Kepala Divisi Propam Polri Irjen
Pol Mochamad Iriawan menyampaikan, pihaknya sudah melakukan pemeriksaan,
bahkan melakukan rekonstruksi meninggalnya tersangka teroris Siyono
saat ditangkap oleh Densus 88 Antiteror.
Dari hasil pemeriksaan tersebut, pihaknya menemukan adanya kesalahan prosedur yang dilakukan oleh anggota Densus 88. Dalam prosedur operasi standar (SOP), tersangka seharusnya dibawa dalam keadaan terborgol. Mereka tidak melaksanakan SOP itu.
Kesalahan lainnya adalah dalam membawa tersangka yang harusnya dikawal oleh minimal dua orang (kanan-kiri), tetapi pada pelaksanaannya hanya dengan satu orang. "Sehingga ada niat dari Siyono untuk melakukan perlawanan atau melarikan diri, dan itu salah," kata Iriawan saat dihubungi melalui telepon, Rabu (6/4).
Iriawan melanjutkan, dari hasil pemeriksaan sementara, kesalahan murni dilakukan oleh anggota Densus 88 karena tidak menjalankan prosedur penangkapan sesuai SOP yang ada. Oleh karena itu, menurut dia, kedua anggota Densus 88 tersebut harus bertanggung jawab atas kematian Siyono.
"Ya dua anggota densus itu (yang harus bertanggung jawab). Nanti kita sidangkan," ucap Iriawan.
Dalam melakukan penangkapan terduga teroris, Densus 88 kadang-kadang tidak melaporkan ke satuan wilayah setempat. Hal itu, menurut Iriawan, juga dilakukan oleh kedua anggota Densus 88 tersebut. Mereka tidak melapor ke kapolres setempat.
Memang benar, menurut dia, untuk melakukan pengungkapan teroris tidak mesti diketahui karena pengungkapan teroris harus secara diam-diam. Jika tidak dilakukan diam-diam dan terdengar oleh jaringan teroris, bisa jadi penangkapan tersebut gagal.
"Bisa bubar nanti. Jadi, enggak mesti melapor. Cuma, yang disalahkan itu dia, karena lalai kemudian cuma dikawal dua orang. Jadi, ya, dia (anggota Densus 88) salah," kata Iriawan.
Terkait kapan akan digelarnya persidangan, Iriawan mengaku belum tahu. Dia menjelaskan, masih ada berkas yang harus dilengkapi, terutama dari keterangan saksi-saksi. "Sedang dilengkapi pemeriksaan saksinya, setelah itu diajukan ke pimpinan, baru disidangkan," ucap mantan Kapolda Jawa Barat. (REPUBLIKA.CO.ID)
Dari hasil pemeriksaan tersebut, pihaknya menemukan adanya kesalahan prosedur yang dilakukan oleh anggota Densus 88. Dalam prosedur operasi standar (SOP), tersangka seharusnya dibawa dalam keadaan terborgol. Mereka tidak melaksanakan SOP itu.
Kesalahan lainnya adalah dalam membawa tersangka yang harusnya dikawal oleh minimal dua orang (kanan-kiri), tetapi pada pelaksanaannya hanya dengan satu orang. "Sehingga ada niat dari Siyono untuk melakukan perlawanan atau melarikan diri, dan itu salah," kata Iriawan saat dihubungi melalui telepon, Rabu (6/4).
Iriawan melanjutkan, dari hasil pemeriksaan sementara, kesalahan murni dilakukan oleh anggota Densus 88 karena tidak menjalankan prosedur penangkapan sesuai SOP yang ada. Oleh karena itu, menurut dia, kedua anggota Densus 88 tersebut harus bertanggung jawab atas kematian Siyono.
"Ya dua anggota densus itu (yang harus bertanggung jawab). Nanti kita sidangkan," ucap Iriawan.
Dalam melakukan penangkapan terduga teroris, Densus 88 kadang-kadang tidak melaporkan ke satuan wilayah setempat. Hal itu, menurut Iriawan, juga dilakukan oleh kedua anggota Densus 88 tersebut. Mereka tidak melapor ke kapolres setempat.
Memang benar, menurut dia, untuk melakukan pengungkapan teroris tidak mesti diketahui karena pengungkapan teroris harus secara diam-diam. Jika tidak dilakukan diam-diam dan terdengar oleh jaringan teroris, bisa jadi penangkapan tersebut gagal.
"Bisa bubar nanti. Jadi, enggak mesti melapor. Cuma, yang disalahkan itu dia, karena lalai kemudian cuma dikawal dua orang. Jadi, ya, dia (anggota Densus 88) salah," kata Iriawan.
Terkait kapan akan digelarnya persidangan, Iriawan mengaku belum tahu. Dia menjelaskan, masih ada berkas yang harus dilengkapi, terutama dari keterangan saksi-saksi. "Sedang dilengkapi pemeriksaan saksinya, setelah itu diajukan ke pimpinan, baru disidangkan," ucap mantan Kapolda Jawa Barat. (REPUBLIKA.CO.ID)
Komentar
Posting Komentar