dokumentasi
Hermawan Aksan, Wartawan Tribun
SELALU ada orang baik di antara orang jahat. Selalu ada orang jujur di antara para pembohong. Brigadir Polisi Dua Muhammad Taufiq Hidayat boleh jadi salah satu di antara polisi yang baik di tengah banyaknya kisah tentang polisi yang buruk. Anggota Sabhara Polda DIY ini tinggal di bekas kandang sapi selama dua tahun terakhir.
Tidak
berarti dengan tinggal di bekas kandang sapi dapat disimpulkan bahwa
Taufiq adalah polisi yang baik. Namun fakta bahwa seorang polisi tinggal
di tempat yang tidak layak menunjukkan bahwa ia berasal dari keluarga
miskin dan orang akan menduga kuat bahwa ia lolos menjadi seorang polisi
tidak menggunakan uang sogokan—sesuatu yang dianggap wajar atau bahkan
harus. Ini poin lebih di tengah kabar burung yang menyebutkan angka
sekian puluh atau ratus juta rupiah untuk menjadi bintara polisi.
Taufiq sendiri mengaku mendaftarkan diri hingga menjadi polisi tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Setelah dinyatakan diterima, pemuda kelahiran 25 Maret 1995 ini menjalani pendidikan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda DIY Selopamioro, Imogiri, Bantul. Ia menamatkan pendidikan itu pada akhir Desember 2014. Taufiq kemudian bertugas di Direktorat Sabhara Polda DIY.
Taufik tinggal bersama ayah dan adiknya di Dusun Jongke Tengah RT 04/23, Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta, menempati gubuk berukuran 2,5 x 5 meter persegi dengan satu tempat tidur dan lemari baju. Lulusan SMK Negeri Sayegan, Kabupaten Sleman, ini, sebelum tinggal di Mes Mapolda DIY, berangkat ke kantor menggunakan angkot atau menumpang temannya menggunakan motor. Bahkan, sebelum menerima gaji, dia rela berjalan kaki berkilo-kilometer.Kehidupan Taufiq diketahui saat ia terlambat sampai di Mapolda. Dengan alasan yang diberikannya, atasannya langsung memerintah anggotanya untuk mengecek kebenaran cerita itu. Akhirnya diketahui, Taufik memang hidup di dalam keterbatasan.
Saya berharap Taufiq benar-benar polisi yang baik dan jujur sehingga pernyataan Gus Dur bahwa di negara ini hanya ada tiga polisi jujur—patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng—sekadar humor belaka. Humor satire. Dengan begitu, saya pun dengan ikhlas turut mendoakan semoga karier Taufiq berjalan dengan baik.
Mungkin ia bisa belajar dari kisah hidup Hoegeng atau Brigjen Polisi Kaharoeddin. Kisah kejujuran Hoegeng boleh jadi sudah seperti dongeng. Bagaimana ia pernah melarang istrinya membuka toko bunga karena orang yang berursan dengan lembaganya pasti akan memesan bunga di toko istrinya dan itu tidak adil untuk toko lain, pernah menolak rayuan seorang pengusaha cantik, masih mau turun tangan mengatur lalu lintas di perempatan bahkan setelah berbintang empat, tak segan-segan memberantas semua beking kejajatan, berani menangani kasus yang melibatkan orang-orang kuat, dan selalu berpesan kepada anak buahnya supaya polisi jangan mau dibeli.
Mirip dengan Hoegeng, Brigjen Kaharoeddin, yang pernah menjadi Komandan Polisi Sumatra Tengah, tetap mempertahankan gaya hidup sederhana dan antikorupsi setelah diangkat menjadi gubernur Sumatra Barat tahun 1958. Ceritanya, seorang rekanan Pemprov datang berkunjung ke kantor Kaharoeddin. Setelah berbasa-basi, pengusaha itu pulang dengan meninggalkan sebuah kotak roti. Setelah diperiksa, ternyata isinya uang. Kaharoeddin terkejut. Dia segera memanggil ajudannya.
"Kembalikan uang ini pada pengusaha yang menemui saya tadi. Bilang kalau mau menyumbang bukan sama gubernur, tapi ke jawatan sosial," kata Kaharoeddin, seperti dikutip dalam buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, Gubernur di Tengah Pergolakan.
Sang ajudan melongo melihat kejujuran bosnya. Dia pun segera berlari menjalankan apa yang diperintahkan Kaharoeddin.
Sejak jadi pejabat polisi, Kaharoeddin melarang polisi berpakaian dinas nongkrong di kafe atau restoran serta tempat-tempat umum. Menurut dia, baju dinas, ya, untuk dinas, bukan untuk bertemu seseorang di restoran. Menurut Kaharoeddin, hal ini bisa disalahgunakan.
Saya yakin polisi seperti Hoegeng, Kaharoeddin, dan (mudah-mudahan) Taufiq tidak punya rekening gendut. Jangan-jangan rekening pun tidak punya—berbeda dengan sejumlah pejabat tinggi polisi saat ini.
Sungguh saya ingin tahu adakah pejabat tinggi polisi zaman kini yang tidak punya rekening gendut. (*)
Taufiq sendiri mengaku mendaftarkan diri hingga menjadi polisi tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Setelah dinyatakan diterima, pemuda kelahiran 25 Maret 1995 ini menjalani pendidikan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda DIY Selopamioro, Imogiri, Bantul. Ia menamatkan pendidikan itu pada akhir Desember 2014. Taufiq kemudian bertugas di Direktorat Sabhara Polda DIY.
Taufik tinggal bersama ayah dan adiknya di Dusun Jongke Tengah RT 04/23, Sendangadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta, menempati gubuk berukuran 2,5 x 5 meter persegi dengan satu tempat tidur dan lemari baju. Lulusan SMK Negeri Sayegan, Kabupaten Sleman, ini, sebelum tinggal di Mes Mapolda DIY, berangkat ke kantor menggunakan angkot atau menumpang temannya menggunakan motor. Bahkan, sebelum menerima gaji, dia rela berjalan kaki berkilo-kilometer.Kehidupan Taufiq diketahui saat ia terlambat sampai di Mapolda. Dengan alasan yang diberikannya, atasannya langsung memerintah anggotanya untuk mengecek kebenaran cerita itu. Akhirnya diketahui, Taufik memang hidup di dalam keterbatasan.
Saya berharap Taufiq benar-benar polisi yang baik dan jujur sehingga pernyataan Gus Dur bahwa di negara ini hanya ada tiga polisi jujur—patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng—sekadar humor belaka. Humor satire. Dengan begitu, saya pun dengan ikhlas turut mendoakan semoga karier Taufiq berjalan dengan baik.
Mungkin ia bisa belajar dari kisah hidup Hoegeng atau Brigjen Polisi Kaharoeddin. Kisah kejujuran Hoegeng boleh jadi sudah seperti dongeng. Bagaimana ia pernah melarang istrinya membuka toko bunga karena orang yang berursan dengan lembaganya pasti akan memesan bunga di toko istrinya dan itu tidak adil untuk toko lain, pernah menolak rayuan seorang pengusaha cantik, masih mau turun tangan mengatur lalu lintas di perempatan bahkan setelah berbintang empat, tak segan-segan memberantas semua beking kejajatan, berani menangani kasus yang melibatkan orang-orang kuat, dan selalu berpesan kepada anak buahnya supaya polisi jangan mau dibeli.
Mirip dengan Hoegeng, Brigjen Kaharoeddin, yang pernah menjadi Komandan Polisi Sumatra Tengah, tetap mempertahankan gaya hidup sederhana dan antikorupsi setelah diangkat menjadi gubernur Sumatra Barat tahun 1958. Ceritanya, seorang rekanan Pemprov datang berkunjung ke kantor Kaharoeddin. Setelah berbasa-basi, pengusaha itu pulang dengan meninggalkan sebuah kotak roti. Setelah diperiksa, ternyata isinya uang. Kaharoeddin terkejut. Dia segera memanggil ajudannya.
"Kembalikan uang ini pada pengusaha yang menemui saya tadi. Bilang kalau mau menyumbang bukan sama gubernur, tapi ke jawatan sosial," kata Kaharoeddin, seperti dikutip dalam buku Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, Gubernur di Tengah Pergolakan.
Sang ajudan melongo melihat kejujuran bosnya. Dia pun segera berlari menjalankan apa yang diperintahkan Kaharoeddin.
Sejak jadi pejabat polisi, Kaharoeddin melarang polisi berpakaian dinas nongkrong di kafe atau restoran serta tempat-tempat umum. Menurut dia, baju dinas, ya, untuk dinas, bukan untuk bertemu seseorang di restoran. Menurut Kaharoeddin, hal ini bisa disalahgunakan.
Saya yakin polisi seperti Hoegeng, Kaharoeddin, dan (mudah-mudahan) Taufiq tidak punya rekening gendut. Jangan-jangan rekening pun tidak punya—berbeda dengan sejumlah pejabat tinggi polisi saat ini.
Sungguh saya ingin tahu adakah pejabat tinggi polisi zaman kini yang tidak punya rekening gendut. (*)
Komentar
Posting Komentar