Esai
ini ada di WARTA KOTA, 30 Juni 2015, halaman 7
Akhir-akhir ini Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Polri) seakan terseret masuk ke dalam pusaran kepentingan politik kalangan
tertentu dan terasa tidak hadir pada ruang-ruang yang lain. Polri seolah hanya
memihak kepentingan-kepentingan tertentu, baik secara politik, ekonomi maupun
sosial.
Gonjang-ganjing pencalonan Kepala Polri yang akhirnya
menampilkan Jenderal Polisi Badrotin Haiti sebagai pucuk tertinggi pimpinan
Polri penuh dengan aroma politik. Kemudian, terungkapnya kasus pembunuhan
Angeline, anak berusia 8 tahun, di Denpasar (Bali) seolah menegaskan polisi
tidak hadir sampai titik masyarakat terbawah.
Juga pada kasus tujuh Polisi di Pos Polisi Cakung, Jakarta Timur,
bersikap cuek ketika ada korban penodongan di tengah kemacetan lalu-lintas Jalan
Cakung-Cilincing. Polisi seperti pilih kasih.
Tidak hanya seolah pilih kasih, Polisi pun terkadang tidak
mau ambil pusing manakala dilapori peristiwa kejahatan yang tidak berada di
wilayah kewenangannya. Dengan alasan lebih dekat, korban melapor ke pos atau
markas polisi yang memang tidak bertanggung-jawab atas TKP tersebut. Kendati
tidak berwenang, sudah seharusnya Polisi tetap melayani pengaduan, minimal
mengkoordinasikan dengan Polisi di wilayah yang berwenang. Bukan menolak
mentah-mentah atau membiarkan korban yang tengah dirundung nestapa tambah
sengsara.
Seharusnya Polisi hadir di mana pun serta melayani dan
mengayomi siapa saja tanpa pandang bulu. Polisi mesti hadir sampai lingkup
terkecil di pos-pos polisi. Kehadiran Polisi betul-betul menyeluruh dalam
lingkup masyarakat mewakili negara untuk mengemban tugas melindungi, mengayomi,
melayani dan menegakkan hukum (amanah Pasal 30 ayat [4] UUD 1945).
Barangkali Polisi kita mesti berlajar pada Polisi Jepang
yang penuh keramahan melayani laporan Nia yang merasa terlecehkan gara-gara
pertanyaan seorang lelaki: “Eh kamu manis, maukah menikah denganku.”
Suatu malam, Nia yang hendak pulang ke apartemennya di
Tokyo merasa agak terganggu atas ucapan itu, cepat-cepat ia mencari selamat
masuk ke sebuah minimarket milik orang Brazil. Oleh pemilik minimarket,
persoalan Nia dilaporkan ke Polisi. Spontan, sekitar 4-5 menit berselang, mobil
polisi datang. Dan Nia langsung dibawa-serta ke pos polisi untuk pemberkasan
kasusnya.
Singkat cerita, pemberkasan selesai lepas tengah malam. Di
sela-sela pemberkasan, Nia dijamu dengan minuman susu kesukaannya. “Terakhir,
saya diberi kartu nama si bapak polisi, alarm pengaman (yang biasa digantung di
tas anak SD), senter, juga pulpen dan pensil bergambar polisi. Dan saya di
antar sampai depan pintu rumah,” tutur Nia melalui blog http://nihondaidaisuki.blogspot.com.
Sebenarnya tidak sulit menampilkan diri sosok Polisi kita seperti
Polisi Jepang. Sebab dalam diri Polisi (Bhayangkara) sudah mengkristal
nilai-nilai dan falsafah kerja Tribrata
dan Catur Prasetya. Ditambah dengan
pedoman Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Semoga di Hari Bhayangkara (1 Juli) ini, Polisi kita mampu merenungi
dan meresapi nilai dan falsafah tersebut sepenuh hati. Dan segera tampil
sebagai alat negara yang membanggakan, mengayomi dan melayani bersandar pada
profesionalitas. Bukan Polisi yang partisan, pilih kasih dan transaksional. (Budi N. Soemardji, orang pinggiran Bekasi)
Komentar
Posting Komentar