Diskresi dalam Black Law Dictionary berasal dari
bahasa Belanda “Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya
memutuskan sesuatu tindakan berdasarkan ketentuan-katentuan peraturan,
Undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan,
pertimbangan atau keadilan (Pramadya, 1977: 91).
Diskresi dalam bahasa Inggris diartikan sebagai
suatu kebijaksanaan,keleluasaan (Shadily, 2002: 185).
Menurut kamus hukum yang disusun oleh J.C.T
Simorangkir diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam
setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri (Simorangkir, 2002:
38).
Thomas J. Aaron mendefinisikan diskresi bahwa:
“discretion is power authority conferred by law to
action on the basic of judgement of conscience, and its use is more than idea
of morals than law” yang dapat diartikan sebagai suatu kekuasaan atau wewenang
yang dilakukan berdasarkan hukum atas pertimbangan dan keyakinan serta lebih
menekankan pertimbangan-pertimbangan moral dari pada pertimbangan hukum (Faal,
1991:16)
Menurut Wayne La Farve maka diskresi menyangkut
pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh hukum, dimana penilaian
pribadi juga memegang peranan (Soekanto, 2002: 15).
Dari beberapa pengertian diskresi tersebut maka
dapat dikatakan bahwa secara sederhana diskresi adalah suatu wewenang
menyangkut pengambilan suatu keputusan pada kondisi tertentu atas dasar
pertimbangan dan keyakinan pribadi seseorang, dalam hal ini polisi.
Diskresi Polisi Dalam Sistem Peradilan Pidana
Tugas polisi sebagai penyidik dalam sistem
peradilan pidana
menempatkannya dalam jajaran paling depan, sehingga
polisi dituntut untuk bisa menyeleksi atau memilah-milah perkara mana yang
pantas untuk diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Tanpa adanya penyeleksian oleh polisi pada saat penyidikan maka akan terjadi
penumpukan perkara yang nantinya tidak efisien bagi semua pihak. Dalam hal ini
pengambilan keputusan oleh polisi menjadi hal yang penting adanya.
Pemberian diskresi kepada polisi menurut Chambliss
dan Seidman pada
hakekatnya bertentangan dengan negara yang
didasarkan pada hukum. Diskresi ini menghilangkan kepastian terhadap apa yang
akan terjadi. Tetapi suatu tatanan dalam masyarakat yang sama sekali
dilandaskan pada hukum juga merupakan suatu ideal yang tidak akan dapat
dicapai. Di sini dikehendaki, bahwa semua hal dan tindakan diatur oleh
peraturan yang jelas dan tegas, suatu keadaan yang tidak dapat dicapai
(Rahardjo, 1991: 111) .
Berdasarkan pendapat Chambliss dan Seidman maka
dapat dikatakan
bahwa hukum itu hanya memberikan arah pada
kehidupan bersama secara garis besarnya saja, sebab begitu ia mengatur hal-hal
secara sangat mendetail, dengan memberikan arah langkah-langkah secara lengkap
dan terperinci, maka pada waktu itu pula kehidupan masyarakat akan macet. Maka
dari itu sesungguhnya diskresi merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan
yang diperlukan dan memang diberikan oleh hukum itu sendiri untuk menyelesaikan
masalah yang ada dimasyarakat.
Dengan dimilikinya kekuasaan diskresi oleh polisi
maka polisi memiliki
kekuasaan yang besar karena polisi dapat mengambil
keputusan dimana
keputusannya bisa diluar ketentuan
perundang-undangan, akan tetapi dibenarkan atau diperbolehkan oleh hukum. Hal
tersebut seperti yang dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa: ”Satu hal yang
dapat menjelaskan berkuasanya kepolisian atau lembaga lain dalam melaksanakan
tugas, yaitu adanya diskresi atau wewenang yang diberikan oleh hukum untuk
bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi
atau petugas sendiri” (Susanto,2004: 97).
Sekalipun polisi dalam melakukan diskresi terkesan
melawan hukum,
namun hal itu merupakan jalan keluar yang memang
diberikan oleh hukum
kepada polisi guna memberikan efisiensi dan
efektifitas demi epentingan umum yang lebih besar, selanjutnya diskresi memang
tidak seharusnya dihilangkan. Hal ini seperti pendapat yang dikemukakan oleh
Anthon F. Susanto bahwa: Diskresi tidak dapat dihilangkan dan tidak seharusnya
dihilangkan. Diskresi merupakan bagian integral dari peran lembaga atau
organisasi tersebut.Namun, diskresi bisa dibatasi dan dikendalikan, misalnya
dengan cara diperketatnya perintah tertulis serta adanya keputusan terprogram
yang paling tidak mampu menyusun dan menuntut tindakan diskresi.
Persoalannya,keputusan-keputusan tidak terprogram sering muncul dan membuka
pintu lebarlebar bagi pengambilan diskresi (Susanto, 2004: 98).
Menurut Thomas Becker dan David L. Carter dalam
Anthon F. Susanto
bahwa: Keputusan yang tidak terprogram lebih
menyerupai perintah khusus. Keputusan ini merupakan keputusan dengan tujuan
khusus yang sering membutuhkan kreativitas dan penilaian dalam tingkat yang
lebih besar.Meskipun masih ada batas-batas dalam perilaku personel, batas
tersebut jauh lebih longgar sehingga mengijinkan lebih banyak pengambilan
diskresi ( Susanto, 2004: 98).
Meskipun diskresi dapat dikatakan suatu kebebasan
dalam mengambil
keputusan, akan tetapi hal itu bukan hal yang
sewenang-wenang dapat dilakukan oleh polisi. Menurut Skolnick adalah keliru
untuk berpendapat, bahwa diskresi itu disamakan begitu saja dengan
kesewenang-wenangan untuk bertindak atau berbuat sekehendak hati polisi
(Rahardjo, 1991: 112).
Tindakan yang diambil oleh polisi menurut Skolnick
bahwa:
Tindakan yang diambil oleh polisi didasarkan kepada
pertimbangan pertimbangan yang didasarkan kepada prinsip moral dan prinsip
kelembagaan,sebagai berikut:
a. Prinsip moral, bahwa konsepsi moral akan
memberikan kelonggaran kepada seseorang, sekalipun ia sudah melakukan
kejahatan.
b. Prinsip kelembagaan, bahwa tujuan istitusional
dari polisi akan lebih terjamin apabila hukum itu tidak dijalankan dengan kaku
sehingga menimbulkan rasa tidak suka dikalangan warga negara biasa yang patuh
pada hukum (Rahardjo,1991: 112).
Mengingat kekuasaan diskresi yang menjadi wewenang
polisi itu sangat
luas, maka diperlukan persyaratan-persyaratan yang
harus dimiliki oleh petugas,terutama didalam menilai suatu perkara. Hal ini
diperlukan guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan mengingat diskresi oleh
polisi didasarkan atas kemampuan atau pertimbangan subyektif pada diri polisi
sendiri. Sebagai contoh didalam melaksanakan KUHAP polisi sebelum mengadakan
penyidikan didahului dengan kegiatan penyelidikan. Sesungguhnya fungsi
penyelidikan ini merupakan alat penyaring atau filter terhadap
peristiwa-peristiwa yang terjadi apakah dapat dilakukan penyidikan atau tidak.
Untuk mencegah tindakan sewenang-wenang atau
arogansi petugas
tersebut yang didasarkan atas kemampuan atau
pertimbangan subyektif, menurut buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara polisi
maka:
Tindakan diskresi oleh polisi dibatasi oleh:
1. Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus
benar-benar diperlukan.
2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk
kepentingan tugas kepolisian.
3. Asas tujuan, bahwa tindakan yang paling tepat
untuk meniadakan suatu
gangguan atau tidak terjadinya suatu kekhawatiran
terhadap akibat yang lebih besar .
4. Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil
tindakan harus diperhitungkan
keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran
yang digunakan dengan
besar kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu
obyek yang harus
ditindak (MABESPOLRI, 2002:132).
Langkah kebijaksanaan yang diambil polisi itu
biasanya sudah banyak
dimengerti oleh komponen-komponen fungsi didalam
sistem peradilan pidana. terutama oleh jaksa. Langkah kebijaksanaan yang
diambil oleh polisi itu menurut M. Faal biasanya dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a. Penggunaan hukum adat setempat dirasa lebih
efektif dibanding dengan
hukum positif yang berlaku.
b. Hukum setempat lebih dapat dirasakan oleh para
pihak antara pelaku, korban dan masyarakat.
c. Kebijaksanaan yang ditempuh lebih banyak manfaat
dari pada semata-mata menggunakan hukum positif yang ada.
d. Atas kehendak mereka sendiri.
e. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum
(Faal, 1991: 74).
Dengan adanya diskresi kepolisian maka akan
mempermudah polisi
didalam menjalankan tugasnya, terutama pada saat
penyidikan didalam
menghadapi perkara pidana yang dinilai kurang
efisien jika dilanjutkan ke proses selanjutnya.
SISTEM PERADILAN PIDANA ( CRIMINAL JUSTICE SISTEM )
Inti dari penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto
adalah:
Secara konsepsional, maka inti dan arti dari
penegakan hukum terletak
pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 2002: 3).
Penegakan hukum lewat sistem peradilan pidana (SPP)
tidak lain
bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dengan
memprosesnya sesuai dengan sistem yang berlaku pada peradilan pidana yang ada.
Sistem peradilan pidana merupakan sistem
pengendalian kejahatan yang
terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan
pemasyarakatan terpidana. Tujuan sisten peradilan
pidana adalah mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus
kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan
dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan
kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Menurut pendapat Muladi bahwa:
Dalam operasionalnya, sistem peradilan pidana
melibatkan manusia, baik
sebagai subyek maupun obyek, sehingga dapat
dikatakan bahwa persyaratan
utama agar sistem perdilan pidana tersebut dapat
bersifat rasional, sistem tersebut harus dapat memahami dan memperhitungkan
dampaknya terhadap manusia atau masyarakat manusia baik yang berada dalam
kerangka sistem maupun yang berada diluar sistem (Muladi, 1995: 21).
Setiap komponen dalam Sistem Peradilan Pidana
dituntut untuk selalu
bekerjasama. Hal ini seperti pendapat yang
dikemukakan oleh Mardjono
Reksodiputro bahwa:
Empat komponen sistem peradilan pidana (
kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan ) diharapkan
dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu integrated criminal justice
system. Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan
akan terdapat tiga kerugian yaitu:
a. kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan
atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama
b. kesulitan dalam memecahkan sendiri
masalah-masalah pokok disetiap
instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan
pidana)
c. dikarenakan tanggungjawab setiap instansi sering
kurang jelas terbagi, maka setiap istansi tidak terlalu memperhatikan
efektifitas menyeluruh dari sestem peradilan pidana (Susanto, 2004: 75).
Terhadap pandangan demikian Romli Atmasasmita
memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Pengertian sistem pengendalian dalam batasan
tersebut diatas merupakan
bahasa manajemen yang berarti mengendalikan atau
menguasai atau melakukan penegakan (mengekang). Dalam istilah tersebut
terkandung aspek manajemen dalam upaya penanggulangan kejahatan. Sedangkan
apabila sistem peradilan pidana diartikan suatu penegakan hukum atau law
enforcement maka didalamnya terkandung aspek hukum yang menitik beratkan kepada
rasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan
dan bertujuan mencapai kepastian hukum (certainty). Dilain pihak apabila
pengertian sistem peradilan pidana dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan
social defense yang
terkait kepada tujuan mewujudkan kesejahteraan
masyarakat maka dalam sistem peradilan pidana terkandung aspek sosial yang
menitik beratkan pada kegunaan (espediency)”( Susanto, 2004: 75).
Seperti dikemukakan oleh Romli Atmasasmita diatas
bahwa sistem
peradilan pidana jika diartikan sebagai penegak
hukum atau law enforcement, maka didalamnya terkandung aspek hukum yang menitik
beratkan kepada rasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam upaya
menanggulangi kejahatan dan bertujuan mencapai kepastian hukum. Maka sudah
tentu yang menjadi tujuan akhirmya adalah menciptakan keadilan dengan cara
menegakkan hukum didalam kehidupan masyarakat.
Penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan
pidana perlu dicegah
adanya sikap bekerja sendiri-sendiri. Hal tersebut
seperti yang dikatakan oleh Faal bahwa didalam sistem peradilan pidana perlu
dicegah adanya fragmentasi (fragmentation) yang maksudnya masing-masing
komponen bekerja sendirisendiri, tanpa memperhatikan “interrelationship”
diantara segmen-segmen. (Faal, 1991: 25).
Mengikuti perkembangan hukum pidana maka dalam
pelaksanaan sistem
peradilan pidana yang bertujuan untuk menanggulangi
kejahatan itu terdapat beberapa model pandangan teori.
Model pandangan pertama, semata-mata mempertahankan
segi normatif
hukum pidana. Mengenai hukum yang bersifat normatif
tersebut menurut
Chambliss dan Seidman dalam Ronny Hanitiyo Soemitro
bahwa:
Setiap sistem normatif mempengaruhi, mendorong atau
memaksakan agar
suatu kegiatan dilakukan sistem normatif yang
berbentuk sistem hukum
menggunakan kekuasaan negara untuk menjalankan
paksaan ini. Oleh karena itu model yang diajukan menggambarkan bahwa
tuntutan-tuntutan diajukan oleh berbagai golongan penduduk, yang oleh kekuasaan
negara diselenggaraan dengan perantaraan hukum untuk mendorong atau memaksakan
tingkah laku yang diinginkan oleh seperangkat pemegang-pemegang peran. Dalam
kenyataanya jenis tuntutan yang demikian ini disebut sebagai pelaksanaan
kekuasaan negara,karena pemegang peran tidak perlu berkeinginan untuk bertindak
demikian. Jadi dengan sistem hukum sebagian masyarakat menggunakan kekuasaan
negara untuk memaksa golongan lain dari penduduk, sehingga sistem hukum
merupakan sistem melaksanakan kekuasaan negara (Soemitro, 1985: 49).
Mempertahankan segi hukum normatif dilihat dari
pendapat diatas maka
hukum berkesan kaku karena arah tujuannya
dipaksakan berlaku seperti yang tercantum didalam bunyi perundang-undangan
tersebut. Para penegak hukum bertugas menjalankan aturan hukum semata-mata
sehingga akibat dari pelaksanaan hukum itu sendiri bagi yang diproses tidak
dipedulikan. Akibat yang ditimbulkan adalah masyarakat harus hidup dalam jalur
yang telah ditentukan oleh hukum.
Model kedua adalah model sosiologis. Model ini
kebalikan dari model
yang pertama, artinya keadaan yang terjadi didalam
masyarakat juga menjadi pertimbangan didalam menegakkan hukum. Hal ini sesuai
dengan pendapat dari Roscoe Pound dalam Ronny Hanitiyo Soemitro bahwa:
Proses yuridis tidak mampu memberikan pemecahan
terhadap masalahmasalah
konkrit yang timbul didalam masyarakat secara
tepat, hukum bukan
hanya kumpulan norma-norma abstrak atau merupakan
suatu tertib hukum saja,akan tetapi hukum juga merupakan suatu proses untuk
mengadakan
keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang
saling bertentangan dan selain itu hukum juga merupakan sarana untuk menjamin
pemenuhan kebutuhankebutuhan semaksimal mungkin dengan menimbulkan pergeseran
(friction) seminimal mungkin (Soemitro, 1985: 26).
Pada model ini hukum tidak saja merupakan
keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur manusia dalam
masyarakat tetapi meliputi pula lembaga institusi dan proses-proses yang
mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah dan asas-asas itu dalam kenyataan. Sehingga
sepanjang cara-cara yang ada dimasyarakat masih dapat digunakan, maka
penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan sebaiknya
tidak perlu digunakan terlebih dahulu, akan tetapi penggunaan non hukum pidana
lebih diutamakan.Dikaitkan dengan judul tulisan ini yaitu pelaksanaan diskresi
oleh polisi dalam rangka penyidikan maka terlihat fokus permasalahan yang akan
diajukan, yaitu sejauh mana jangkauan diskresi kepolisian dalam sistem
peradilan pidana baik dilihat dari segi hukum normatif maupun dari segi
pelaksaanya.
Seperti yang telah diungkapkan diatas bahwa dalam
rangka penegakan
hukum pidana, aparat penegak hukum dapat
menggunakan wewenangnya melalui jalur yuridis atau sosiologis. Namun, jalan
yang ditempuh untuk kedua jalur itu hendaknya harus seimbang, bukan
terpisah-pisah seolah-olah sebagai lawan yang berbeda dan tidak berhubungan.
Bagi petugas penegak hukum keduanya harus dapat dipertimbangkan sekaligus
sebelum mengambil keputusan, walaupun akhirnya jalur sosiologis lebih dominan
dibandingkan jalur yuridis dalam menghadapi masalah ataupun sebaliknya.
Berdasarkan pemikiran tersebut, sehingga diskresi
yang dilakukan oleh
kepolisian dimana berupa penyaringan-penyaringan,
seleksi perkara yang masuk dalam proses memerlukan pertimbangan-pertimbangan.
Pertimbanganpertimbangan tersebut berasal dari
kedua model pemikiran tersebut, yaitu model normatif maupun sosiologis. Hal ini
menjadi penting dikarenakan kedudukan polisi sebagai penyidik berada pada
jajaran terdepan dalam sistem peradilan pidana sebagai tempat paling awal
menerima atau menempatkan segala macam persoalan pidana.Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh M. Faal :
“Bahwa akan menjadi masalah apabila kewenangan
diskresi ini ditutup
sama sekali, sebagai kerasnya hukum pidana formal
tanpa memperhatikan aspek sosiologisnya. Karena polisi yang berada di gugus
paling depan dalam sistem peradilan pidana akan disibukkan oleh perkara-perkara
yang tertumpuk yang seharusnya dapat diselesaikan diluar proses. Seperti
perkara-perkara konkret yang dihadapi di lapangan yang menuntut diselesaikannya
segera oleh penyidik, perkara-perkara yang sangat atau terlalu ringan, perkara
yang tersangkanya kurang pantas atau ditangani diluar proses daripada didalam
proses yang akibatnya jauh lebih buruk untuk kehidupan selanjutnya, atau
perkara-perkara yang dilanggar itu kurang berarti bagi masyarakat umum.
Demikian juga demi kepentingan korban atau kepentingan umum yang lebih besar”
(Faal, 1991: 6).
Baik model normatif maupun sosiologis keduanya
merupakan unsur yang
perlu diperhatikan oleh aparat penegak hukum
terutama polisi didalam
menegakkan hukum. Hal ini dikarenakan baik normatif
maupun sosiologis pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama didalam masyarakat
yaitu untuk
mewujudkan ketentraman dan keamanan serta penegakan
hukum dalam sistem
peradilan pidana.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman
pada Pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa ”peradilan
dilakukan dengan
sederhana, cepat dan biaya ringan”, sehingga
apabila dalam sistem peradilan pidana hanya ingin menegakkan hukum formal
semata-mata maka kurang sesuai dengan apa yang tertuang dalam undang-undang
tersebut dan tentunya justru akan mengurangi keefektifan dari sistem peradilam
pidana sendiri. Hal ini dikarenakan jika hanya ingin menegakkan hukum formal
saja justru akan menimbulkan pemborosan waktu, materi, tenaga maupun biaya
dalam penyidikan yang dilakukan oleh polisi. Sehingga solusi yang diberikan
oleh hukum dalam prakteknya polisi sering melakukan tindakan penyampingan
perkara, tentunya hal tersebut didasarkan pada setiap permasalahan yang
dihadapi oleh polisi dilapangan yang situasi dan kondisinya berbeda-beda.
Tindakan yang dilakukan polisi untuk melakukan
penyaringan atau
penyampingan terhadap perkara pidana, jika dilihat
menurut sikap hukum
pidana yang kaku dimana tidak mengenal kompromi,
maka tidak bisa
dibenarkan begitu saja tentunya. Sedangkan jika
dilihat dari alasan sosiologis yang terkadang digunakan dalam praktek, biasanya
lebih dipengaruhi oleh unsur subyektif yang melekat pada diri polisi, juga
situasi dan kondisi.
Tentunya untuk menjamin hukum yang baik bagi
masyarakat pada umumnya
maupun polisi pada khususnya diperlukan adanya
aturan hukum sebagai dasar yang tegas untuk mengaturnya.Berkaitan dengan
landasan hukum hal tersebut bagi petugas penyidik dari kepolisian terdapat
beberapa aturan perundang-undangan yang langsung maupun tidak berhubungan
dengan masalah diskresi kepolisian ini.
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang KUHAP pada Pasal 7 (j),memberikan wewenang kepada penyidik yang karena
kewajibannya dapat melakukan tindakan apa saja yang menurut hukum
bertanggungjawab.Terlepas dari batasan perkara yang serba ringan yang
ditetapkan oleh perundang-undangan untuk mengenyampingkan perkara itu, disini
juga terlihat bahwa didalam melaksanakan tugas itu polisi diberi wewenang oleh
undangundang untuk dapat melaksanakan tindakan kepolisian dalam bentuk apapun
yang disebut diskresi itu, seperti yang tercantum dalam ketentuan Undang-Undang
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 pada Pasal 18, sehingga
polisi memang benar-benar mempunyai wewenang untuk melakukan diskresi terutama
dalam hal penyidikan seperti menghentikan, mengenyampingkan perkara atau tidak
melaksanakan tindakan terhadap suatu pelanggaran, tetapi dalam batas yang telah
ditetapkan dalam undang-undang.
Undang-undang memberikan wewenang yang begitu besar
kepada polisi
dalam rangka melaksanakan tugasnya, sehingga tidak
salah kiranya jika tindakantindakan kepolisian tersebut perlu diimbangi dengan
adanya pengawasanpengawasan dan harus dapat dipertanggungjawabkan oleh
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku agar tidak terjadi penyalahgunaan
kekuasaan. Hal ini dikarenakan antara subsistem yang satu dengan yang lainnya
terdapat keterkaitan satu dengan yang lainnnya. Ketidaksempurnaan kerja dalam
salah satu subsistem, akan menimbulkan dampak pada subsistem-subsistem lainnya.
Demikian pula, reaksi yang timbul sebagai akibat
kesalahan pada salah satu subsistem akan menimbulkan dampak kembali pada
subsistem yang lainnya. Dengan demikian mencegah masyarakat menjadi korban
kejahatan, bukan saja tanggungjawab kepolisian, tetapi kejaksaan dan pengadilan
juga turut bertanggungjawab melalui putusan yang dirasakan tidak adil oleh
masyarakat.
Putusan yang tidak adil, maupun tidak berhasilnya
pengadilan mengenakan
pidana bagi pelaku, akan mendorong pelaku kejahatan
lebih berani melakukan kejahatan. Pemasyarakatanpun dapat mendorong terjadinya
kejahatan, apabila mantan narapidana gagal bersosialisasi kembali dalam
masyarakat.
Terjadinya ketidakterpaduan kerja perlu dicegah,
maka kebijakan
kriminal harus dilaksanakan oleh sistem peradilan
pidana, karena sistem
peradilan pidana berfungsi sebagai perekat sistem.
Artinya, keterpaduan itu diperoleh apabila masing-masing subsistem menjadikan
kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Oleh karena itu, komponen-komponen
sistem peradilan pidana, tidak boleh bekerja sendiri-sendiri tanpa diarahkan
oleh kebijakan kriminal.
Kebijakan kriminal bukan sekedar sebagai hasil
perumusan bersama,
tetapi juga sebagai hasil dari berbagai kewenangan dalam
negara yang
bekerjasama dalam menanggulangi masalah
kriminalitas. Dimulai dari pembuat undang-undang yang menyediakan aturan-aturan
hukum pidana serta wewenang maupun pembatasan dalam melaksanakan aturan hukum
tersebut. Kemudian kepolisian dan kejaksaan yang merupakan pelaksana aturan
hukum itu dalam proses penyidikan dan penuntutan. Selanjutnya pengdilan sebagai
penguji kebijakan penyidikan dan penuntutan yang menentukan apakah benar
terdapat alasan untuk memidana pelaku kejahatan. Dan akhirnya, lembaga
pemasyarakatan sebagai pelaksana pidana mempunyai kebijakan tersendiri dalam
merawat atau memperbaiki terpidana dan mengusahakannya untuk kembali
kemasyarakat sebagai warga yng diterima.
Diakui bahwa gambaran diatas lebih sebagai hal yang
ideal. Akan tetapi
pada kenyataanya, berbagai variabel diluar sistem
peradilam pidana, justru potensial sebagai variabel yang mempengaruhi efektif
atau tidaknya kerja sistem.Karena cakupan yang demikian maka sistem peradilan
pidana lebih berdimensi kebijakan lewat suatu sistem untuk menanggulangi
masalah kejahatan. Pada titik ini jelas bahwa penegakan hukum lewat sisten
peradilan pidana merupakan bagian dari kebijakan perlindungan masyarakat untuk
mencapai dan menikmati kedamaian serta kesejahteraan.
Apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha
mengatasi segisegi
negatif dari perkembangan masyarakat, maka
hendaknya dilihat dalam
hubungannya dengan keseluruhan politik kriminal
atau kebijakan-kebijakan sosial. Bertitik tolak dari hal tersebut dapat
dikatakan bahwa penegakan hukum pidana untuk menanggulangi masalah kejahatan
tidak akan maksimal apabila tidak terkait dan tidak searah dengan
kebijakan-kebijakan sosial lainnya.
(source : Fitriani Kartika)
Komentar
Posting Komentar