Polisi Militer TNI, Mau ke Mana?

Peresmian Polisi Militer Tentara Nasional Indonesia oleh Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Senin (4/5/2015), sejatinya membuat sistem penegakan ketertiban di internal TNI harus lebih efisien. Ujung-ujungnya, masyarakat mengharapkan restrukturisasi itu membuat mereka tidak lagi harus merasakan polah anggota TNI yang tidak pada tempatnya. Komandan Polisi Militer (POM) TNI Mayor Jenderal Maliki Mift menjelaskan, kini Komandan POM memiliki jalur komando langsung untuk memberikan masukan teknis kepada POM di setiap angkatan. Sebelumnya, Komandan POM berkedudukan sebagai staf Panglima TNI sehingga tidak memiliki kekuasaan jika tak ada surat perintah dari TNI untuk kasus per kasus.
Moeldoko mengatakan, restrukturisasi ini diharapkan membuat TNI lebih fokus pada tugasnya. Pembenahan POM adalah bagian dari perbaikan suprastruktur disiplin, hukum, dan tata tertib yang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pembangunan infrastruktur TNI.
Keberadaan POM yang tidak hanya berfungsi sebagai penyelidik dan penyidik, tetapi juga membina ketertiban anggota TNI, diharapkan bisa memperkecil jumlah pelanggaran prajurit TNI. Apalagi, kasus-kasus yang terjadi di TNI juga sebenarnya tidak lepas dari dinamika yang terjadi di masyarakat. Hal ini diakui Moeldoko yang melihat kecenderungan perkembangan perilaku prajurit di tengah pengaruh arus liberalisme memunculkan narkoba dan tindakan primitif lain.
Maliki mengatakan, secara umum, peristiwa yang paling banyak terjadi adalah kecelakaan lalu lintas yang korban dan atau pelakunya anggota TNI. Masalah kedua adalah desersi, dilanjutkan dengan narkoba.
Berdasarkan data Puspen TNI, pelanggaran desersi prajurit TNI meningkat dari 865 kasus pada 2013 menjadi 927 kasus pada 2014 atau meningkat 62 kasus. Di sisi lain, kasus asusila turun dari 242 kasus pada 2013 menjadi 171 kasus pada 2014. Sementara untuk kasus penganiayaan turun dari 187 perkara pada 2013 menjadi 143 perkara pada 2014. Kasus narkoba pada 2013 ada 177 kasus dan pada 2014 turun menjadi 155 perkara. Penyalahgunaan senjata api meningkat, dari 12 kasus pada 2013 menjadi 14 kasus pada 2014.
Dibandingkan dengan 434.000 anggota TNI, jumlah pelanggaran ini mungkin terkesan tidak signifikan. Masalahnya, setiap prajurit, termasuk mereka yang melakukan pelanggaran, terlatih dan bersenjata sehingga membuat dampak dari pelanggaran itu bisa signifikan. Ini belum termasuk kasus-kasus yang tak terdeteksi, tapi bisa dirasakan masyarakat.
Selain bisa mengawasi kerja POM-POM di angkatan, menurut Maliki, POM TNI juga bisa mengisi wilayah-wilayah yang selama ini belum optimal, seperti pelanggaran saat tugas di luar negeri. Kemungkinan lain, ketika sebuah kasus pelanggaran melibatkan dua angkatan, penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh POM TNI. Dengan dijadikan satu kasus, diharapkan jadi lebih efisien. "Semoga jadi tajam tugas POM sehingga efeknya ke masyarakat," kata Maliki.
Namun, ada beberapa hal yang tidak berubah. Kasus bentrok TNI dengan Polri, misalnya, tetap ditangani dengan mekanisme saat ini, yaitu ada penyelidikan oleh POM, intel, dan satuan wilayah. Kasus seperti penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, oleh oknum TNI juga bukan kasus yang ditangani POM TNI karena pelaku dan saksinya dinilai sudah jelas.
Dengan demikian, ekspektasi masyarakat mungkin juga jangan berlebihan. Mengubah kultur dan sistem memang tidak semudah membalik telapak tangan. (Edna Caroline)
Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 Mei 2015 dengan judul "Polisi Militer TNI, Mau ke Mana?".

Komentar

Selamat pagi...