Menghilangkan Arogansi Bhayangkara


museum8
Tawa adalah Doa .Jika Anda dapat tertawa ,anda sudah belajara bagaimana cara nya Berdoa .jangan selalu Serius .Hanya Orang yang dapat menertawai ,bukan hanya orang lain tetapi juga dirinya sendiri bisa menjadi religius .OSHO
Tawa memberi kekuatan ,Bahkan kini Ilmu Pengetahuan sekalipun mengatakan Bahwa tawa adalah salah satu ibat paling efektif yang dianugerahkan Alam kepada Manusia.
Reformasi kultural adalah hal yang paling dalam organisasi POLRI karena banyaknya keluhan masyarakat saat ini .Salah satu yang paling perlu menjadi perhatian adalah menghilangkan sikap arogansi yang memandang masyarakat harus takut kepada petugas Kepolisian ,tempat yang paling dasar untuk menghilangkan sikap arogansi adalah di lembaga pendidikan yang membentuk Perwira Polisi sampai dengan SPN (sekolah polisi Negara ) yang membentuk Bintara Polisi.Karena sikap dasar kebhayangkaraan dibentuk di lembaga pendidikan ,salah satu contoh sikap arogansi adalah sewenang-wenang dari bhayangkara yang dalam tugasnya membentak-bentak masyarakat ,maunya dilayani oleh masyrakat ,terlalu bangga dengan kebanggan semu di korpsnya,Kurangnya senyum sapa salam dari bhayangkara ,banyak lagi contoh -contoh tetapi dalam penulisan ini akan dibahas bentuk arogan dari bhayangkara dari penampilan (performance) dengan atribut kepangkatan ,lambang yang menurut masyarakat lambang kesewenang-wenangan bukan lambang kewenangan karena atribut yang mirip dengan lambang TNI.Apakah lambang -lambang ini masih relevan dengan jaman demokrasi sekarang dalam kesempatan penulis hanya membahas tetapi sangat butuh masukan dan sarannya dengan sharing mengenai atribut bhayangkara dan sikap arogansi dari Bhayangkara yang sudah mulai dihilangkan dalam proses pendidikan Kepolisian dengan tindakan nyata seperti memberikan pembelajaran lebih menghargai Hak Asasi manusia lewat kuliah dan Pengasuhan ,kemudian Taruna belajar untuk mengabdi kepada masyarakat dengan mengedepankan rasa Empati supaya lebih Humanis dengan pengajaran harus bisa menghilangkan sikap Arogansi dengan lebih murah senyum selalu menjaga perasaan dari masyarakat .dibawah akan dijelaskan tentang makna dari kata Arogan dan salah satu ide untuk mewujudkan Polisi Sipil yang Humanis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang disebut arogan itu adalah orang yang punya perasaan superioritas dan itu dimanifestasikan ke dalam sikap yang suka memaksa, kepongahan, kecongkakan, atau keangkuhan. Dalam praktek sehari-hari, arogansi itu kita masukkan ke dalam list kesombongan. Semua naluri universal manusia di dunia ini tidak ada yang bisa menerima kesombongan. Manusia diberi naluri yang membenci kearogansian dan menyukai kerendahan hati. Karena itu, orang yang paling arogan sekali pun akan menolak kearogansian yang ditunjukkan orang lain. (Ubaydillah : 2007)
Sementara itu, Simbol berasal dari kata symballo yang berasal dari bahasa Yunani. Symballoartinya “melempar bersama-sama”, melempar atau meletakkan bersama-sama dalam satu ide atau konsep objek yang kelihatan, sehingga objek tersebut mewakili gagasan. Simbol dapat menghantarkan seseorang ke dalam gagasan atau konsep masa depan maupun masa lalu. Simbol adalah gambar, bentuk, atau benda yang mewakili suatu gagasan, benda, ataupun jumlah sesuatu. Meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, namun simbol sangatlah dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Simbol dapat digunakan untuk keperluan apa saja. Semisal ilmu pengetahuan, kehidupan sosial, juga keagamaan. Bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata, namun juga melalui gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu infrastruktur bahasa, yang dikenal dengan bahasa simbol. (id.wikipedia.org)
Dari pengertian arogan dan simbol di atas, maka dapat dirangkaikan pengertian dari simbol-simbol arogansi; yaitu bentuk-bentuk baik yang berupa benda kasat mata maupun bukan kasat mata (mis: bahasa, ucapan) yang mewakili suatu gagasan tentang sesuatu hal yang kemudian mengarah ke sifat-sifat kesombongan, keangkuhan dan kecongkaan. Dari hal tersebut maka yang menjadi pertanyaan kita adalah, apa yang menjadi simbol-simbol arogansi di Kepolisian? Kemudian mengapa simbol-simbol tersebut menjadi sesuatu hal yang dapat dikatakan arogansi?
Dalam hal ini akan dibahas beberapa diantara simbol-simbol tersebut sehingga kemudian juga akan dapat menjawab kedua pertanyaan di atas, yaitu antara lain :
1) Sebutan Kepangkatan dan Bentuk Pangkat ;
Sebutan kepangkatan di Kepolisian pada Perwira Tinggi (Pati) yang menggunakan kata “Jenderal” dengan bentuk pangkat yang sedemikian rupa berisi “Bintang”. Sebutan pangkat di Kepolisian sebenarnya dari tingkat paling bawah (Bhayangkara Dua) sampai tingkat Perwira Menengah (Komisaris Polisi) sebenarnya sudah cukup baik (sedikit banyak telah menghilangkan kesan arogan), namun permasalahannya adalah pada pangkat “Jenderal” yang masih terkesan sangat militeristik (di Negara manapun pangkat Jenderal biasa digunakan dalam militernya). Kepolisian sudah lebih 1 (satu) dasawarsa menjadi “Polisi Sipil” tetapi mengapa pangkat militer mesti dipertahankan? Sebagian orang beranggapan bahwakepangkatan Jenderal itu tidak bisa melulu dinilai sebagai sesuatu yang bernuansa militeristik, sebab militeristik adalah paham militerisme yang berbeda dari sipil. Namun menurut saya, karena historisnya Polisi yang pernah bergabung dengan Militer maka tetap saja sebutan kepangkatan Jenderal itu akan membawa pengaruh yang sangat kuat dalam merubah paradigma menjadi polisi sipil. Jika dibalik pertanyaannya, bagaimana akan merubah paradigma polisi yang dulu militer menjadi sipil jika sebutan pangkatnya masih militer? Menganalogikannya dalam suatu kasus adalah sebagai berikut ; seorang penyidik di suatu kepolisan daerah dengan pangkat Inspektur yang sedang menangani suatu kasus Pengusaha A, tiba-tiba mendapat telepon dari seorang “Jenderal” di Markas Besar, yang meminta tolong agar dapat “membantu” penyelesaian kasus kawannya si Pengusaha A. Sebagai seorang “Inspektur” menerima telepon dari seorang “Jenderal” saja tentu sudah menjadi “beban” tersendiri, apalagi jika tidak melakukan apa yang diminta oleh “Jenderal” tersebut, yang jika dihitung-hitung maka pangkat itu paling tidak berada pada posisi 6 tingkat di atasnya. Bagaimana si Inspektur kemudian tidak memenuhi permintaan sang Jenderal? Dari analogi tersebut dapat menepis pernyataan yang menyebutkan bahwa kepangkatan Jenderal tidak melulu dinilai sebagai sesuatu yang bernuansa militeristik. Sedangkan bentuk pangkat Polisi yang sekarang inipun juga masih mensimbolkan aroganisme, dengan “bintang” untuk jenderal, “bunga” untuk perwira menengah, dan “balok” untuk pangkat inspektur. Jujur saja, sebagai anggota kepolisian level inspektur saja saya akan merasa canggung, sungkan, takut, minder, bilamana berhadapan dengan orang berpakaian dinas dengan pangkat “bintang berkilau” di pundak, apalagi masyarakat pada umumnya.
2) Tongkat Komando
Di kepolisian, tongkat komando diberikan dan diperuntukkan kepada para pejabat yang memimpin/mengepalai sebuah kesatuan, seperti Resor atau Detasemen ke atas (Kepolisian Daerah dan Markas Besar). Dari sejarahnya, tongkat komando merupakan identitas militer yang menjadikannya sebagai simbol kekuasaan, simbol kedudukan, simbol perintah dan sebagainya. Dengan tongkatnya, seorang komandan kesatuan biasanya menunjukkan dan memberi suatu perintah kepada anak buahnya. Tongkat komando juga kemudian menjadi simbol sahnya pemegang suatu jabatan, seorang komandan yang menduduki jabatan “komando” (Kepala) tetapi tidak diserah-terimakan tongkat komandonya dari pejabat lama dianggap belum sah. (Terjadi pada peristiwa pergantian Kepala Kepolisian masa lalu). Sedemikian “sakral” nya tongkat komando hingga ada saja yang kemudian para “pemegang” tongkat komando itu membuat sendiri (memesan) dengan berbagai macam bahan, seperti dari kayu cendana bahkan gading gajah. Ada juga yang melapisi bagian pegangan dan ujung tongkat dengan emas murni (24 karat). Dari berbagai referensi tentang kegunaan tongkat komando di militer adalah sebagai salah satu senjata terakhir bagi perwira komando (karena pada awalnya tongkat tersebut bisa dicabut dan difungsikan sebagai pisau/belati yang ada didalamnya). Sementara itu di kepolisian apalagi saat ini, kegunaan tongkat komando hanyalah sebatas simbol serah terima jabatan komando saja. Sehingga untuk saat ini apakah masih relevan bila tetap digunakan di lingkungan Kepolisian yang sipil ini selain juga hanya sebagai pembeda antara pejabat komando (Kepala) dengan yang bukan? Disadari atau tidak bagi pemegang tongkat komando, akan membawa dampak suatu pemikiran dan sikap bahwa dirinya adalah salah satu “orang terpilih” karena tidak semua perwira (orang) dapat memegang tongkat komando (jabatan). Dari pemikiran dan sikap yang demikian sedikit banyak akan menimbulkan keangkuhan, kecongkakan dan kepongahan pada diri si pemegang tongkat komando itu.
3) Sebutan “Komandan”, “Dan” atau “Ndan”
Satu lagi warisan militer yang juga menjadi simbol-simbol arogansi adalah penyebutan Komandan kepada para Perwira atau Polisi yang lebih senior. Kebiasan penyebutan ini masih saja terus berlangsung di Kepolisan, hal ini karena fakta di lapangan masih banyak Polisi-polisi produk militer (pendidikan masih tergabung dengan militer) baik sebagai anak buah maupun pimpinan yang masih terbiasa penyebutan kata tersebut. Hal inipun kemudian disadari atau tidak bagi mereka yang disebut ‘Komandan” akan merasa dirinya berbeda (posisi lebih di atas) dengan yang memanggilnya demikian, bahwa yang memanggilnya dengan “komandan”, “Ndan” maupun “Dan” adalah mereka yang berada “di bawahnya”. Hal ini juga sedikit banyak membawa pengaruh sikap “sok komandan” bagi mereka yang biasa dipanggil “komandan”.
Dari beberapa simbol-simbol arogansi yang masih ada di Kepolisian tersebut, kiranya perlu dipikirkan wacana ke depan dalam menghadapi perilaku masyarakat yang semakin kritis, sebagaimana tuntutan reformasi Kepolisian yaitu mewujudkan Polisi yang sipil dan humanis, maka sebaiknya simbol-simbol tersebut kita hapuskan. Bagaimana caranya? Itu yang harus menjadi pemikiran bersama, karena hal tersebut juga syarat dengan kebijakan-kebijakan yang bersifat politis. Namun bila ingin mewujudkan cita-cita kepolisian yang sipil dan humanis, maka diperlukan kearifan dari para pimpinan Kepolisian untuk merelakan simbol-simbol itu dihapuskan.
Dimana ada kemauan Disitu ada jalan .(http://dwiasiwiyatputera.blogdetik.com/)

Komentar

Selamat pagi...