Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta, Hairus Salim, mengatakan lembaganya akan mengadukan Polresta Yogyakarta ke Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta karena melarang diskusi berjudul “Melek Media : Menanggulangi Konten Negatif Fundamentalisme Agama di Dunia Maya”. “Aktivis LKiS dan lembaga peduli toleransi lainnya mengajukan pengaduan itu dengan mendatangi Polda DIY pada Senin, 27 Oktober 2014,” ujar Hairus, Ahad 26 Oktober 2014.
Sebelumnya Kepolisian Resort Kota Yogyakarta melarang Panitia Jagongan Media Rakyat menggelar diskusi itu digelar di
Jogja National Museum Yogyakarta, Jumat 24 Oktober 2014. Dalam surat yang ditandatangani oleh Kepala Unit Satuan Intelkam Komisaris Sigit Hariyadi pada 23 Oktober 2014 itu, polisi berdalih pelarangan dipicu munculnya penolakan diskusi itu dari organisasi masyarakat Islam.
Sehari sebelum surat itu keluar, Forum Umat Islam (FUI) Daerah Istimewa Yogyakarta memang menyebarkan pesan via media sosial dan banyak nomor ponsel jaringannya, termasuk milik wartawan dan polisi, yang memprotes acara tersebut. Isinya, ancaman akan memantau jalannya seminar karena khawatir materinya memuat wacana yang menyudutkan Islam. Pesan ini sekaligus mengumumkan rencana organisasi tersebut mendatangi Polresta Yogyakarta untuk memprotes pemberian izin acara itu pada Jumat, 24 Oktober 2014.
Koordinator Seknas Gusdurian, Alissa Wahid mendesak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengevaluasi Kepolisian Resort Kota (Polresta) Yogyakarta karena mengeluarkan keputusan yang berakibat buruk terhadap masa depan penindakan hukum di kasus-kasus intoleransi. "Ada hak konstitusional warga negara yang jelas-jelas dilanggar dalam keputusan Polresta Yogyakarta itu," kata Alissa yang juga anak putri Presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid ini.
Alissa mengkritik munculnya surat dari Polresta Yogyakarta itu karena sama saja bertujuan meminta pembatalan acara seminar hanya karena muncul ancaman dari kelompok intoleran. Menurut dia, polisi kembali mengulangi kesalahan dengan mengeluarkan keputusan, yang melanggar prinsip hak kebebasan berkumpul dan berbicara bagi warga negara, dengan alasan menjaga stabilitas keamanan. "Ini (sikap polisi) sudah berkali-kali terjadi, dan kali ini, memakai surat resmi," kata dia.
Alissa khawatir, sikap Polresta Yogyakarta mengakomodasi aspirasi salah satu kelompok, yang mengorbankan hak konstitusi warga lain, itu akan menjadi preseden buruk dalam upaya penegakan hukum kasus intoleransi lainnya. (www.tempo.co)
Sebelumnya Kepolisian Resort Kota Yogyakarta melarang Panitia Jagongan Media Rakyat menggelar diskusi itu digelar di
Jogja National Museum Yogyakarta, Jumat 24 Oktober 2014. Dalam surat yang ditandatangani oleh Kepala Unit Satuan Intelkam Komisaris Sigit Hariyadi pada 23 Oktober 2014 itu, polisi berdalih pelarangan dipicu munculnya penolakan diskusi itu dari organisasi masyarakat Islam.
Sehari sebelum surat itu keluar, Forum Umat Islam (FUI) Daerah Istimewa Yogyakarta memang menyebarkan pesan via media sosial dan banyak nomor ponsel jaringannya, termasuk milik wartawan dan polisi, yang memprotes acara tersebut. Isinya, ancaman akan memantau jalannya seminar karena khawatir materinya memuat wacana yang menyudutkan Islam. Pesan ini sekaligus mengumumkan rencana organisasi tersebut mendatangi Polresta Yogyakarta untuk memprotes pemberian izin acara itu pada Jumat, 24 Oktober 2014.
Koordinator Seknas Gusdurian, Alissa Wahid mendesak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mengevaluasi Kepolisian Resort Kota (Polresta) Yogyakarta karena mengeluarkan keputusan yang berakibat buruk terhadap masa depan penindakan hukum di kasus-kasus intoleransi. "Ada hak konstitusional warga negara yang jelas-jelas dilanggar dalam keputusan Polresta Yogyakarta itu," kata Alissa yang juga anak putri Presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid ini.
Alissa mengkritik munculnya surat dari Polresta Yogyakarta itu karena sama saja bertujuan meminta pembatalan acara seminar hanya karena muncul ancaman dari kelompok intoleran. Menurut dia, polisi kembali mengulangi kesalahan dengan mengeluarkan keputusan, yang melanggar prinsip hak kebebasan berkumpul dan berbicara bagi warga negara, dengan alasan menjaga stabilitas keamanan. "Ini (sikap polisi) sudah berkali-kali terjadi, dan kali ini, memakai surat resmi," kata dia.
Alissa khawatir, sikap Polresta Yogyakarta mengakomodasi aspirasi salah satu kelompok, yang mengorbankan hak konstitusi warga lain, itu akan menjadi preseden buruk dalam upaya penegakan hukum kasus intoleransi lainnya. (www.tempo.co)
Komentar
Posting Komentar