Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mendukung usul beberapa tokoh masyarakat untuk dilakukan audit internal dalam institusi Polri demi penegakan hukum yang lebih bersih dan penguatan semangat antikorupsi di Indonesia. "Polisi kan sekarang sedang menjadi sorotan karena diduga banyak melakukan penyelewengan, sistem manajemen, sistem kerja, dan sumber daya manusianya harus diperiksa," kata Direktur KontraS Haris Azhar di Jakarta, Minggu (17/5).
Menurut dia, proses pemeriksaan tersebut harus dilakukan oleh sebuah komite yang bekerja langsung di bawah Presiden dalam jangka waktu enam bulan hingga satu tahun.
"Nah sementara mereka diperiksa, fungsi, dan kerjanya ditahan dulu untuk dipindahkan ke tempat lain. Misalnya fungsi keamanan diambil TNI, fungsi pengaturan lantas diserahkan pada DLLAJ, fungsi pelayanan publik diambilalih Kemendagri," tuturnya.
Setelah proses audit selesai dan terpilih siapa-siapa saja aparat kepolisian yang benar-benar berintegritas dan kredibel, katanya, maka seluruh fungsi dan tugas Polri akan dikembalikan seperti seharusnya.
Sebelumnya, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (13/5), sejumlah tokoh agama dan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia mendesak reformasi menyeluruh dalam tubuh Polri sehingga Polri bisa tumbuh menjadi institusi penegak hukum yang bersih, kompeten, dan kuat.
Mereka terdiri dari rohaniwan seperti Romo Frans Magnis Suseno, Pendeta Gomar Gultom, K.H. Solahuddin Wahid, serta aktivis antikorupsi seperti Ray Rangkuti, Chandra Motik, dan Saor Siagian.
Bahkan, Chandra Motik yang mewakili Alumni Lintas Perguruan Tinggi Se-Indonesia mengajukan petisi untuk reformasi Polri yang poinnya antara lain reposisi kedudukan Polri yang semula berada di bawah Presiden secara langsung menjadi di bawah kementerian/lembaga atau pemerintah daerah serta pemisahan fungsi penegakan hukum dan kamtibmas.
Selain itu, katanya, proses rekrutmen dan promosi jabatan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel dengan menekankan pada aspek integritas. Diperlukan juga reformasi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) agar menjadi lembaga pengawas yang independen.
Chandra juga menekankan perlunya dibentuk satuan tugas (Satgas) kebenaran korupsi polisi untuk memeriksa kebenaran dari sumber penghasilan polisi yang diduga berasal dari sumber yang tidak sah sesuai undang-undang.
"Satgas tersebut harus terdiri dari anggota PPATK, komisioner KPK, Ombudsman, masyarakat, serta akademisi," ujarnya.
Bagi anggota kepolisian yang terbukti melakukan praktik korupsi sampai dengan 2010, tuturnya, direkomendasikan agar Presiden memberikan amnesti melalui Keputusan Presiden (Keppres) atas oknum polisi tersebut. Sedangkan bagi aparat penegak hukum yang masih aktif, akan diberlakukan kebijakan illicit erichment (perolehan kekayaan secara tidak wajar) di mana jika penegak hukum tidak bisa membuktikan bahwa hartanya berasal dari sumber yang sah, kekayaan tersebut akan disita negara.
"Kepada oknum yang bersangkutan kemudian dikenakan sanksi administrasi berupa pemberhentian sebagai anggota polisi, jaksa, pimpinan atau staf KPK, tetapi mereka tidak dikenakan tuntutan pidana," katanya.
Agar poin-poin dalam petisi tersebut memiliki kekuatan hukum, maka Chandra mengusulkan agar diterbitkan peraturan pemerintah (PP) terkait isi petisi itu. (http://www.beritasatu.com)
Komentar
Posting Komentar