Tidak
sedikit warga masyarakat menyimpan senjata api rakitan dengan alasan untuk jaga
diri. Perlu pendekatan agar warga bersedia menyerahkan senjata itu ke pihak
berwenang.
===========
Berkat pendekatan persuasif dan intensif, warga Suku
Anak Dalam (SAD) secara sukarela menyerahkan 25 pucuk senjata api laras panjang
kepada aparat TNI, tepatnya kepada Korem 042/Garuda Putih (Gapu), Jambi.
Penyerahan 25 pucuk senjata api laras panjang itu dilakukan oleh empat orang temenggung
sebagai perwakilan Suku Anak Dalam dari Desa Batin IX, Kecamatan Sungai Bahar,
Kabupaten Batanghari.
Dalam penyerahan ini, empat orang temenggung Suku Anak
Dalam itu didampingi Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan tim Intel Korem
042/Gapu. Penyerahan 25 pucuk senjata ini diterima langsung oleh Komandan Korem
(Danrem) 042/Gapu, Kolonel Inf TNI Makmur Umar di halaman Markas Korem
042/Gapu, Jambi, Jumat (29/1) pagi.
Penyerahan senjata ini, ujar Makmur, merupakan hasil
binaan dan pendekatan pihak TNI kepada Suku Anak Dalam. Akhirnya, 25 kepala keluarga
Suku Anak Dalam sepakat menyerahkan senjatanya kepada aparat keamanan.
Penyerahan ini pun menandakan kesadaran hukum yang telah dimiliki warga Suku
Anak Dalam.
Penyerahan senjata ini sebagai wujud dan hasil sinergi
antara aparat Intelijen dan Teritorial. ''Aparat Intelijen melakukan
penggalangan secara terbatas. Sementara kegiatan pembinaan teritorial dilakukan
melalui komunikasi sosial dengan warga masyarakat Suku Anak Dalam,'' ujar
Makmur Umar di Jambi, Jumat (29/1).
Tidak hanya itu, Makmur berharap, kepada setiap warga masyarakat
Suku Anak Dalam yang masih menyimpan senjata, baik laras panjang ataupun laras
pendek, segera menyerahkannya ke Babinsa dan Koramil. Hingga saat ini,
pembinaan komunikasi sosial terhadap masyarakat Suku Anak Dalam masih terus
dilakukan secara rutin dan berkelanjutan.
Tindakan preventif sejak dini yang
dilakukan pihak Korem
042/Gapu Jambi, menurut Pakar Hukum dari Jambi, Adri, SH, Mhum, merupakan
langkah yang tepat. “ Tindakan preventif sejak dini dari hal-hal yang tidak
diinginkan. Tidak terlepas dari fungsi
tugas TNI, sebagai Pengaman NKRI,” jelas Adri.
Lebih
jauh Adri mengatakan bahwa aparatur TNI dan Pemerintah
Daerah perlu meningkatkan pengawasan dan pembinaan penduduk yang berada di pelosok
desa atau desa terpencil.
“Masyarakat yang berada di desa terpencil sang at mudah
dipengaruhi. Faktor utamanya, masalah ekonomi. Kewaspadaan terhadap lingkungan
di sekitarnya bukan hanya merupakan tangguing jawab Polri dan TNI. Tetapi juga
tanggung jawab warga masyarakat yang ada di dalamnya. Aksi teroris, dan ancaman
bom bisa terjadi kapan saja,” jelas Adri kepada FORUM.
Konflik antara warga Suku Anak Dalam (SAD) dengan warga
lainnya sudah kerap terjadi. Penyerahan senjata api yang didahului dengan
pembinaan Babinsa dapat menjadi titik pencegahan agar ke depan tidak lagi
muncul konflik. Pertengahan Desember 2015 lalu terjadi bentrok antara
warga SAD dan Warga Desa Kungkai, Kecamatan Bangko, Kabupaten Merangin.
Merujuk pada catatan Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, konflik yang terjadi antara
warga Suku Anak Dalam (SAD) dan warga desa lain di Provinsi Jambi sudah memakan
korban sedikitnya 14 orang meninggal sejak 1999.
"Berdasarkan catatan kami sejak tahun 1999, sudah
tujuh kali terjadi bentrok antara warga SAD atau Orang Rimbah dan warga desa.
Sebanyak 14 orang harus meregang nyawa, 13 orang yang meninggal itu di
antaranya dari pihak Orang Rimbah dan satu orang warga Desa Kungkai, Kecamatan
Bangko, Kabupaten Merangin, pada Selasa lalu," kata Direktur Komunikasi
KKI Warsi, Rudi Syaf, seperti dikutip Tempo, Rabu (16/12/2015).
Kejadian yang paling menghebohkan adalah pada tahun
2000. Saat itu terjadi perampokan dan pemerkosaan terhadap Orang Rimbah yang
bermukim di kawasan Nalo Tantan. Dalam kasus tersebut, tujuh Orang Rimbah
meninggal. Sedangkan tiga pelaku sudah divonis hukuman mati dan tinggal
menunggu eksekusi. "Baru satu kasus inilah yang diselesaikan secara hukum
pidana, selebihnya melalui hukum adat," ungkapnya.
Menurut Rudi, konflik yang melibatkan Orang Rimbah di
Provinsi Jambi, termasuk yang terakhir dengan warga Desa Kungkai ini, bukanlah
hal aneh. Sebab, pada prinsipnya di antara kedua belah pihak sudah menyimpan dendam
sehingga tinggal menunggu pecah saja.
"Ini terjadi, menurut kami, karena memang kedua
belah pihak tidak bisa berdampingan akibat latar belakang budaya yang jauh
berbeda. Bisa disatukan jika memang pemerintah membangun kesetaraan hidup di
antara mereka dan memberi penyuluhan secara terpadu, bahwa kedua belah pihak
itu bersaudara dan sama-sama warga negara Indonesia," terang Rudi.
Warsi sendiri, kata Rudi, sudah memberikan tawaran
kepada pemerintah mengenai upaya menghindari konflik berkepanjangan ini. Salah
satunya adalah harus membangun kawasan terpadu bagi Orang Rimbah dengan
membangun rumah serta memberi lahan pertanian. "Ini menjawab pernyataan
Bupati Merangin Al Haris yang menyatakan ingin memindahkan Orang Rimbah yang
bermukim di dekat Desa Kungkai," ujarnya.
Antara permukiman Orang Rimbah dan warga Desa Kungkai
hanya berbatas Sungai Kungkai. Kondisi kehidupan Orang Rimbah untuk mencari
nafkah sudah sangat terdesak, mengingat kawasan hutan di daerah ini sebagian
besar sudah dikuasai perusahaan perkebunan sawit, tambang emas, dan kawasan
transmigrasi.
Kawasan itu, ujar Rudi, merupakan daerah pelintasan
bagi warga Orang Rimbah sejak zaman nenek moyang mereka dulu. Warga Orang
Rimbah yang bermukim di wilayah Provinsi Jambi sebanyak 3.900 jiwa. Mereka hidup
menyebar di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, Taman Nasional Bukit
Tigapuluh, dan sepanjang jalan jalur lintas Sumatera, mulai Kecamatan Singkut,
Kabupaten Sarolangun Jambi hingga ke Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. (Djohan, Jambi)
Komentar
Posting Komentar