Menelisik kasus dugaan korupsi sungguh pelik. Seorang
saksi bisa jadi harus memenuhi panggilan polisi berkali-kali.
============
Sampai tiga kali Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan,
Hadiyanto, menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri sebagai saksi kasus korupsi
penjualan kondensat oleh BP Migas (SKK Migas) kepada PT TPPI Terakhir dia menjalani
pemeriksaan selama 8 jam pada pertengahan pekan lalu. Dan kasus ini pun tetap
belum berkembang ke penetapan tersangka baru.
Hadiyanto mengaku diperiksa dalam kapasitasnya sebagai
mantan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu dan Komisaris PT Tuban Petro
Indonesia, induk usaha PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI).
"Kami sebagai saksi saja," katanya singkat.
Hadiyanto enggan menjelaskan lebih detail mengapa dirinya bisa
terseret dalam kasus ini. Bahkan, saat ditanya tentang keputusan pemerintah
menunjuknya sebagai komisaris, Hadiyanto menyebut ada cerita panjang soal itu. "Saya
Komisaris TPI, itu panjanglah ceritanya berasal dari Badan Pemulihan Penyehatan
Perbankan Negara (BPPN). Tanya ke penyidik saja ya," katanya sedikit
menghindar.
Apakah dalam pemeriksaan juga ditanya tentang rapat pada Mei
2008 bersama Jusuf Kalla (wakil presiden saat itu)? Hadiyanto menjawab singkat,
"Tidak sampai ke situ."
Sekadar pengetahuan, ini merupakan pemeriksaan yang ketiga
kalinya terhadap Hadiyanto dalam kasus yang disebut-sebut merugikan negara sampai
lebih dari Rp2 triliun itu. Sebelumnya dia diperiksa pada Senin (5/10) dan
Kamis (10/9).
Pemeriksaan Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan itu
guna mengembangkan pengusutan untuk menjerat tersangka baru terkait dugaan
korupsi dan pencucian uang penjualan kondensat oleh BP Migas (SKK Migas) kepada
PT TPPI . Namun, sejauh ini polisi belum menetapkan tersangka baru dalam kasus
yang diwariskan oleh Komjen Budi Waseso itu.
Kasus ini bermula saat penjualan kondensat oleh BP Migas
kepada PT TPPI pada kurun waktu 2009 hingga 2010 dengan penunjukan langsung.
Penyidik menemukan sejumlah dugaan tindak pidana.
Pertama, yakni penunjukan langsung PT TPPI oleh BP Migas
untuk menjual kondensat bagian negara. Kedua, PT TPPI telah melanggar kebijakan
wakil presiden untuk menjual kondensat ke Pertamina, PT TPPI justru menjual ke
perusahaan lain.
Penyidik juga menemukan bahwa meski kontrak kerja sama BP
Migas dengan PT TPPI ditandatangani Maret 2009, namun PT TPPI sudah menerima kondensat
dari BP Migas sejak Januari 2009 untuk dijual. Selain itu, PT TPPI diduga tidak
menyerahkan hasil penjualan kondensat ke kas negara.
Sejauh ini penyidik telah memeriksa saksi dari BP Migas, PT
TPPI, Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM. Pun termasuk mantan Menteri
ESDM Purnomo Yusgiantoro, mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan mantan Dirut
Pertamina Karen Agustiawan.
Dalam kasus dengan kerugian negara mencapai Rp2 triliun ini,
Bareskrim Polri telah menetapkan tiga orang tersangka. Mereka adalah mantan Kepala
BP Migas Raden Priyono, mantan Deputi Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono,
dan mantan Direktur Utama PT TPPI, Honggo Wendratno.
Ketiga tersangka diduga menyalahgunakan wewenang dalam
proses penunjukan TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara. Penyidik
menjerat mereka dengan Pasal 2 dan atau Pasal 3 Undang-undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (*)
Boks:
Nama Sri Mulyani dan JK Ikut Terseret
Bareskrim Polri telah menetapkan tiga tersangka kasus
penjualan kondensat jatah pemerintah. Masing-masing bekas Kepala BP Migas Raden
Priyono, bekas Deputi Pemasaran BP Migas Djoko Harsono, dan pemilik PT Trans
Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) Honggo Wendratno.
Brigjen Viktor Edi Simanjuntak, Direktur Eksus Bareskrim
Polri terdahulu, menyampaikan, pihaknya sudah mengirim penyidik untuk memeriksa
Honggo yang kini bermukim di Singapura. Pemeriksaan terhadap tersangka itu pun
telah dianggap cukup. Kini tinggal membawanya pulang untuk diajukan ke meja
hijau.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Eksus) Brigjen
Bambang Waskito mengatakan, berbagai upaya telah dilakukan penyidik untuk
membawa pulang Honggo guna merampungkan penyidikan.
Namun hingga kini, Singapura belum memberikan lampu hijau
untuk pemulangan Honggo. Menurut Wakil Direktur Eksus Komisaris Besar Agung
Setya, Polri intensif melakukan pendekatan kepada penegak hukum negara tetangga
itu. Pendekatan dilakukan dengan menghormati kewenangan masing-masing penegak
hukum. "Mereka mempunyai harkat dan martabat yang sama dengan kita.
Kekhasan atau cara-cara yang berbeda dalam penegakan hukum ini perlu
dihormati," katanya.
Dalam melobi Singapura untuk membawa pulang Honggo, Polri
menggandeng Kementerian Luar Negeri. "Lobi-lobi selalu dilakukan
kepolisian bersama-sama dengan Kemenlu, dan pihak terkait lainnya dengan
otoritas Singapura," kata Kepala Penerangan Masyarakat Humas Polri,
Brigjen Agus Riyanto.
Untuk membongkar kongkalikong dalam penjualan kondensat ini,
penyidik sampai memeriksa bekas Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia pun dimintai
keterangan sampai 12 jam.
Kepada penyidik, Sri Mulyani menyampaikan bahwa dalam
perkara ini dirinya menjalankan tugas sebagai bendahara negara, yaitu mengatur
tata laksana pembayaran kondensat milik negara yang dikelola BP Migas dan
dijual oleh TPPI.
Ia menegaskan, dirinya tak pernah menunjuk TPPI sebagai
penjual kondensat bagian negara. Sri mengaku menerbitkan surat persetujuan
tentang tata laksana berdasarkan kajian menyeluruh yang dilakukan oleh Direktur
Jenderal Anggaran dan Badan Kebijakan Fiskal.
Dalam audit BPKtahun 2012 disebutkan Sri Mulyani memberikan
persetujuan pembayaran tak langsung kepada PT TPPI dalam penjualan kondensat bagian
negara. Persetujuan diberikan melalui surat bernomor S-85/MK.02/2009.
Persetujuan itu dianggap tidak mempertimbangkan kondisi PT
TPPI yang tengah mengalami kesulitan keuangan dan memiliki utang ke Pertamina.
Akibatnya, dana hasil penjualan tidak disetor ke kas negara.
Selain menjelaskan soal posisinya saat itu, Sri Mulyani juga
mengungkapkan Jusuf Kalla, Wakil Presiden saat itu, pada 2008 pernah memimpin
rapat penyelamatan TPPI.
Saat itu, JK mengeluarkan kebijakan agar pihak TPPI menjual
hasil olahan kondensat tersebut kepada PT Pertamina. Namun, TPPI tidak
melaksanakan kebijakan tersebut dan tidak menyetorkan hasil penjualan ke
negara. Konsendat justru dijual ke PT Vitol, perusahaan migas di Singapura.
Dalam penjelasan mengenai kasus ini, Jusuf Kalla mengatakan
bantuan yang diberikan kepada TPPI merupakan kebijakan yang benar. "Salahnya
bukan yang mengasih kerjaan (penjualan kondensat), tapi uangnya yang tidak
dibayarkan (TPPI)," ujarnya.
Sejauh ini, Bareskrim Polri merasa tak perlu meminta
keterangan dari JK yang sejak 2014 lalu kembali menjadi Wakil Presiden.
Padahal, JKtak keberatan apabila dimintai keterangan dalam upaya pengungkapan
kasus hukum.
"Jangankan dia (Sri Mulyani), saya saja Wakil Presiden
bersedia memberikan kesaksian di pengadilan," tandasnya. (*)
Komentar
Posting Komentar