Jenderal 'Pembangkang' Era Eforia Demokrasi


ist.
Eforia demokrasi pada masa transisi pasca kekuasaan Orde Baru juga mewarnai perjalanan sejarah Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Seperti peristiwa yang terjadi dimasa Kapolri Jenderal Polisi Drs. R. Suroyo Bimantoro yang dilantik sebagai Kapolri ke 16 pada 23 September 2000.
Keadaan negara pada kepemimpinan Kapolri Bimantoro masih dalam taraf transisi demokrasi. Dari pemerintahan yang sangat otoriter lantas berubah menjadi pemerintahan demokratis. Sehingga kebebasan yang terlalu luas mengakibatkan terjadinya gesekan dan benturan antar kelompok dalam masyarakat.

Saat itu Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meminta Bimantoro lulusan AKPOL 1970 itu mundur dari jabatan Kapolri. Namun, Bimantoro tidak bersedia mundur, bahkan menantang Presiden Gus Dur untuk mencopot jabatannya. "Sekali lagi Gus, saya tidak mau mengundurkan diri. Tapi kalau Gus mau mengganti saya, silakan," kata Bimantoro, saat itu.

Penolakan itu dinilai Gus Dur sebuah tindakan pembangkangan. Kemudian Gus Dur mencopot jabatan Bimantoro  pada 1 Juli 2001 dan menunjuk Chairudin Ismail lulusan AKPOL 1971 sebagai penggantinya.

Ternyata, tindakan Gus Dur mendapat perlawanan dari sejumlah perwira tinggi Polri, dengan alasan tidak sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII Tahun 2000 yang mensyaratkan pengangkatan dan pergantian Kapolri harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Para perwira tinggi dan menengah yang menolak pencopotan Kapolri, meminta  Bimantoro tidak menyerahkan tongkat komando kepada Kapolri Jenderal Chairudin Ismail yang telah diangkat Gus Dur.

Sehingga dalam sejarah Polri, pada masa kepemimpinan Bimantoro, Polri memiliki  dua pemimpin yakni Bimantoro dan Chairudin. Kondisi itulah sekaligus pemicu terjadinya konflik internal di tubuh Polri.

Jenderal Bimantoro kelahiran Gombong, Jawa Tengah 3 Nopember 1946 itu tetap menjalankan tugas sebagai Kapolri. Sehari hari Bimantoro tetap mengenakan pakaian dinas lengkap dengan bintang empat di pundak dan memegang tongkat komando. Sementara pada rapat sidang kabinet di Istana, Presiden Gus Dur mengundang Kapolri Jenderal Chairudin.

Perseteruan Bimantoro dengan Gus Dur kian memuncak, karena Bimantoro tidak melaksanakan keputusan presiden yang telah mengganti Kapolri. Disusul   perintah Presiden Gus Dur kepada Menko Polkam untuk menangkap Bimantoro atas tuduhan insubordinasi.

Namun, dengan alasan tidak diperoleh kesapakatan atas perintah Gus Dur penangkapan Bimantoro, sehingga tidak jadi dilakukan. Kemudian Gus Dur menyerahkan kewenangan itu kepada Menko Polkam Agum Gumelar.

Pada saat yang hampir bersamaan, Presiden Abdurrahman Wahid bersiteru dengan   Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) karena menyeret kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia ke pusaran politik.

Puncaknya, DPR berhasil menurunkan Presiden Gus Dur dan pemerintahan dilanjutkan Wapres Megawati menjadi Presiden. Masa pemerintahan Megawati, jabatan Kapolri dikembalikan kepada Jenderal Bimantoro hingga memasuki masa pensiun pada akhir 2001.

Menjalani masa pensiun,kini Bimantoro menggeluti bisnis. Jenderal purnawirawan ini tercatat sebagai komisaris pada Trans Corp anak usaha dari Para Group yang memiliki 40 persen saham  PT Carrefour Indonesia.
Perusahaan retail terbesar di Indonesia tersebut itu memiliki nilai total dari akuisisi diatas 300 juta dolar AS atau sekitar Rp3 triliun.
Memimpin Polri pada era eforia demokrasi,menghantarkannya menjadi pebisnis handal mengelola perusahaan retail terbesar di Indonesia. (beritabatavia.com)

Komentar

Nama Anda :
Email Anda :
Komentar Anda :
   

Komentar

Selamat pagi...