sebagai sesama anggota dalam melaksanakan pengawasan di instansi manapun tak bisa dijamain obyektivitasnya. Profesionalisme kepemimpinan dipersiapkan dan dikembangkan melalui pembinaan dan kaderisasi secara proporsional sehingga menghasilkan figur-figur pemimpin kepolisian yang mampu mengemban tugas kepolisian secara efektif terlebih dalam mengembangkan perilaku teruji. Tugas tersebut terkait dengan kemampuan membawa anggota dan mempengaruhi masyarakatnya untuk menumbuhkan kepercayaan guna membangun kemitraan yang lbih efektif.
III. P E N U T U P
Kepolisian merupakan bagian integral aparat negara yang mengemban tugas sejalan dengan visi dan misinya, sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat serta dalam penegakan hukum. Menjawab tuntutan masyarakat yang kini terus mereformasi diri ini Polri telah mencanangkan pembenahan institusinya dalam aspek struktural, instrumental dan kultural. Dalam pembangunan aspek kultural merupakan langkah penting dalam meningkatkan kualitas kinerja kepolisian, sebagaimana yang diharapkan masyarakat yaitu profil polisi yang memiliki citra positif di masyaraka. Membangkitkan semangat dan motivasi masyarakat untuk bersedia menjadi mitra kepolisian. Dari berbagai kebijakan pimpinan Kepolisian dalam membangun kultur institusinya bila dicermati maka ada dua hal yang penting akan berdampak positif, hal tersebut adalah penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta peneraapan Polmas.
Mewujudkan pencitraan merupakan strategi yang efektif dalam membangun kepercayaan masyarakat (trust building). Kiranya akan menjadi sebuah kejanggalan bila hanya menuntut kesadaran masyarakat untuk percaya dengan polisi bila citra polisi tak lagi berkenan di hati masyarakat. Disadari bahwa kepercayaan yang tengah dan terus dibangun oleh kepolisian masih perlu dikembangkan terus-menerus. Bila disimak dari pemahaman dari aspek kultur maka akan semakin membuka wacana bahwa kultur terkait dengan nilai-nilai yang dilahirkan dari proses perilaku organisasi yang positif dan bermanfaat dalam keberadaan organisasi tersebut.
Dalam salah satu tuntutannya adalah bahwa setiap anggota kepolisian wajib memahami dan menerapkan kultur kepolisian baik dalam menegakkan hukum maupun melayani dan mengayomi serta melindungi masyarakatnya. Karena setiap anggota kepolisian merupakan kepanjangan tangan negara selaku aparat penegak hukum dalam tanggungjawabnya memelihara Kamtibmas. Sikap dan perilaku yang telah menjadi kebiasaan serta nilai-nilai dalam organisasi kepolisian inilah yang pada gilirannya diharapkan mampu menjadikan nilai-nilai dan kultur yang mampu merubah tampilan individu atau kelompok dalam suatu organisasi khususnya dalam institusi kepolisian yang profesional sebagaimana tuntutan masyarakatnya.
Membangun Kultur Polmas bagi Kepolisian di Indonesia merupakan upaya peningkatan kualitas kinerja dan profesionalisme guna mewujudkan kepolisian sipil yang demokratis. pembangunan aspek kultur yang terus bergulir antara lain melalui kebijakan dan strategi penerapan model perpolisian masyarakat dalam penyelenggaraan tugas kepolisian. Keterkaitan dengan aspek strategi lainnya adalah bahwa kepolisian melalui grand Strateginya tahun 2005 sampai dengan 2010 salah satu sasarannya adalah membangun kepercayaan masyarakat.
Polmas sebagai salah satu paradigma baru di lingkungan organisasi kepolisian di negara Indonesia, dalam aplikasinya melalui kehadiran polisi di tengah masyarakat dengan cara lebih mengedepankan aspek-aspek preemtif dan preventif bukan lagi represif. Untuk mendukung kultur Polmas perlu dibangun kebijakan strategis yang sifatnya desentralisasi kewenangan pada unit Community Policing, serta adanya kewenangan. David H. Bayley berpendapat bahwa terdapat sistem tiga tingkat yang saling terkait erat. Kegiatan kepolisian komunitas ini merupakan kegiatan yang sistematis dan terprogram, seperti halnya Koban di Jepang, keberadaan pos polisi di semua tingkat kelurahan dapat dijadikan ujung tombak operasional perpolisian masyarakat.
Dengan demikian Polmas merupakan sistem baru yang merupakan sintesa kepolisian tradisional yang terdiri atas struktur, personil, dan pengendalian. Kebijakan membangun kultur kepolisian yang bersemangat kemitraan dengan masyarakat, diperlukan konsistensi, keteladanan dalam perilaku, serta biaya operasional serta tingkat kesejahteraan yang memadai, termasuk kontrol sosial serta partisipasi aktif masyarakat dalam kemitraan dimaksud. Langkah-langkah yang telah ditempuh ini merupakan keseriusan institusi kepolisian untuk membangun kultur polisi yang demokratis dan menegakkan HAM.
Dalam rangka pencegahan Kejahatan maka ; Polmas mempunyai falsafah kerja kepolisian yang bersifat personal; Polmas mempunyai gaya manajemen dan strategi organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara pro-aktif bersama-sama dengan masyarakat; Polmas mempunyai tujuan memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun sebab permasalahan lain dalam masyarakat, dengan bekerja dalam hubungan kemitraan polisi-masyarakat. Tujuan Polmas bekerja dalam kemitraan dengan masyarakat, menanggulangi kejahatan maupun masalah-masalah sosial lainnya yang ada dalam wilayah kerja anggota polisi bersangkutan.
Dari analisis terhadap kinerja kepolisian maka ditemukan berbagai factor yang berpengaruh seperti halnya : 1. Aspek Sumber Daya Manusia. Dengan berbagai keterbatasan sumber daya manusia, hal ini berpengaruh dalam melaksanakan program Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). 2. Aspek Kultur, Kultur kepolisian Indonesia dibangun atas dasar nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya sebagai pedoman dan tuntunan dalam bertugas, perlu terus menerus ditanamkan sebagai landasan merubah kultur polisi yang mampu mendukung kepercayaan demi membangun kemitraan. 3.Aspek Konsistensi Pelayanan Polisi dalam aspek mentalitas sebagai unsur dalam membangun kemitraan tersebut. 4. Aspek Perilaku terus dikembangkan sehingga perilaku aparat menjadi sesuai dengan harapan masyarakat. Perilaku arogan yang masih melekat sebagai warisan masa lalu terus dikikis dengan pencitraan polisi yang berubah kulturnya. 5. Aspek Efektifitas Menghadapi Perubahan. Tantangan bagi institusi kepolisian dalam melayani masyarakat yang dinamis dan memang telah banyak mengalami perubahan, namun masih belum efektif. 6. Aspek Efektifitas Komunikasi dengan Masyarakat. Polri harus memperbanyak komunikasi dengan masyarakat, lebih banyak melibatkan masyarakat dalam memelihara Kamtibmas. 7. Aspek Efektifitas Penggunaan Hukum dan Peraturan non pidana semakin sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat yang terus menghendaki reformasi tersebut. 8. Aspek Kebijakan di Bidang Operasional. Kebijakan di bidang operasional diarahkan agar terpeliharanya Kamtibmas, tegaknya hukum serta meningkatnya kualitas perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.
Dari tinjauan Polmas Sebagai Strategi Dalam Partnership Building, sebagaimana pengalaman empirik di berbagai Negara yang telah menerapkan Polmas, maka Polmas dapat dijadikan strategi dalam mewujudkan partnership building. Hal tersebut meliputi : Pembinaan terhadap Aspek Internal mutlak dilakukan secara proporsional melalui : a. Mengembangkan Sistem Pembinaan Sumber Daya Manusia. Pembinaan SDM meliputi rekruitmen, pendidikan/pelatihan, untuk menyiapkan para pelatih Polmas, pembinaan karier, penilaian kinerja, pemberian penghargaan dan penghukuman yang tepat dan consisten, meningkatkan sarana dan prasarana, menyediakan dukungan anggaran yang memadai, dan mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang kondusif bagi penerapan Polmas. b. Membangun Model Penerapan Polmas. Sebagaimana yang telah ditetapkan bahwa Polmas merupakan kebijakan strategis mengingat hal tersebut merupakan wujud perkembangan kepolisian moderen dalam Negara demokrasi. c. Memberikan Program Pelatihan. Program pelatihan diberikan kepada setiap anggota kepolisian tentang teknologi kepolisian dan tehnik berkomunikasi dengan masyarakat secara efektif. d. Mewujudkan keharmonisan antara polisi dan stakeholder dalam mewujudkan kamtibmas. Sedangkan teknologi kepolisian, adalah untuk mendukung trust building, hal ini dimaksudkan untuk mendukung profesionalisme kepolisian. e. Menerapkan Manajemen Perubahan Secara Konsisten. Hal ini terkait dengan Polmas sebagai strategi yang mendasar dari penyelenggaraan tugas kepolisian yang semula mendasari prinsip layanan birokratif menuju arah personalisasi penyajian layanan kepolisian, yakni layanan nyata oleh petugas kepolisian yang langsung bersentuhan dengan warga masyarakat. f. Membangun Sistem Pengawasan yang Efektif. Untuk meningkatkan profesionalitas dan kinerja personil Polri, dibutuhkan sistem pengawasan dan penilaian terhadap perencanaan dan implementasi program kerja atau kegiatan guna mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan program kerja tersebut. g. Membangun Akuntabilitas Publik. Polri merupakan lembaga publik yang secara struktural bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia, namun secara moral juga bertanggung jawab kepada rakyat, karena sumber anggaran Polri berasal dari pajak-pajak yang dibayarkan masyarakat. h. Memberikan Pelatihan Pelayanan Prima. Kepada seluruh petugas kepolisian diberikan pelatihan pelayanan prima dan pembenahan aspek mentalitas, sehingga mental pelayan bukan lagi slogan kosong namun diberikan makna dengan komitmen seluruh komponen kepolisian. i. Penetapan Kebijakan Remunerasi. Ini dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan beban tugas setiap anggota kepolisian, sehingga pelaksanaan tugas dapat dilakukan secara lebih fokus. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong kinerja yang lebih transparan dan akuntabel serta profesional.
Dalam rangka pembinaan terhadap Aspek Eksternal, diperlukan keseriusan komponen kepolisian melalui komitmen yang kuat untuk : a. Membangun Kepercayaan Masyarakat, terkait dengan isu-isu Kamtibmas dan isu-isu lain yang terjadi di masyarakat. b. Memenuhi Harapan Masyarakat. Adanya polisi sipil yang profesional yang lebih mengutamakan kemitraan dan pemecahan masalah untuk menunjukkan jati diri polisi sipil yang humanis dan mampu berkomunikasi dari hati ke hati dengan warga masyarakat. c. Mengadakan Kerjasama Dengan Instansi Terkait Lainnya. Kamtibmas merupakan hasil dari proses panjang cara masyarakat mengelola kehidupan bersama. d. Meningkatkan Peranserta Aktif stakeholder untuk memelihara Kamtibmas. e. Memberikan Berbagai Terobosan Dalam Bentuk Pelatihan dan Sosialisasi. Guna membangun kultur polisi yang mampu berkomunikasi efektif dengan masyarakatnya sehingga mereka mudah mendapat informasi dari kepolisian tentang hukum. f. Operasionalisasi Polmas, merupakan kegiatan perorangan oleh petugas Polmas, supervisor, dan unsur manajemen. g. Membangun Perilaku Polisi Profesional. Profesionalisme kepemimpinan dipersiapkan dan dikembangkan melalui pembinaan dan kaderisasi secara proporsional sehingga menghasilkan figur-figur pemimpin kepolisian yang mampu mengemban tugas kepolisian secara efektif.
Pengembangan Polmas sebagai filosofi dan strategi dalam partnership building harus dilakukan secara bertahap : pertama, pengembangan sumber daya manusia Polri dan pembentukan Polmas berikut sarana/ prasarana pada desa/kelurahan sesuai kebutuhan operasional sehingga kebutuhan penempatan petugas Polmas secara menyeluruh. Untuk mencapai tujuan penerapan Polmas maka diperlukan strategi. Kedua, membangun dan membina kemitraan dengan tokoh-tokoh sosial, media massa dan lembaga swadaya masyarakat dalam rangka memberikan dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan Polmas. Ketiga, membentuk FKPM sebagai wadah kerjasama polisi--masyarakat dalam operasionalisasi Polmas, termasuk membentuk Pusat Kajian Polmas guna mengembangkan evaluasi kinerja Polmas guna pengembangan model tersebut.
(http://kadarmanta.blogspot.com/)
DAFTAR PUSTAKA
Djamin, Awaloedin, 1999, Menuju Polri Mandiri yang Profesional, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia.
---------, 2004, Polri Pengamanan Swakarsa dan Community Policing.
Finlay Mark dan Ugljesa Zvekic,1993, Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal.
Friedmann Robert, 1992, Community Policing, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal.
Hafidah, Noor, 2001, Membangun Sumber Daya Manusia Indonesia Dalam Perspektif Globalisasi, Bhayangkara PPITK, Jakarta.
Himpunan Teori / Pendapat Para Sarjana Yang Berkaitan Dengan Kepolisian, 2008,
PTIK, Jakarta.
Kadarmanta, A., 2010, Perpolisian masyarakat Dalam Trust Building, Forum Media Utama, Jakarta.
Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008, tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah.
Pasis Selapa Polri Dikreg XXXVIII, Menyelamatkan Bangsa dari Narkoba dan Teroris melalui Polmas, 2007, Forum Media Utama, Jakarta.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 7 tahun 2008, tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam penyelenggaraan Tugas Polri.
Panduan Pelatihan Polmas untuk anggota Polri, tahun 2006.
Ronny Lihawa, Drs., Msi., Memahami Perpolisian Masyarakat (Polmas) Undersatanding Community Policing, Biro Bimmas Sdeops Polri, Jakarta.
Robins, Stephen P., 2005, Perilaku Organisasi, P.T Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 1998, Mengkaji Kembali Peran dan Fungsi Polri dalam Masyarakat di Era Reformasi, makalah Seminar Nasional tentang Polisi dan Masyarakat dalam Era Reformasi.
---------, 2007. Membangun Polisi Sipil; Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: PT.Kompas-Gramedia.
---------, 2002, Polisi Sipil, Jakarta, Gramedia
--------, 2004. Pemolisian Komuniti (Community Policing) di Indonesia.
Suparlan Parsudi, 1997, Polisi dan Fungsinya dalam Masyarakat, Diskusi angkatan I KIK Program S2 UI.
---------, 1999, Makalah sarasehan "Etika Publik Polisi Indonesia", tanpa penerbit.
---------, 1999, Ilmu Kepolisian dan Dinamika Masyarakat, Orasi Ilmiah dalam rangka Dies Natalis PTIK ke-53.
---------,2001, Kajian Ilmu Kepolisian, Partnership Governance Reform in Indonesia 23-24 oktober 2001.
Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Trojanowicz Robert, 1998, Community Policing: How To Get Started, co-authored with policing.com’s Bonnie Bucqueroux (Anderson Publishing, Cincinnati, OH.
Tabah, Anton, 2008, Bureaucracy Policing (pemolisian Birokrasi), CV. Sahabat , Klaten, Jawa Tengah.
Williams, Chuck, 2001, Manajemen, Salemba Empat, Jakarta.
Wren, Daniel A., 1994, The Evolution of Management Thought (Fourth Edition).
http://www.crossborderpartnerships.com/partnerships/guide- theoryparticipationladder.aspx
http://www.1000ventures.com/business_guide/partnerships_main.html
http://www.slideshare.net/NCPC/improving-policecommunity-relations-presentation
http://www.klikgalamedia.com/indexnews.php?wartakode=20100407101306&idkolom=opinipendidikan
A. Latar Belakang
Perjalanan reformasi telah membawa seluruh institusi dan komponen masyarakat negeri ini untuk terus berbenah diri. Pembenahan telah menyentuh berbagai ranah yang mengatur kepentingan kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut seiring dengan tuntutan kualitas pelayanan publik yang selama ini telah mengalir melalui setiap kebijakan birokrasi. Kepolisian merupakan bagian integral aparat negara yang mengemban amanah melalui visi, misi, dan tugas pokoknya sebagai penegak hukum, pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat.
Sejalan dengan pemikiran di atas maka terdapat hal-hal yang perlu dicermati secara tepat terkait dengan operasionalnya yakni; Falsafah kepolisian yang bersifat personal dalam arti anggota polisi yang sama bertugas di masyarakat yang sama; Gaya manajemen dan strategi organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara pro-aktif; Tujuan untuk memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun permasalahan lain dalam masyarakat, dengan menerapkan prinsip menjalin hubungan kemitraan polisi-masyarakat.
Perpolisian tradisional lebih menekankan pada angka statistik penyelesaian kasus (crimes solved or offenses cleared by arrest) sebagai parameter hard data untuk membuktikan berhasilnya pekerjaan kepolisian. Perpolisian moderen merupakan hasil perkembangan perpolisian konvensional. Selain itu juga memberikan masyarakat peran untuk ikut bertanggungjawab terhadap Kamtibmas. Sedangkan unsur penegakan hukum tetap menjadi tanggungjawab polisi. Terkait dengan itu polisi melakukan pendekatan terhadap masalah kejahatan dilihat dari perspektif yang lebih luas, mulai dari mencari asal mula kejahatan sampai pada pemecahan masalah kejahatan maupun masalah lain yang menjadi perhatian publik. Pola perpolisian berorientasi pada penuntasan masalah (problem solving policing) dan kegiatan sepenuhnya berorientasi pada pelayanan publik (public service policing). Pemolisian mengandalkan sumber daya setempat (resource based policing), dan mengakomodir kebutuhan masyarakat, serta mempertahankan kedekatan dengan masyarakat (community policing).
Selain itu sebagai dukungan terhadap perpolisian moderen implementasi Polmas diwujudkan oleh kiprah kepolisian profesional, demokratis, berwibawa, kuat, dan dekat dengan masyarakat. Hal tersebut sangat relevan dengan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang harmonis. Perlunya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian guna membangun kemitraan. Dalam implementasi tugas-tugas kepolisian dituntut cocok dengan kebutuhan masyarakatnya. Diperlukan kebijakan pimpinan institusi kepolisian dalam membangun kemitraan masyarakat baik terkait dengan aspek teknis kepolisian, penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) maupun penerapan Polmas. Sebagai model strategi dalam membangun kemitraan (partnership building) maka Polmas dibutuhkan efektifitas perannya dalam implementasinya.
Citra polisi di mata masyarakat dengan iklim yang kurang kondusif akan menjadi ganjalan dalam membangun kemitraan. Tuntutan pencintraan tersebut sangat terkait dengan perilaku polisi yang etis dan bermoral. Dampak reformasi Indonesia adalah lahirnya tuntutan masyarakat terhadap institusi kepolisian dengan citra profesional dan humanis. Untuk itu maka kini terus dilakukan uapaya memantabkan kultur polisi sipil yang demokratis, menegakkan hukum dan hak asasi manusia. Polmas dalam partnership building mendorong terwujudnya kepolisian profesional dan berorientasi pada kepuasan masyaraka. Hal ini telah mengedepankan tindakan proaktif, menjadikan masyarakat sebagai subyek. Menempatkan masyarakat sebagai mitra kerja yang setara dalam mewujudkan Kamtibmas.
B. Permasalahan. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan pokok permasalahan yakni : ” Bagaimanakah Polmas sebagai strategi dalam partnership building?”
II. PEMBAHASAN
A. Hakekat, landasan hukum, dan landasan konseptual Polmas
1. Hakekat Polmas. Pada hakekatnya Polmas atau perpolisian masyarakat (community policing) merupakan : a. perwujudan kerjasama Polisi dan masyarakat untuk menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial dalam rangka menciptakan ketentraman umum dalam kehidupan masyarakat setempat. Konsepsi Polmas secara konvensional melembaga dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Polmas merupakan model community policing ala negeri ini. b. Menanggulangi kejahatan dan ketidaktertiban sosial mengandung makna bukan hanya mencegah timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan permasalahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap Kamtibmas. c. Menciptakan ketentraman umum. Mengandung makna bahwa Polmas bukan hanya sekedar meniadakan gangguan faktual terhadap Kamtibmas tetapi juga perasaan takut warga menghadapi gangguan Kamtibmas. d. Kerjasama Polisi dan masyarakat yang mengandung makna bukan sekedar bekerja bersama dalam operasionalisasi penanggulangan kejahatan dan ketidaktertiban sosial tetapi juga meliputi mekanisme kemitraan yang mencakup keseluruhan proses manajemen, mulai dari perencanaan sampai pengawasan/ pengendalian dan analisis/ evaluasi atas pelaksanaannya. e. Falsafah kerja kepolisian yang bersifat personal dalam arti anggota polisi yang sama bertugas dalam masyarakat, didukung oleh gaya manajemen dan strategi organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara proaktif bersama-sama dengan masyarakat. f. Polmas mempunyai tujuan memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun permasalahan lain dalam masyarakat, dengan bekerja dalam hubungan kemitraan polisi-masyarakat, dengan polisi sebagai "problem solver". g. Pemolisian Masyarakat suatu filosofi atau strategi yang dimiliki oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugasnya. Dan hal yang terpenting bagi Polri sebelum menerapkan Polmas adalah bagaimana institusi tersebut dapat dipercaya oleh masyarakat, untuk mempermudah terjadinya kemitraaan.
2. Landasan Hukum. Landasan hukum Perpolisian masyarakat meliputi : a. UUD 1945 perubahan Kedua Bab XII Pasal 30 : (1) Tiap-tiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha … Keamanan negara. (2) Usaha … Keamanan negara dilaksanakan melalui sistem … keamanan rakyat semesta oleh … dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. b. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pertimbangan huruf b ditegaskan bahwa “Pemeliharaan Keamanan Dalam Negeri dilakukan oleh Polri selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Sedangkan pada Pasal 3 : (1) Pengembangan fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau bentuk-bentuk pengawasan swakarsa. (2) Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, dan c, melaksankan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. c. Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.) d. Bahwa untuk anev Polmas dilakukan melalui sistem pendataan yang memungkinkan proses analisis dari satuan terbawah Kepolisian Sektor (Polsek) sampai Markas Besar (Mabes Polri) (pasal 54).) Dalam Skep/737/X/2005, Polmas menjadi program penuh dari tingkat Polsek sampai Polres, sedangkan pengawasan kegiatan dilakukan hingga tingkat Polda.
3. Landasan Konseptual.
a. Pengertian. Berbagai hal yang perlu diuraikan terkait dengan pengertian Polmas adalah sebagai berikut : 1. Konsep Polmas mencangkup dua unsur yakni Perpolisian dan masyarakat. Secara harafiah, perpolisian yang merupakan terjemahan dari kata Policing berarti segala hal ikhwal penyelenggaraan fungsi Kepolisian. Pengelolaan fungsi kepolisian secara menyeluruh. Mulai dari tataran manajemen puncak sampai manajemen lapis bawah, termasuk pemikiran-pemikiran filosofinya. 2. Masyarakat yang merupakan terjemahan dari kata Community dalam konteks Polmas berarti warga masyarakat yang berada di dalam suatu wilayah kecil yang jelas batas-batasnya. Dalam perkembangan kebijakan Kapolri selanjutnya ) Community Policing diterjemahkan sebagai pemolisian masyarakat atau perpolisian masyarakat atau disingkat Polmas. Sedangkan pemolisian, merupakan pemberdayaan seluruh komponen dan sumber daya yang dapat dilibatkan dalam tugas dan fungsi guna mendukung penyelenggaraan fungsi kepolisian agar mendapatkan hasil yang lebih optimal.) 3. Trust building dalam konteks ini dimaksudkan sebagai public trust building yakni membangun kepercayaan masyarakat terkait dengan strategi Polmas. 4. Perpolisian masyarakat dalam trust building dimaksudkan sebagai seluruh kiprah perpolisian masyarakat baik terkait dengan hakikat Polmas maupun muaranya pada upaya membangun kepercayaan masyarakat kepada kinerja kepolisian, sehingga memerlukan langkah-langkah strategis. 5. Partnership building dimaksudkan sebagai kegiatan membangun kemitraan polisi - masyarakat dalam mewujudkan Kamtibmas. Sebagai strategi mencapai partnership building maka implementasi Polmas menekankan kemitraan polisi-masyarakat dalam menyelesaikan setiap permasalahan Kamtibmas. 6. Model Polmas dapat mengambil bentuk : a). Model wilayah yaitu yang mencakup satu atau gabungan beberapa area/kawasan pemukiman (RW/ RK/ dusun/ desa/ kelurahan). Pembentukan Polmas model ini harus lebih didasarkan pada keinginan masyarakat itu sendiri, walaupun proses ini bisa saja dilatarbelakangi oleh dorongan Polisi. b). Model kawasan yaitu satu kesatuan area kegiatan bisnis dengan pembatasan terhadap wilayah hukum yang jelas seperti mall, pusat perdagangan, perkantoran, dan kawasan industri). Polmas model ini dapat dilakukan inisiatif bersama masyarakat dan petugas kepolisian. C) Perwujudan nilai-nilai dan hakekat Polmas, telah bermuara pada lahirnya trust building dan berdampak pada tumbuhnya kemitraan.
b. Konsep Community Policing (CP). Menurut para ahli seperti Trojanowich (1998), Bayley (1988), Meliala (1999), dan Rahardjo (2001) yang secara garis besar menekankan pada pentingnya kerjasama antara polisi dengan masyarakat tempat bertugas untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah sosialnya sendiri. Konsep Polmas yang diadopsi Polri sekarang ini, bervariasi. Ada yang mirip sistem Koban atau Chuzaiso dari Jepang, sistem Neighbourhood Policing dari Singapura, atau Community Policing dari Amerika Serikat. Konsep tersebut dimodifikasi di Indonesia, karena karakteristik budaya masyarakatnya. Perlu ada penyesuaian cara bertindak sebagai penjabaran konsep Polmas tersebut dengan karakteristik masyarakat. Meski demikian, pengertian Polmas sampai saat ini masih ada yang mengartikan pemolisian masyarakat dan pembinaan Kamtibmas maupun Community Oriented Policing (COP). Namun demikian dalam perkembangannya telah dimodifikasi dengan kebijakan tentang Polmas sebagai pemolisian masyarakat.)
c. Kultur polisi sipil. Merupakan gambaran dari budaya kepolisian yang akan secara langsung ditanggapi oleh masyarakat, dengan pujian, perasaan puas, atau dengan celaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap sikap dan perilaku Polri. Dalam rangka pemantapan kultur Polri, maka perlu diurai mengenai elemen budaya yakni artefak, nilai-nilai (values) dan asumsi dasar atau paradigma.) 1. Artefak, merupakan elemen budaya yang kasat mata, mudah diobservasi oleh seseorang atau kelompok orang baik dalam maupun luar organisasi. Menurut Mary Jo Hatch (1997) kategorisasi artefak yakni manifestasi fisik, yang terdiri atas logo, bentuk bangunan, cara berpakaian, tata letak bangunan, dan design organisasi. Sedangkan manifestasi perilaku antara lain upacara-ritual, cara berkomunikasi, tradisi/kebiasaan, sistem reward dan punishment, cara menyapa, mitos/sejarah/cerita-cerita sukses, dan metafora yang digunakan). Untuk itu perubahan secara kultural harus menampilkan sosok polisi yang ramah, tidak lagi memeras, tidak suka menjebak, tidak lagi arogan, tidak sewenang-wenang dan tidak bisa dibeli oleh calo kasus kejahatan. 2. Nilai-nilai (values), adalah sebuah konsep yang abstrak., namun bila diimplementasikan dalam model Polmas dikaitkan dengan transparansi dan akuntabilitas kinerja kepolisian akan sangat mendukung terwujudnya kemitraan polisi-masyarakat.
d. Kultur Masyarakat. Kultur masyarakat merupakan hasil dari proses panjang cara masyarakat mengelola kehidupan bersama. Dalam proses ini masyarakat memasukkan gagasan tentang hak dan kewajiban, kemudian merumuskan dalam sistem aturan baik yang bersifat formal maupun non-formal beserta sarana dan prasarana untuk mengelola dan menegakkannya. Beberapa tuntutan terkait dengan persoalan masa lalu yang belum terselesaikan yakni telah menciptakan perasaan kekecewaan, kekhawatiran, dan ketidakadilan masyarakat. Salah satu bidang penting dari perkembangan itu adalah lemahnya lembaga penegak hukum akibat dari krisis sosial dan kepercayaan yang berkepanjangan. Dalam kondisi ini untuk membangun kemitraan diperlukan kultur polisi yang relevan dengan kebutuhan masyarakatnya.
e. Sinerginya Kultur Polisi dan Kultur Masyarakat. Setelah kemandirian Polri model Polmas di berbagai struktur kepolisian dan masyarakat terus dikembangkan. Dalam implementasinya, terbentuknya sejumlah FKPM (Forum Komunikasi Polisi Masyarakat) sebagai wadah bertemunya aparat kepolisian dan masyarakat. Melalui ruang yang mengedepankan kebersamaan baik dalam pembahasan maupun tindakan tentang soal Kamtibmas dan isu-isu sosial lainnya. FKPM dalam proses berikutnya, bisa menggunakan perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan yang sudah ada. Misalnya saja perkumpulan Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, PKK, dan lain-lainnya. Dalam hal inilah pentingnya program Polmas yang awalnya dikenal dengan COP (Civilian Oriented Policing), polisi yang berbasis masyarakat sipil. Program ini merupakan salah satu wujud dan arah polisi Indonesia masa depan,) di era reformasi polisi. Antara kultur polisi yang melayani dan menegakkan hukum secara profesional menjadi sinergi dengan kultur masyarakat yang berperilaku demokratis, reforrmis, dan kultur yang mendukung penegakan hukum dan hak asasi manhusia.
e. Polmas Sebagai DukunganTerhadap Pencitraan Polisi. Pencintraan merupakan suatu proses menuju terwujudnya citra polisi sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat serta penegak hukum. Sebagai profil profesional, bermoral dan moderen, polisi dalam melaksanakan tugasnya memahami dan menerapkan prinsip - prinsip dasar penegakan HAM. Dalam rangka kemitraan Polisi – masyarakat, dibutuhkan keterampilan komunikasi yang efektif, dengan bermacam-macam orang dari lapisan yang berbeda. 1) Komunikasi internal terjadi ketika dengan sesama anggota kelompoknya. 2) Komunikasi eksternal terjadi ketika anggota kepolisian berkomunikasi dengan departemen terkait dalam pemerintahan, organisasi- organisasi non pemerintah, kalangan bisnis, korban kejahatan, pelaku kejahatan dan anggota masyarakat lainnya. Implementasi Polmas yang efektif akan mendukung efektifitas pencintraan polisi, polisi yang bercitra profesional dan humanis dalam mewujudkan tugas memelihara Kamtibmas.
f. Unsur Utama dari Kemitraan Efektif 1. Sifat sukarela untuk bermitra 2. Saling ketergantungan sebagai dampak dari saling berbagi tanggung jawab, sumber daya, dan kompetensi. 4. Sinerginya konsep nilai tambah atau jumlah yang lebih besar dari pada bila tidak bermitra, namun hanya secara individu 5. Komitmen atau perjanjian pada bagian dari peserta. 6. Bekerja bersama-sama para mitra di semua tingkat, tahapan serta pelaksanaan dan evaluasi. 7. Adanya tambahan dukungan 8. Terjadinya peningkatan berbagai jenis sumber daya dan kompetensi. 9. Terjadinya komunikasi yang baik 10. Saling menghormati dan saling percaya.
g. Pemantapan Kultur. Konsep pemantapan, untuk menggambarkan perubahan dari kondisi kultur polisi sipil yang masih kurang stabil menjadi lebih stabil. Pemahaman tentang : a. Kata civil dikaitkan dengan civility yang secara harafiah berarti kesopanan. Dalam kata civilize yang berarti membudayakan lebih sopan. Kata civilization yang berarti peradaban, cara hidup orang atau negara yang beradab. Dengan demikian, civility tidak bisa diartikan hanya sebagai kesopanan, melainkan mencakup pemahaman yang lebih luas, termasuk peradaban. b. polisi sipil bukan polisi kekuasaan meskipun menggunakan kekuasaan lasimnya kepolisian. Konsep polisi sipil adalah pada pengakuan polisi atas diri klien sebagai sosok bermartabat dan berharga diri. Nilai-nilai martabat/harga diri tersebut melekat dalam setiap pelayanan, pengayoman, perlindungan dan penegakan hukum.
B. Analisis Faktor Pengaruh Kinerja Kepolisian.
1. Aspek Sumber Daya Manusia. a. Dengan berbagai keterbatasan sumber daya manusia, maka Polri kini terus membuat dan melaksanakan program Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). Di berbagai daerah dibangun pula Pemuda Mitra Kamtibmas (PMK), ada Ulama Mitra Kamtibmas dan sebagainya. Yang perlu bagi tuntutan masyarakat adalah dibangun wadah untuk menjembadani antara masyarakat dengan polisi. Kondisi kemitraan polisi dengan masyarakat masih perlu terus ditingkatkan. b.Kondisi sebagian masyarakat yang masih merasa takut berhubungan dengan polisi. Masyarakat masih melihat polisi bagai hantu yang menakutkan. Meski Polri juga memberi kesempatan kepada masyarakat untuk tidak takut melaporkan apabila ada oknum polisi yang arogan dan merusak citra. Masyarakat perlu sadar akan haknya untuk mendapatkan pelayanan dan sebagai mitra polisi.
2. Aspek Kultur. a. Kultur Polisi. Kultur kepolisian Indonesia dibangun atas dasar nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya sebagai pedoman dan tuntunan dalam bertugas. Di samping itu juga berorientasi pada penjabaran nilai-nilai Filosofi, Visi, Misi, tujuan, tugas, wewenang dan Doktrin Polri. Semuanya bermuara pada upaya untuk memelihara Kamtibmas. Melalui kegiatan melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, kiranya mampu mendorong meningkatnya kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat." b. Polisi sebagai elemen aparatur pemerintahan. Berbagai persoalan publik diharapkan dapat dilakukan sharing-position polisi dengan masyarakat dalam pelaksanaan tugasnya, hal ini sebagaimana dirumuskannya konsep community policing oleh Robert R Friedmann (1998). c. Perubahan kultur polisi sebagai kerangka konseptual untuk mengimplementasikannya.
3. Aspek Konsistensi Pelayanan Polisi. Pertama-tama yang perlu dibenahi adalah mentalitas. Mental pelayan diberikan makna positif seiring dengan komitmen seluruh komponen kepolisian. Secara kasuistis penyimpangan petugas kepolisian berdampak negatif. Terutama di tengah kepolisian yang sedang membangun kemitraan dan kepercayaan masyarakat. Misalnya saja Babinkamtibmas telah memberikan penyuluhan bahwa polisi saat ini telah berubah, sudah transparan, tak diskriminasi, dan akuntabel, tak lagi ada pungutan yang menyimpang ketentuan. Namun ironis memang karena masih saja ada sebagian warga yang merasakan ketika berurusan dengan masalah pelayanan oleh petugas polisi ketika menegakkan hukum, sebagian warga masyarakat mengalami perlakuan yang diskriminatif dan pungutan liar yang membebaninya.
4. Aspek Perilaku Aparat. Bahwa masih adanya perilaku aparat yang belum sesuai dengan harapan masyarakat. Perilaku arogan yang masih melekat sebagai warisan masa lalu. Di berbagai daerah, masih banyak oknum-oknum yang belum menyadari tugas sebagai Polri. Banyak oknom polisi yang bersikap arogan dan seakan-akan kebal hukum. Kebijakan Polri itu tidak pernah demikian. Disadari bahwa hal tersebut hanyalah ulah oknum saja, namun ulah segelintir oknum tersebut nama baik Polri menjadi tercemar. Sekarang ini, pimpinan Polri sedang berupaya menertibkan polisi-polisi nakal yang mencemarkan nama baik institusi Polri. Sosok polisi ideal itu adalah low profile, berkomitmen kuat dan punya kemauan kerja, serta memiliki dedikasi yang tinggi. Sedangkan kekurangan Polri, adalah pengawasan secara internal. Kelemahan ini tergolong klasik, ada istilah ”jeruk makan jeruk”. Sesama anggota dalam melaksanakan pengawasan di instansi manapun tak bisa dijamin obyektivitasnya.
5. Aspek Efektifitas Menghadapi Perubahan. Tantangan bagi institusi kepolisian dalam melayani masyarakat yang dinamis dan memang telah banyak mengalami perubahan, namun masih belum efektif. Misalnya saja bagaimana menyesuaikan struktur pengelolaan (governing stucture) kepolisian agar dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Efektivitas struktur pengelolaan organisasi kepolisian dalam melayani masyarakat telah bergerak dari bentuk birokrasi (bureaucracy) ke bentuk pasar (market), lalu ke bentuk jaringan (network), lagi-lagi masih mengalami berbagai ketimpangan.
6. Aspek Efektifitas Komunikasi dengan Masyarakat. Polri harus memperbanyak komunikasi dengan masyarakat. Kemudian lebih banyak melibatkan masyarakat dalam Kamtibmas. Masyarakat juga harus turut serta. Jadi harus ada kedekatan antara polisi dengan masyarakat. Hal ini guna mewujudkan keharmonisan antara polisi dan stakeholder dalam mewujudkan Kamtibmas.
7. Aspek Efektifitas Penggunaan Hukum dan Peraturan non pidana. Dalam perkembangannya kini semakin banyak persoalan yang muncul. Dalam faktanya hal tersebut telaha diatur dalam berbagai produk hukum, peraturan-peraturan, undang-undang publik, dan statuta. Peraturan-peraturan serta undang-undang tersebut dapat digunakan polisi untuk membantu memecahkan masalah. Peraturan-peraturan tentang bangunan, misalnya, dapat digunakan untuk menegakkan tindakan pencegahan kejahatan. Peraturan mengenai kebisingan suara dapat pula digunakan untuk menangani penyewa kamar yang susah diatur, peraturan mengenai kesehatan dapat digunakan untuk mencegah terlalu padatnya tingkat hunian dan mencegah peredaran narkoba.
8. Aspek Kebijakan di Bidang Operasional. Kebijakan di bidang operasional diarahkan agar terpeliharanya Kamtibmas, tegaknya hukum serta meningkatnya kualitas perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, guna terwujudnya Kamdagri. Penerapan strategi tersebut antara lain adalah meningkatkan pemeliharaan Kamtibmas dengan mengedepankan pendekatan pre-emtif dan preventif.
9. Aspek Sikap Perilaku Anggota Polri. Masih banyaknya perilaku yang belum sepenuhnya mencerminkan jati diri sebagai pelindung, penyayom dan pelayan. masyarakat Penampilan Polri masih menyisakan sikap perilaku yang arogan, cenderung menggunakan kekerasan, diskriminatif, kurang responsif dan belum profesional masih merupakan masalah yang harus dibenahi secara terus menerus.
C. Polmas Sebagai Strategi Dalam Partnership Building
1. Pembinaan Terhadap Aspek Internal.
a. Mengembangkan Sistem Pembinaan Sumberdaya Manusia. Pembinaan SDM khusus bagi petugas Polmas yang meliputi : 1) Rekruitmen, pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan para pelatih maupun petugas Polmas. 2) Pembinaan karier secara berjenjang dari tingkat kelurahan sampai dengan supervisor dan pembina Polmas tingkat Polres dan seterusnya. 3) Penilaian kinerja dengan membuat standar penilaian baik untuk perorangan maupun kesatuan. 4) Pemberian penghargaan dan penghukuman yang tepat dan consisten. Menyelenggarakan program-program pendidikan dan pelatihan Polmas secara bertahan sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan. 5), Meningkatkan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan tugas Polmas. 6) Menyediakan dukungan anggaran yang memadai dalam pelaksanaan tugas Polmas. 7) Mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang kondusif bagi penerapan Polmas sehingga setiap aktivitas penyajian layanan yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Setiap anggota Polri seharusnya menunjukkan sikap dan perilaku yang respek dan senantiasa membangun hubungan yang harmonis. Meningkatkan kemampuan anggota kepolisian sehingga tercapai kinerja yang diharapkan. Proses tersebut melibatkan peran masyarakat sebagai mitra kepolisian.
b. Mengembangkan Model Penerapan Polmas. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam kebijakan) bahwa Polmas merupakan kebijakan strategis mengingat hal tersebut merupakan wujud perkembangan kepolisian moderen dalam Negara demokrasi yang plural yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. 1) Polmas yang dikembangkan dari pola tradisional seperti Model Siskamling seperti ronda kampung dan ronda kawasan pemukiman) . 2) Pemberdayaan Pranata Sosial seperti halnya dengan Jaga baya, jaga tirta, Pecalang, dan Pela gandong. 3) Melalui intensifikasi kegiatan fungsi Binmas Polri. penerangan, penyuluhan. 4) Patroli. 5) kegiatan pembinaan oleh fungsi teknis kepolisian. 6) penggalangan potensi komunitas. 7) pendidikan/pelatihan keterampilan Kamtibmas. 8) Koordinasi dan kerjasama kamtibmas. Polmas yang dikembangkan dari Pola Community Policing di Negara lain yang kini diadopsi di Indonesia meliputi : 1) Perpolisian masyarakat sesuai dengan Skep Kapolri No. Pol. :Skep/737/X/2005) yang terdiri atas komponen petugas Polmas, pembentukan FKPM, pembentukan Balai Kemitraan Polri-masyarakat. 2) Di Jepang yakni sistem Koban dan sistem Chuzaisho. 3) Kanada dan Amerika Serikat melalui Hot Spot Area dan Neighborhood Watch.
c. Memberikan Program Pelatihan. Program pelatihan diberikan kepada setiap anggota kepolisian tentang teknologi kepolisian dan tehnik berkomunikasi dengan masyarakat secara efektif. Polri harus memperbanyak komunikasi dengan masyarakat. Kemudian lebih banyak melibatkan masyarakat dalam Kamtibmas. Masyarakat juga harus turut serta. Jadi harus ada kedekatan antara polisi dengan masyarakat. Hal ini guna mewujudkan keharmonisan antara polisi dan stakeholder dalam mewujudkan kamtibmas. Sedangkan teknologi kepolisian, adalah untuk mendukung trust building. Dimaksudkan untuk mendukung profesionalisme kepolisian. Bahwa secara teknis pengembangan teknologi kepolisian merupakan bagian dari unsur kualitas pelayanan kepolisian yang moderen dan akan memampukan institusi kepolisian untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
d. Menerapkan Manajemen Perubahan Secara Konsisten. Guna keberhasilan Polmas maka harus didukung perubahan manajemen. Hal ini terkait dengan Polmas sebagai strategi yang mendasar dari penyelenggaraan tugas kepolisian yang semula mendasari prinsip layanan birokratif menuju arah personalisasi penyajian layanan kepolisian, yakni yang layanan nyata oleh petugas kepolisian yang langsung bersentuhan dengan warga masyarakat.) Selain itu layanan juga dilaksanakan oleh seluruh tingkatan, dengan kebijakan yang komprehensif. Perubahan manajemen Polri diarahkan untuk mendukung kebijakan Polmas, diarahkan untuk berkembangnya organisasi yang berdaya saing sehat, setiap individu diarahkan kepada penciptaan kesempatan melakukan perubahan baik karier maupun kehidupan pribadinya. Perlu langkah antisipatif terhadap penolakan perubahan manajemen bagi yang telah berada pada “zona aman”.
e. Mengembangkan Sistem Pengawasan yang Efektif. Untuk meningkatkan profesionalitas dan kinerja personil Polri, dibutuhkan sistem pengawasan dan penilaian terhadap perencanaan dan implementasi program kerja atau kegiatan guna mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan program kerja atau kegiatan tersebut. Mekanisme pengawasan dilakukan secara berkala, mencakup pengawasan internal organisasi Polri dan pengawasan yang dilakukan pihak lain di luar Polri, seperti masyarakat, media massa, ormas, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lain-lain. Sedangkan sistem penilaian (evaluasi) dilakukan pada setiap periode tertentu atau pada akhir program kerja dan didasarkan atas kriteria dan indikator keberhasilan program kerja yang jelas dan transparan.
f. Mengembangkan Akuntabilitas Publik. Polri merupakan lembaga publik yang secara struktural bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia, namun secara moral juga bertanggung jawab kepada rakyat, karena sumber anggaran Polri berasal dari pajak-pajak yang dibayarkan masyarakat. Oleh karena itu, Polri harus mempertanggungjawabkan seluruh penggunaan anggaran kepada masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas publik oleh Polri. Sebagai bentuk akuntabiltas publik, pemimpin Polri dapat membangun mekanisme pertanggungjawaban setiap unit dari kesatuannya. Setiap unit di kesatuan Polri (Mabes, Polda, Polres dan Polsek) harus membuat laporan pertanggungjawaban yang menunjukkan tingkat pencapaian hasil berdasarkan perbandingan antara perencanaan dengan realisasi (program dan anggaran).
g. Memberikan Pelatihan Pelayanan Prima. Kepada seluruh petugas kepolisian diberikan pelatihan pelayanan prima, pembenahan aspek mentalitas. Mental pelayan bukan lagi slogan kosong namun diberikan makna dengan komitmen seluruh komponen kepolisian. Sering terjadi secara kasuistis namun berdampak negatif akan adanya konsep pelayan masyarakat namun praktiknya perilaku feodal yang dipertontonkan. Dalam membangun kemitraan dan kepercayaan masyarakat pemaknaan pelayan yang sebenar-benarnya sebagai pelayan. Babinkamtibmas dengan mulut berbusa telah memberikan penyuluhan bahwa polisi telah berubah. Sudah transparan, tak diskriminasi, dan akuntabel, tak lagi ada pungutan yang menyimpang ketentuan. Nyatanya ketika warga berurusan dengan petugas reserse, masyarakat mengalami perlakuan yang diskriminatif yang nyata-nyata melukai hati mereka.
h. Penetapan Kebijakan Remunerasi. Ini dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan beban tugas setiap anggota kepolisian, sehingga pelaksanaan tugas dapat dilakukan secara lebih fokus. Hal tersebut sejalan dengan paradigma polisi yang berorientasi kepada kualitas pelayanan masyarakat. Indikator Keberhasilan perpolisian masyarakat adalah sebagai berikut : 1. Intensitas kegiatan forum baik kegiatan pengurus maupun keikut-sertaan warganya. 2. Kemampuan forum menemukan dan mengidentifikasikan akar masalah, 3. Kemampuan petugas Polmas dalam penyelesaian masalah termasuk konflik/pertikaian antar warga, 4. Kemampuan mengakomodir/menanggapi keluhan masyarakat. 5. Intensitas kunjungan warga oleh petugas Polmas meningkat.
2. Pembinaan Terhadap Aspek Eksternal
a. Membangun Kepercayaan Masyarakat. Institusi kepolisian melakukan upaya mempromosikan nilai-nilai demokrasi berkaitan dengan partisipasi masyarakat guna mengembangkan kemitraan dengan masyarakat terus dilakukan. Selain terkait dengan isu-isu Kamtibmas, Polmas juga terkait dengan isu-isu lain yang dibutuhkan masyarakat. Pada tingkatan dan kondisi tertentu, berhubungan dengan polisi diciptakan sebagai hal yang menyenangkan. diperlukan : 1. kecepatan dan ketepatan waktu dalam menangani masalah yang dihadapi masyarakat. 2. Tugas dan peran polisi tidak lagi dirasakan sebagai hal yang dikomersialisasi.
b. Memenuhi Harapan Masyarakat. Adanya polisi sipil yang profesional yang lebih mengutamakan kemitraan (partnership) dan pemecahan masalah (problem solving) untuk menunjukkan jati diri polisi sipil yang humanis dan mampu berkomunikasi dari hati ke hati dengan warga masyarakat. Senantiasa berupaya mengurangi rasa ketakutan warga masyarakat terhadap gangguan kamtibmas dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Keberhasilan Polri membungkam berbagai kejahatan seperti judi dan premanisme, membuat citra Polri semakin menguat.
c. Mengadakan Kerjasama Dengan Instansi Terkait Lainnya. Ketertiban masyarakat merupakan hasil dari proses panjang cara masyarakat mengelola kehidupan bersama. Dalam proses ini masyarakat memasukkan gagasan tentang hak dan kewajiban, kemudian merumuskan dalam sistem aturan baik yang bersifat formal maupun non-formal beserta sarana dan prasarana untuk mengelola dan menegakkannya.
d. Meningkatkan Peranserta Aktif stakeholder. Pemeliharaan Kamtibmas merupakan tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat. Untuk itu, Polri membutuhkan dukungan dari berbagai pihak terkait (stakeholders) guna memelihara Kamtibmas. Dalam rangka pemeliharaan kamtibmas tersebut, Polri meningkatkan dukungan dari berbagai kalangan, seperti pemerintah daerah, DPRD, dunia usaha (private sector), media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perguruan tinggi dan masyarakat. Dukungan stakeholders dapat diwujudkan dalam bentuk pengawasan masyarakat, media massa dan LSM terhadap perilaku personil Polri.
e. Mengembangkan Berbagai Terobosan Dalam Bentuk Pelatihan Dan Sosialisasi. Guna membangun kultur polisi yang mampu berkomunikasi efektif dengan masyarakatnya sehingga mereka mudah mendapat informasi dari kepolisian tentang hukum. Menciptakan program Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). Misalnya Pemuda Mitra Kamtibmas (PMK), Ulama Mitra Kamtibmas, Cendekia mitra Kamtibmas, dan sebagainya. Yang diperlukan bagi masyarakat adalah dibangun wadah untuk menjembadani antara masyarakat - Polri melalui program kemitraan agar masyarakat tidak takut berhubungan dengan polisi, lebih berani memposisikan polisi dan masyarakat sebagai mitra.
f. Operasionalisasi Polmas. Kegiatan perorangan oleh petugas Polmas, supervisor, dan unsur manajemen mencakup : a. Petugas pengemban Polmas di lapangan, antara lain memfasilitasi siskamling, memanfaatkan pertemuan warga dan kegiatan masyarakat seperti pertandingan sepak bola, konser musik, dan melakukan tatap muka dengan berbagai kelompok termasuk tokoh masyarakat, agama, pemuda , dan sebagainya.) b. Supervisor/pengendali Polmas, melalui 1) tatap muka dengan komunitas tertentu. 2) memberdayakan peran pranata sosial tertentu. 3) memfasilitasi kegiatan umum. 4) melakukan koordinasi dengan penyelenggara kegiatan demi mencegah terjadinya gangguan keamanan. 5) menghadiri/memfasilitasi forum diskusi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu. 6) memfasilitasi penyelenggaraan lomba-lomba keterampilan tertentu terkait dengan masalah Kamtibmas. C. Manajemen. Melakukan kegiatan : 1) koordinasi dan komunikasi dengan pejabat formal dalam rangka pengembangan sistem penanggulangan Kamtibmas. 2) konsultasi dan diskusi dalam pembuatan aturan, perijinan, pengaturan, dan pembangunan dalam rangka pencegahan dan penaggulangan bencana alam.3) koordinasi dengan Pemda dan institusi terkait. 4) penentuan sasaran, metode dan prioritas penerapan program di wilayah dalam batas kewenangan jabatannya.
g. Mengembangkan Perilaku Terpuji. Di berbagai tempat tugas masih banyak ditemukan oknum polisi yang belum menyadari tugasnya. Sikap arogan dan seakan-akan kebal hukum berdampak negatif dalam era reformasi birokrasi. Dampak ulah negatif segelintir oknum, nama baik Polri menjadi tercemar. Polri sedang berupaya menertibkan polisi-polisi nakal yang mencemarkan nama baik institusinya. Sosok polisi ideal itu adalah low profile, berkomitmen kuat, punya kemauan kerja, dan memiliki dedikasi yang tinggi. Kekurangan aspek pengawasan secara internal tergolong klasik, munculnya istilah ”jeruk makan jeruk”, dimaknai sebagai sesama anggota dalam melaksanakan pengawasan di instansi manapun tak bisa dijamain obyektivitasnya. Profesionalisme kepemimpinan dipersiapkan dan dikembangkan melalui pembinaan dan kaderisasi secara proporsional sehingga menghasilkan figur-figur pemimpin kepolisian yang mampu mengemban tugas kepolisian secara efektif terlebih dalam mengembangkan perilaku teruji. Tugas tersebut terkait dengan kemampuan membawa anggota dan mempengaruhi masyarakatnya untuk menumbuhkan kepercayaan guna membangun kemitraan yang lbih efektif.
III. P E N U T U P
Kepolisian merupakan bagian integral aparat negara yang mengemban tugas sejalan dengan visi dan misinya, sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat serta dalam penegakan hukum. Menjawab tuntutan masyarakat yang kini terus mereformasi diri ini Polri telah mencanangkan pembenahan institusinya dalam aspek struktural, instrumental dan kultural. Dalam pembangunan aspek kultural merupakan langkah penting dalam meningkatkan kualitas kinerja kepolisian, sebagaimana yang diharapkan masyarakat yaitu profil polisi yang memiliki citra positif di masyaraka. Membangkitkan semangat dan motivasi masyarakat untuk bersedia menjadi mitra kepolisian. Dari berbagai kebijakan pimpinan Kepolisian dalam membangun kultur institusinya bila dicermati maka ada dua hal yang penting akan berdampak positif, hal tersebut adalah penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) serta peneraapan Polmas.
Mewujudkan pencitraan merupakan strategi yang efektif dalam membangun kepercayaan masyarakat (trust building). Kiranya akan menjadi sebuah kejanggalan bila hanya menuntut kesadaran masyarakat untuk percaya dengan polisi bila citra polisi tak lagi berkenan di hati masyarakat. Disadari bahwa kepercayaan yang tengah dan terus dibangun oleh kepolisian masih perlu dikembangkan terus-menerus. Bila disimak dari pemahaman dari aspek kultur maka akan semakin membuka wacana bahwa kultur terkait dengan nilai-nilai yang dilahirkan dari proses perilaku organisasi yang positif dan bermanfaat dalam keberadaan organisasi tersebut.
Dalam salah satu tuntutannya adalah bahwa setiap anggota kepolisian wajib memahami dan menerapkan kultur kepolisian baik dalam menegakkan hukum maupun melayani dan mengayomi serta melindungi masyarakatnya. Karena setiap anggota kepolisian merupakan kepanjangan tangan negara selaku aparat penegak hukum dalam tanggungjawabnya memelihara Kamtibmas. Sikap dan perilaku yang telah menjadi kebiasaan serta nilai-nilai dalam organisasi kepolisian inilah yang pada gilirannya diharapkan mampu menjadikan nilai-nilai dan kultur yang mampu merubah tampilan individu atau kelompok dalam suatu organisasi khususnya dalam institusi kepolisian yang profesional sebagaimana tuntutan masyarakatnya.
Membangun Kultur Polmas bagi Kepolisian di Indonesia merupakan upaya peningkatan kualitas kinerja dan profesionalisme guna mewujudkan kepolisian sipil yang demokratis. pembangunan aspek kultur yang terus bergulir antara lain melalui kebijakan dan strategi penerapan model perpolisian masyarakat dalam penyelenggaraan tugas kepolisian. Keterkaitan dengan aspek strategi lainnya adalah bahwa kepolisian melalui grand Strateginya tahun 2005 sampai dengan 2010 salah satu sasarannya adalah membangun kepercayaan masyarakat.
Polmas sebagai salah satu paradigma baru di lingkungan organisasi kepolisian di negara Indonesia, dalam aplikasinya melalui kehadiran polisi di tengah masyarakat dengan cara lebih mengedepankan aspek-aspek preemtif dan preventif bukan lagi represif. Untuk mendukung kultur Polmas perlu dibangun kebijakan strategis yang sifatnya desentralisasi kewenangan pada unit Community Policing, serta adanya kewenangan. David H. Bayley berpendapat bahwa terdapat sistem tiga tingkat yang saling terkait erat. Kegiatan kepolisian komunitas ini merupakan kegiatan yang sistematis dan terprogram, seperti halnya Koban di Jepang, keberadaan pos polisi di semua tingkat kelurahan dapat dijadikan ujung tombak operasional perpolisian masyarakat.
Dengan demikian Polmas merupakan sistem baru yang merupakan sintesa kepolisian tradisional yang terdiri atas struktur, personil, dan pengendalian. Kebijakan membangun kultur kepolisian yang bersemangat kemitraan dengan masyarakat, diperlukan konsistensi, keteladanan dalam perilaku, serta biaya operasional serta tingkat kesejahteraan yang memadai, termasuk kontrol sosial serta partisipasi aktif masyarakat dalam kemitraan dimaksud. Langkah-langkah yang telah ditempuh ini merupakan keseriusan institusi kepolisian untuk membangun kultur polisi yang demokratis dan menegakkan HAM.
Dalam rangka pencegahan Kejahatan maka ; Polmas mempunyai falsafah kerja kepolisian yang bersifat personal; Polmas mempunyai gaya manajemen dan strategi organisasi yang memprioritaskan pemecahan permasalahan secara pro-aktif bersama-sama dengan masyarakat; Polmas mempunyai tujuan memahami dan menanggulangi sebab kejahatan maupun sebab permasalahan lain dalam masyarakat, dengan bekerja dalam hubungan kemitraan polisi-masyarakat. Tujuan Polmas bekerja dalam kemitraan dengan masyarakat, menanggulangi kejahatan maupun masalah-masalah sosial lainnya yang ada dalam wilayah kerja anggota polisi bersangkutan.
Dari analisis terhadap kinerja kepolisian maka ditemukan berbagai factor yang berpengaruh seperti halnya : 1. Aspek Sumber Daya Manusia. Dengan berbagai keterbatasan sumber daya manusia, hal ini berpengaruh dalam melaksanakan program Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM). 2. Aspek Kultur, Kultur kepolisian Indonesia dibangun atas dasar nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya sebagai pedoman dan tuntunan dalam bertugas, perlu terus menerus ditanamkan sebagai landasan merubah kultur polisi yang mampu mendukung kepercayaan demi membangun kemitraan. 3.Aspek Konsistensi Pelayanan Polisi dalam aspek mentalitas sebagai unsur dalam membangun kemitraan tersebut. 4. Aspek Perilaku terus dikembangkan sehingga perilaku aparat menjadi sesuai dengan harapan masyarakat. Perilaku arogan yang masih melekat sebagai warisan masa lalu terus dikikis dengan pencitraan polisi yang berubah kulturnya. 5. Aspek Efektifitas Menghadapi Perubahan. Tantangan bagi institusi kepolisian dalam melayani masyarakat yang dinamis dan memang telah banyak mengalami perubahan, namun masih belum efektif. 6. Aspek Efektifitas Komunikasi dengan Masyarakat. Polri harus memperbanyak komunikasi dengan masyarakat, lebih banyak melibatkan masyarakat dalam memelihara Kamtibmas. 7. Aspek Efektifitas Penggunaan Hukum dan Peraturan non pidana semakin sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat yang terus menghendaki reformasi tersebut. 8. Aspek Kebijakan di Bidang Operasional. Kebijakan di bidang operasional diarahkan agar terpeliharanya Kamtibmas, tegaknya hukum serta meningkatnya kualitas perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat.
Dari tinjauan Polmas Sebagai Strategi Dalam Partnership Building, sebagaimana pengalaman empirik di berbagai Negara yang telah menerapkan Polmas, maka Polmas dapat dijadikan strategi dalam mewujudkan partnership building. Hal tersebut meliputi : Pembinaan terhadap Aspek Internal mutlak dilakukan secara proporsional melalui : a. Mengembangkan Sistem Pembinaan Sumber Daya Manusia. Pembinaan SDM meliputi rekruitmen, pendidikan/pelatihan, untuk menyiapkan para pelatih Polmas, pembinaan karier, penilaian kinerja, pemberian penghargaan dan penghukuman yang tepat dan consisten, meningkatkan sarana dan prasarana, menyediakan dukungan anggaran yang memadai, dan mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang kondusif bagi penerapan Polmas. b. Membangun Model Penerapan Polmas. Sebagaimana yang telah ditetapkan bahwa Polmas merupakan kebijakan strategis mengingat hal tersebut merupakan wujud perkembangan kepolisian moderen dalam Negara demokrasi. c. Memberikan Program Pelatihan. Program pelatihan diberikan kepada setiap anggota kepolisian tentang teknologi kepolisian dan tehnik berkomunikasi dengan masyarakat secara efektif. d. Mewujudkan keharmonisan antara polisi dan stakeholder dalam mewujudkan kamtibmas. Sedangkan teknologi kepolisian, adalah untuk mendukung trust building, hal ini dimaksudkan untuk mendukung profesionalisme kepolisian. e. Menerapkan Manajemen Perubahan Secara Konsisten. Hal ini terkait dengan Polmas sebagai strategi yang mendasar dari penyelenggaraan tugas kepolisian yang semula mendasari prinsip layanan birokratif menuju arah personalisasi penyajian layanan kepolisian, yakni layanan nyata oleh petugas kepolisian yang langsung bersentuhan dengan warga masyarakat. f. Membangun Sistem Pengawasan yang Efektif. Untuk meningkatkan profesionalitas dan kinerja personil Polri, dibutuhkan sistem pengawasan dan penilaian terhadap perencanaan dan implementasi program kerja atau kegiatan guna mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan program kerja tersebut. g. Membangun Akuntabilitas Publik. Polri merupakan lembaga publik yang secara struktural bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia, namun secara moral juga bertanggung jawab kepada rakyat, karena sumber anggaran Polri berasal dari pajak-pajak yang dibayarkan masyarakat. h. Memberikan Pelatihan Pelayanan Prima. Kepada seluruh petugas kepolisian diberikan pelatihan pelayanan prima dan pembenahan aspek mentalitas, sehingga mental pelayan bukan lagi slogan kosong namun diberikan makna dengan komitmen seluruh komponen kepolisian. i. Penetapan Kebijakan Remunerasi. Ini dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan beban tugas setiap anggota kepolisian, sehingga pelaksanaan tugas dapat dilakukan secara lebih fokus. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong kinerja yang lebih transparan dan akuntabel serta profesional.
Dalam rangka pembinaan terhadap Aspek Eksternal, diperlukan keseriusan komponen kepolisian melalui komitmen yang kuat untuk : a. Membangun Kepercayaan Masyarakat, terkait dengan isu-isu Kamtibmas dan isu-isu lain yang terjadi di masyarakat. b. Memenuhi Harapan Masyarakat. Adanya polisi sipil yang profesional yang lebih mengutamakan kemitraan dan pemecahan masalah untuk menunjukkan jati diri polisi sipil yang humanis dan mampu berkomunikasi dari hati ke hati dengan warga masyarakat. c. Mengadakan Kerjasama Dengan Instansi Terkait Lainnya. Kamtibmas merupakan hasil dari proses panjang cara masyarakat mengelola kehidupan bersama. d. Meningkatkan Peranserta Aktif stakeholder untuk memelihara Kamtibmas. e. Memberikan Berbagai Terobosan Dalam Bentuk Pelatihan dan Sosialisasi. Guna membangun kultur polisi yang mampu berkomunikasi efektif dengan masyarakatnya sehingga mereka mudah mendapat informasi dari kepolisian tentang hukum. f. Operasionalisasi Polmas, merupakan kegiatan perorangan oleh petugas Polmas, supervisor, dan unsur manajemen. g. Membangun Perilaku Polisi Profesional. Profesionalisme kepemimpinan dipersiapkan dan dikembangkan melalui pembinaan dan kaderisasi secara proporsional sehingga menghasilkan figur-figur pemimpin kepolisian yang mampu mengemban tugas kepolisian secara efektif.
Pengembangan Polmas sebagai filosofi dan strategi dalam partnership building harus dilakukan secara bertahap : pertama, pengembangan sumber daya manusia Polri dan pembentukan Polmas berikut sarana/ prasarana pada desa/kelurahan sesuai kebutuhan operasional sehingga kebutuhan penempatan petugas Polmas secara menyeluruh. Untuk mencapai tujuan penerapan Polmas maka diperlukan strategi. Kedua, membangun dan membina kemitraan dengan tokoh-tokoh sosial, media massa dan lembaga swadaya masyarakat dalam rangka memberikan dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan Polmas. Ketiga, membentuk FKPM sebagai wadah kerjasama polisi--masyarakat dalam operasionalisasi Polmas, termasuk membentuk Pusat Kajian Polmas guna mengembangkan evaluasi kinerja Polmas guna pengembangan model tersebut.
(http://kadarmanta.blogspot.com/)
DAFTAR PUSTAKA
Djamin, Awaloedin, 1999, Menuju Polri Mandiri yang Profesional, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia.
---------, 2004, Polri Pengamanan Swakarsa dan Community Policing.
Finlay Mark dan Ugljesa Zvekic,1993, Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal.
Friedmann Robert, 1992, Community Policing, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal.
Hafidah, Noor, 2001, Membangun Sumber Daya Manusia Indonesia Dalam Perspektif Globalisasi, Bhayangkara PPITK, Jakarta.
Himpunan Teori / Pendapat Para Sarjana Yang Berkaitan Dengan Kepolisian, 2008,
PTIK, Jakarta.
Kadarmanta, A., 2010, Perpolisian masyarakat Dalam Trust Building, Forum Media Utama, Jakarta.
Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008, tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah.
Pasis Selapa Polri Dikreg XXXVIII, Menyelamatkan Bangsa dari Narkoba dan Teroris melalui Polmas, 2007, Forum Media Utama, Jakarta.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 7 tahun 2008, tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam penyelenggaraan Tugas Polri.
Panduan Pelatihan Polmas untuk anggota Polri, tahun 2006.
Ronny Lihawa, Drs., Msi., Memahami Perpolisian Masyarakat (Polmas) Undersatanding Community Policing, Biro Bimmas Sdeops Polri, Jakarta.
Robins, Stephen P., 2005, Perilaku Organisasi, P.T Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto, 1998, Mengkaji Kembali Peran dan Fungsi Polri dalam Masyarakat di Era Reformasi, makalah Seminar Nasional tentang Polisi dan Masyarakat dalam Era Reformasi.
---------, 2007. Membangun Polisi Sipil; Perspektif Hukum, Sosial, dan Kemasyarakatan. Jakarta: PT.Kompas-Gramedia.
---------, 2002, Polisi Sipil, Jakarta, Gramedia
--------, 2004. Pemolisian Komuniti (Community Policing) di Indonesia.
Suparlan Parsudi, 1997, Polisi dan Fungsinya dalam Masyarakat, Diskusi angkatan I KIK Program S2 UI.
---------, 1999, Makalah sarasehan "Etika Publik Polisi Indonesia", tanpa penerbit.
---------, 1999, Ilmu Kepolisian dan Dinamika Masyarakat, Orasi Ilmiah dalam rangka Dies Natalis PTIK ke-53.
---------,2001, Kajian Ilmu Kepolisian, Partnership Governance Reform in Indonesia 23-24 oktober 2001.
Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Trojanowicz Robert, 1998, Community Policing: How To Get Started, co-authored with policing.com’s Bonnie Bucqueroux (Anderson Publishing, Cincinnati, OH.
Tabah, Anton, 2008, Bureaucracy Policing (pemolisian Birokrasi), CV. Sahabat , Klaten, Jawa Tengah.
Williams, Chuck, 2001, Manajemen, Salemba Empat, Jakarta.
Wren, Daniel A., 1994, The Evolution of Management Thought (Fourth Edition).
http://www.crossborderpartnerships.com/partnerships/guide- theoryparticipationladder.aspx
http://www.1000ventures.com/business_guide/partnerships_main.html
http://www.slideshare.net/NCPC/improving-policecommunity-relations-presentation
http://www.klikgalamedia.com/indexnews.php?wartakode=20100407101306&idkolom=opinipendidikan
Komentar
Posting Komentar