Menjelang
peringatan Hari Bhayangkara 1 Juli 1992 silam, saya bersama Mas
Indrawan Sasongko M (alm) mewawancarai mantan Kapolri Jenderal Pol Purn
Prof Dr Awaloedin Djamin MPA. Ini kali pertama saya mewawancarai seorang
tokoh nasional dan mantan Kapolri secara khusus dan panjang lebar.
Kami mewawancarai Pak Awaloedin Djamin yang enerjik dan penuh
semangat itu di kantornya di Gedung Jamsostek di Jalan Gatot Subroto.
Wawancara dengan mantan Kapolri Prof Dr Awaloedin Djamin MPA dimuat di Harian Kompas, Minggu 28 Juni 1992.
Di Indonesia baru ada satu polisi yang bisa meraih gelar doktor (PhD)
dan kemudian diangkat menjadi profesor dalam ilmu administrasi negara.
Keberuntungan dan koinsidensi sejarah menyebabkan dirinya memegang
jabatan penting di dalam pemerintahan Republik Indonesia. Menjadi Kepala
Polisi Republik Indonesia, Ketua Lembaga Administrasi Negara, Menteri
Tenaga Kerja, Duta Besar Indonesia untuk Republik Federasi Jerman,
anggota DPR-GR, MPRS dan DPA dan berbagai jabatan lainnya.
Kesempatan-kesempatan yang diperoleh Awaloedin membuat dirinya
menjadi ahli tidak saja dalam soal kepolisian, tetapi juga administrasi
negara dan sumber daya manusia.
Dalam wawancara selama lebih tiga jam, Jenderal Polisi Purnawirawan
Awaloedin Djamin kelahiran Padang 26 September 1927 itu, memang banyak
berbicara tentang berbagai masalah, termasuk masalah administrasi negara
dan sumber daya manusia. Tetapi penulisan lebih difokuskan kepada
masalah kepolisian. Pada masa itu, Kepolisian RI masih bergabung dengan
ABRI, belum terpisah seperti sekarang.
Pak Awaloedin berpendapat, polisi masa depan bergerak di
tengah-tengah kemajuan dan tidak boleh seperti katak di bawah tempurung.
Polisi yang bertugas, harus bisa menguasai wilayahnya, kebiasaannya,
suku bangsanya, keadaan ekonominya, wataknya.
“Lulusan PTIK itu harus jadi police middle manager. Dia
tidak hanya jadi pemimpin anggotanya, ia juga harus berusaha
meningkatkan diri menjadi pemimpin masyarakat lingkungannya. Jadi harus
keluar. Kapolres misalnya, selain jadi pemimpin anak buahnya, juga harus
jadi pemimpin masyarakat luas di lingkungannya. Mengembangkan diri jadi
pemimpin, tidak gampang. Masyarakat sekarang adalah masyarakat yang
kompleks. Kalau Polri saja tidak bisa mengantisipasi ini, ya susah. Kita
bertugas di tengah-tengah mereka,” demikian pendapat Pak Awaloedin
Djamin yang disampaikan dalam wawancara tersebut.
Wawancara dilakukan pada 1992 ketika Polri masih di bawah Panglima
ABRI dan ketika anggaran Polri masih harus dibagi-bagi dengan tiga
angkatan lainnya. Tentu saja situasi saat ini sudah berubah karena sejak
2000, pascareformasi, Polri tidak lagi bagian dari ABRI, tetapi sudah
di bawah Presiden.
Desember
1979: Kepala Kepolisian RI Letjen Awaloedin Djamin menerima kunjungan
kehormatan Kepala Kepolisian Filipina Mayjen Fidel V Ramos. (Catatan:
Fidel Ramos kemudian terpilih sebagai Presiden Filipina periode
1992-1998). FOTO: DOKUMENTASI KOMPAS/Dinas Peneragan Polri.
Sebagian pemikiran Awaloedin Djamin masih relevan dengan kondisi
Polri saat ini. Karena itu saya kutip lagi hasil wawancara dengan Pak
Awaloedin Djamin yang dimuat di Harian Kompas, Minggu 28 Juni 1992 dalam rubrik “Lebih Jauh Dengan“. Apa yang mendorong Bapak dulu menjadi polisi?
Dulu, di sebelah SMA saya di Bukit Tinggi, ada sekolah inspektur polisi.
Teman-teman SMP masuk sana. Saya lihat kok mereka gagah-gagah. Waktu
dibuka angkatan kedua sekolah inspektur polisi, saya ikut ujian dan
diterima.
Tapi setelah itu saya dipanggil oleh direktur sekolah dan kepala
inspektur polisi Sumatera, Pak Djojo. Waktu itu tahun 1948, sebelum clash.
Saya ditanya, mengapa masuk polisi. Saya jawab karena ingin jadi
polisi. Persyaratannya hanya lulusan SMP, sementara waktu itu saya sudah
kelas III SMA. Saya diberitahu, jika tamat SMA, saya bisa ke
Yogyakarta. Saya tidak tahu bahwa di Yogyakarta ada sekolah komisa- ris
polisi yang namanya Akademi Polisi (cikal bakal PTIK). Saya keluar lagi
dan menyelesaikan sekolah.
Selama masa revolusi fisik, saya bergabung dengan polisi di daerah
Palupu, Sumatera Barat ke arah Sumatera Timur. Sejak itu, keinginan
menjadi polisi makin kuat.
Pada akhir tahun 1949, saya ke Jakarta, masuk sekolah republik.
Namanya Akademi Nasional, yang merupakan sekolah tinggi republik pertama
di Jakarta. Saya mengambil jurusan ekonomi, bersama-sama Suhadi
Mangkusuwondo, Mochtar Kusuma- atmadja, Djukardi Odang.
Pada akhir tahun 1950, PTIK dibuka di Jalan Tambak. Tapi kuliahnya di
UI. Dekannya Pak Djokosoetono, guru besarnya Pak Soemitro, Pak Soenario
Kolopaking. Calon mahasiswa ada lima ratus orang, tapi yang diterima 55
orang. Seangkatan saya adalah Widodo Budidarmo. Lulus tahun 1955, saya
bekerja sebagai komisaris kelas II. Mula-mula di Yogya sebentar, lalu di
Markas Besar di Jakarta sebagai kepala seksi umum markas besar. Waktu
pemberontakan PRRI/Permesta meletus, saya jadi sekretaris staf keamanan
Polri. Kapolrinya waktu itu Pak Soekanto. Bagaimana Bapak sebagai polisi lalu mendalami administrasi negara?
Tahun 1958, saya lihat ada dua perwira angkatan pertama PTIK, Katik
Suroso (almarhum) dan Siswaji, sekolah ke Ameri- ka dapat gelar MA. Saya
sebagai junior, kok mereka dapat gelar MA? Saya dikirim sekolah soal
senjata api, saya bilang jangan deh. Saya nggak mau ambil gelar soal
begituan.
Lama menunggu, akhir 1958, ada tawaran dari Ford Founda- tion yang
baru untuk belajar administrasi negara di Amerika Serikat. Setelah
diuji, yang lulus cuma saya. Pada awal ta- hun 1959, saya berangkat ke
Amerika Serikat, belajar di Uni- versity of Pittsburg, Pensylvania. Itu
sekolahnya Pak Sumarlin, Bintoro, Edi Swasono. Saya termasuk yang
pertama masuk sekolah di sana, dan ambil gelar di sana.
Dapat gelar Master of Public Administration (MPA) di sana, saya dapat
bea siswa dua tahun. Satu setengah tahun sudah selesai, sisanya
bagaimana? Untuk meyakinkan Ford juga susah. Karena yang dikirim oleh
Ford untuk doktor hanya dosen, sedangkan saya bukan dosen seperti
Widjojo, Ali Wardhana, Emil Salim.
Saya dipanggil oleh dewan dari Ford Foundation, dan ditanya mengapa
polisi harus jadi doktor? Saya bilang, mengajar manajemen tak bisa
kakinya hanya di akademi. Kalau mau jadi pengajar yang baik di bidang
administrasi, satu kaki di praktek, satu kaki di akademis. Ford setuju,
pemerintah setuju memperpanjang saya, dua setengah tahun. Tambah tiga
bulan lagi. Karena ada batas waktu saya ngebut dan bisa mengalahkan
mahasiswa-mahasiswa Amerika sendiri. Karena mereka kan santai.
Pada akhir 1963, saya dapat gelar doktor di bidang public administration (administrasi negara) dari University of Southern California. Saya yang pertama di negara ini yang memperoleh gelar PhD dalam public administration.
Saya pulang dan kembali ke Mabak. Waktu saya berangkat, Kapolrinya
Soekanto, waktu saya kembali ada pergantian. Waktu saya di luar negeri,
ada perubahan besar di negara ini yaitu kembali ke UUD 1945 pada tahun
1959. Waktu pulang ke Mabak, tidak ada yang bertanya saya belajar apa.
Saya ditempatkan sebagai Wakil Kepala Reserse Kriminil pada tahun 1963,
merangkap kepala seksi.
Tahun 1964, saya ditugaskan membentuk Direktorat Kekaryaan Polri dan
saya direktur pertamanya. Angkatan lain belum punya. Kemudian saya jadi
anggota DPR-GR, jadi anggota MPRS, jadi anggota Front Nasional mewakili
Polri.
Karena saya mewakili Polri di Front Nasional, maka saya pada 20
Oktober 1964, ikut mendirikan Sekber Golkar. Soehartono, Soekowati.
Karena saya berhubungan dengan Han- kam, Wiloejo Poespojoedo (almarhum)
yang kemudian jadi Ketua MPR dan Gubernur Lemhanas. Karena saya yang
termuda di jajaran ABRI, saya membantu Pak Puspujodo mempersiapkan
Lemhannas. Di ABRI sendiri, saya jadi anggota Dewan Penelitian dan
Pengembangan Doktrin ABRI. Jenderal Suwarto dari AD jadi ketuanya,
Marsekal Leo Wattimena dari AU, Laksamana Kun Djaelani dari AL, dan saya
dari Polri. Kami konseptor pembentukan Seskogab. Lalu kemana?
Setelah jadi Menteri Tenaga Kerja yang dianggap baik waktu itu
(1966-1968), saya harus kembali ke ABRI. Saya menjadi Deputi Kapolri,
dari 1968-1971. Waktu itu Kapolrinya Jendral Hoegeng Iman Santosa. Tahun
1971, saya ditarik keluar dari jajaran Polri dan menjadi Ketua LAN
sampai 1976. Kemudian tahun 1976 saya diangkat jadi Duta Besar di Jerman
Barat, selama dua tahun. Kapan Bapak menjadi Kapolri?
Mula-mula tak ada berita apa-apa. Mendadak bulan September 1978, Pak
Domo (Sudomo Menko Polkam) sekarang bilang, “Siap-siap, you dilantik
jadi Kapolri. Bawa istri.” Saya pulang dan dilantik, menggantikan
Jenderal Widodo Budidarmo. Saya cuma diberitahu bahwa Polri dalam
keadaan kacau balau. Itu perintah Presiden Soeharto kepada
Pangab/Menhankam M. Yusuf. Dalam perintah harian Yusuf kepada saya
dikatakan, “You benahi seluruhnya Polri.”
Di lapangan, Jendral Yusuf berpidato, “Citra dan wibawa polisi lagi
merosot.” Itu bukan istilah saya. ltu diucapkan M. Yusuf dan Pak Harto
kemudian dalam Rapim ABRI. Pak Harto memberikan terapinya. Salah satu
kemungkinan merosotnya wibawa Polri adalah karena Polri kurang tanggap
dan kurang responsif dalam memberikan pelayanan kepada masyara- kat yang
membutuhkan. Apa yang Bapak lakukan setelah jadi Kapolri?
Setelah jadi Kapolri, saya tak pernah berpretensi bahwa saya ahli. Waktu
saya baru masuk, saya mendengarkan apa yang dikemukakan semua staf
saya. Semuanya. Waktu saya masuk, berbulan-bulan saya belajar dari
bawahan saya. Apa yang telah dikerjakan mereka. Di Mabak, saya masuk jam
empat pagi. Berbulan-bulan. Satu persatu asisten saya tanya. Saya hanya
mendengar dan bertanya, tanpa berkomentar dulu. Tak ada pe- ngarahan
dulu. Dengar dan tanya hal yang tak jelas.
Setelah sekian bulan dan saya mulai paham, saya perin- tahkan apa
yang harus dikerjakan para anggota Polri. Saya sudah punya gambaran kan.
Saya rumuskan pola pembenahan Polri. Januari 1980 ke luar buku saya
yang pertama. Apa yang sudah Bapak benahi?
Orang bisa lihat laporan akhir memori jabatan saya. Contoh kecilnya,
saya masuk anggaran pembangunan Polri hanya Rp 4,5 miliar. Gila nggak?
Rupiah lho, bukan dollar. Dari Sabang sampai Merauke. Saya harus
berjuang. Biaya polisi besar lho. Setiap tahun saya dekati Hankam, Mabes
ABRI dan sebagainya. Setelah saya tinggalkan, anggaran Polri Rp 65
miliar.
Contoh kedua, waktu saya masuk dan melakukan inspeksi pertama,
ternyata Polwan jumlahnya tinggal beberapa ratus orang. Hampir habis.
Kita kan perlu Polwan. Makanya saya kosongkan Komando Pendidikan di
Ciputat, dan setiap tahun masuk 300 orang. Mereka dididik jadi polisi
wanita. Sekarang jumlahnya sudah ribuan.
Lebih celaka lagi, ketika saya masuk, saya kaget ketika tahu sekolah
tamtama cuma empat bulan. Gila nggak. Padahal waktu zaman Belanda saja,
masa latihan tamtama satu tahun. Kalau cuma empat bulan dengan latihan
baris-baris dan halang-rintang, sudah habis. Mau jadi polisi macam apa
mereka itu? Saya tidak tahu, sudah berapa puluh ribu yang sudah tamat.
Saya bilang, tidak bisa sekolah tamtama begini. Paling tidak, enam
bulan. Staf saya menjawab, untuk melaksana- kan hal tersebut,
anggarannya tidak ada.
Bagaimana cara mengatasinya? Sekolah lagi, tidak keburu. Lalu saya
bikin buku saku hitam tentang pengetahuan dasar seorang polisi. Itu di
coba dulu. Panggil tamtama yang sete- ngah bodoh, pintar. Bisa baca
tidak. Ngerti tidak. Saya bikin ratusan ribu sekaligus. Jadi kalau
anggota tak bisa sampai ke kita, buku saku bisa sampai ke mereka. Kepada
atasan mereka, saya bilang ajar anak buah kamu semua. Buku itu dibuat
tanpa anggaran. Bagaimana dengan pengetahuan teknis Polri waktu itu?
Ya ini menyedihkan. Pengetahuan teknis profesional Polri merosot sama
sekali karena tak ada yang sekolah ke luar ne geri lagi. Yang disebut
kemampuan profesional khas kepolisi an antara lain kemampuan di bidang
reserse, lalu lintas, intelijens. Polri tak punya ahli lagi, sementara
kejahatan berkembang terus.
Saya bersusah payah menjajaki kerja sama dengan luar ne geri. Dengan
Jerman, Inggris, Belanda, Jepang, dan sampai sekarang masih kurang
sekali. Kenapa sukar? Karena sejak Orde Baru lahir sampai saya jadi
Kapolri, kita kan ABRI. Polisi Indonesia ini militer bukan, sipil bukan.
Angkatan Darat, Laut dan Udara punya kerja sama yang erat sekali dengan
AS dan Australia dan sebagainya. Sipil dengan IGGI. Tapi polisi tidak
ada. Jadi bagaimana?
Kita boleh ABRI di dalam negeri, tapi di luar negeri kita tidak
diakui sebagai militer. Tak ada polisi yang militer di dunia ini. Maka
atas persetujuan Pak Harto, saya mencoba mencari bantuan lewat cara-cara
sipil. Di Jerman, kita dapat tetes-tetes dan tetap tidak cukup, sampai
sekarang. Kerja sama dengan Belanda di bidang pendidikan lali lintas
sekarang malah distop.
Polisi harus punya ahli di bidang reserse kriminil, reserse
narkotika, reserse ekonomi. Bagaimana menghadapi kasus-kasus kejahatan
perbankan dan kesemrawutan lalu lintas? Polisi harus mengerti masalah
perekonomian dan problem lalu lintas. Tak bisa setengah-setengah lagi.
Di beberapa Polsek, kertas, mesin tik tidak tersedia. Bahkan mau
mengejar penjahat, bensin tidak ada. Bagaimana itu bisa terjadi?
Sistem anggarannya. Departemen lain sudah ditentukan. Di ABRI tidak
demikian. Dipool jadi satu, lalu dibagi-bagi dari sana. Kita harus
berjuang untuk mendapatkan bagian itu. Tapi anggaran tetap kecil, bagaimana?
Masalahnya adalah kemampuan negara. Waktu saya Kapolri anggaran Polri
naik dari Rp 4 milyar menjadi Rp 19,5 miliar. Pak Jusuf
(Pangab/Menhankam waktu itu) pidato anggaran Polri naik sekian ratus
persen. Waktu saya giliran pidato, saya bilang, “Terima kasih Pak Jusuf.
Anggaran Polri yang besar sebanyak Rp 19 miliar itu sama dengan harga
satu pesawat Hercules TNI-AU.”
Tapi waktu itu saya punya keuntungan. Saya mantan mente- ri. Saya
kenal pribadi mereka yang bertugas di Hankam. Walaupun saya masih muda,
tapi saya lebih senior di Hankam waktu itu. Jusuf kolega saya waktu
menteri. Jadi saya bisa omong sedikit kasar.
Saya bilang, kondisi kantor Polsek (Kepolisian Sektor) tidak ada
bedanya dengan zaman Majapahit. Nggak punya apa- apa. Mesin tik nggak
punya, radio nggak punya. Apakah ini dikarenakan Polri di bawah ABRI?
Tidak soal itu, asal dia otonom melakukan tugas kepolisiannya. Ini
masalah peka, akibat Gestapu, terjadi desinte grasi Angkatan Bersenjata.
Waktu belum ada UU tahun 1961. Ada Menteri Panglima Angkatan Darat,
Menteri Panglima Angkatan Laut, Menteri Panglima Angkatan Udara dan
Menteri Panglima Angkatan Kepolisian. Semuanya terpisah. Maka sesudah
Gestapu, dibubarkan menterinya. Dibubarkan panglimanya.
Saya pertama di Mabak, yang menjadi Kepala Kepolisian Republik
Indonesia. Angkatan lain adalah Kepala Staf dan tidak mempunyai wewenang
komando. Kapolri punya. Karena Polri operasi tiap hari. Undang-undang
mengatakan, Kapolri adalah pimpinan teknis kepolisian. Jadi dia harus
menguasai.
Jadi polisi merupakan bagian dari ABRI tidak menjadi soal, asal
polisi punya otonomi untuk melakukan tugas kepo lisian. Undang-undangnya
apa tugas kepolisian itu?
Beri dia semua sarana yang diperlukan itu. Negara ini juga peka. Kita
tidak sama dengan Malaysia. Kita harus realistis. Yang saya minta, yang
saya persoalkan, berikanlah kepada polisi budget yang diperlukan. Bapak ingin Polri kita seperti apa?
Yang saya inginkan, rakyat kita aman besok. KUHAP itu saya yang bikin
bersama Ali Said dan Moedjono. Di sana Hak Asasi Manusia, luar biasa.
Penyidik utama adalah Polri. Semua sudah diatur. Supaya rakyat itu
besok, yang bersalah masuk penjara, yang nggak bersalah, dilindungi.
Penyidikan bukan soal kewenangan, tapi soal kemampuan. Jaksa minta
mengambil alih penyidikan. Itu tidak perlu. Tugas jaksa menuntut, dan
itu tidak gampang. Padahal KUHAP sudah dirumuskan dan merupakan
masterpiece. Tapi mengisi KUHAP kan tidak gampang? Harus diimbangi
dengan kemampuan dan sarana penyidikan.
Di Eropa, setiap kantor kepolisian sektor (polsek) dan kepolisian
resort (polres) punya laboratorium kriminil mini. Di sana, sidik jari,
telapak kaki, bisa diperiksa di Polsek. Kita kapan punya itu?
Kita rencanakan 10 tahun mendatang komando operasi dasar Polri di
tingkat resort. Hanya di kota-kota besar tertentu, sektornya bisa
dilengkapi dengan semua unsur (reserse, lalu lintas dan sebagainya).
Tapi nantinya, ujung tombak Polri harus sektor. Negara ini kan besar.
Tapi kita belum mampu. Berapa jumlah Polsek, berapa jumlah polisi. Di
satu daerah, ada satu polisi ber- banding 5000 penduduk.
Polri wajib menata pengembangan sumber daya manusia Polri 25 tahun
mendatang. Itu harus diperhatikan sekarang. Sumber daya manusia bukan
hanya personel. Ada faktor lainnya, soal karier. Apakah perlu, mereka
yang ada reserse itu sampai Letnan Kolonel, tidak pindah-pindah? Supaya
dia benar benar mahir dan memiliki super spesialisasi. Reserse ada
cabang-cabangnya.
Kita lihat bagaimana perkembangan kriminalitas esok? Jangan lupa.
Orang boleh bilang, hak asasi manusia, keadilan. Bagaimana adil, kalau
tidak memiliki peralatan yang cukup? Orang yang salah bisa lepas?
Itu namanya teknologi kepolisian. Ada teknologi di bidang
laboratorium kriminil. Dan juga meningkat hebat, di Polda Metro, Polda
Jatim, Jateng, Jabar, the electronic communication technology. Di Tokyo,
semua kejadian diketahui dalam waktu 24 jam. Dan laporan peristiwa
kriminal diterima secepatnya. Di Pusat Komando Pengendalian dan
Operasional Metropolitan Paris, dari ratusan televisi di sana, kita bisa
memantau sudut-sudut kota Paris.
Di kepolisian negara maju sistem pelaporan kejahatan sudah
computerized. Kita bagaimana? Masih menunggu laporan dari Polsek ke
Polres, Polres ke Polwil, Polwil ke Polda, Polda ke Mabes Polri.
Membutuhkan waktu berapa lama itu? Orang lain bisa 24 jam, bahkan setiap
menit. Data-data bisa dianalisa dengan cepat. Kita masih ketinggalan. Tadi Bapak mengatakan, di satu daerah ada satu polisi untuk
5.000 penduduk. Berapa idealnya perbandingan antara jumlah polisi dengan
jumlah penduduk?
Kita bicara dengan bahasa polisi, jargon polisi yaitu police population
ratio. Ukuran ini dipakai karena polisi harus melindungi jiwa, harta dan
hak-hak penduduk. Idealnya? Ada yang 1:350, ada yang 1:500.
Bagaimana perbandingannva di Indonesia? Kita tidak usah begitu. Dulu
ketika saya menjadi Kapolri, jumlah penduduk masih 150 juta, jumlah
polisi masih kurang. Sekarang dengan penduduk 183 juta jumlah polisi
170.000. Ini baru dalam soal jumlah, belum kualitasnya, belum keadaan
wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, belum soal sarana.
Karena itu jumlah polisi tahun 2000 harus bertambah karena jumlah
penduduk juga bertambah. Kalau tidak perbandingannya akan semakin
pincang.
Untuk mengatasi kekurangan polisi dibanding jumlah penduduk yang
terus bertambah, saya ciptakan sistem kamtibmas swakarsa, yang masuk
GBHN 1988, pada Pola Repelita V. Sistem keamanan swakarsa diciptakan
karena jumlah polisi kurang. Kurangnya jumlah polisi diimbangi dan
ditutup dengan perlindungan oleh masyarakat sendiri.
Itu yang melatarbelakangi pembentukan satpam di
perusahaan-perusahaan. Di desa, di perkampungan sistem keamanan swakarsa
dilaksanakan lewat siskamling-siskamling. Sistem ini memiliki efek
preventif yang besar. Apakah ini unik Indonesia? Tidak. Di Jepang sudah
lama ada koba-koba.
Ada yang masih beranggapan, polisi cukup bertugas hanya dengan
pentungan. Ya memang orang pikir, polisi hanya cukup dengan pentungan
saja. You mau pilih polisi yang mana? Polisi juga sangat mahal biayanya.
Tidak hanya AU yang punya pesawat terbang yang mahal, atau AL dengan
kapal perang yang mahal.
Di PTIK, saya bentuk PPITK (Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi
Kepolisian). Dengan kemajuan dan perkembangan ekonomi negara ini, polisi
masih terus ketinggalan. Dan menyiapkan polisi, memakan waktu. Harus
direncanakan sejak sekarang. Polri harus punya ahli-ahli dan
kejuruan-kejuruan di bidang operasional (reserse, lalu lintas, sabhara).
Ini pekerjaan raksasa. Perencanaan personel, material, keuangan,
pengawasan, segala macam ini ruwet. Ini harus ada ahlinya. Selain itu
kita juga harus punya ahli dalam peralatan polisi. Ini termasuk
teknologi. Pentungan, helm, radio, HT, senapannya bagaimana. Bagaimana tugas polisi di masa depan?
Berat, saudara. Polisi masa depan bergerak di tengah-tengah kemajuan.
Dan polisi jangan jadi katak di bawah tempurung. Tidak bisa lagi. Polisi
yang bertugas, harus bisa menguasai wilayahnya, kebiasaannya, suku
bangsanya, keadaan ekonominya, wataknya.
Lulusan PTIK itu harus jadi police middle manager. Dia tidak
hanya jadi pemimpin anggotanya, ia juga harus berusaha meningkatkan
diri menjadi pemimpin masyarakat lingkungannya. Jadi harus keluar.
Kapolres misalnya, selain jadi pemimpin anak buahnya, juga harus jadi
pemimpin masyarakat luas di lingkungannya. Mengembangkan diri jadi
pemimpin, tidak gampang. Masyarakat sekarang adalah masyarakat yang
kompleks. Kalau Polri saja tidak bisa mengantisipasi ini, ya susah. Kita
bertugas di tengah-tengah mereka.
Dan kejahatan pasti meningkat kualitasnya. Itu sudah pasti, dan sudah
menjadi hukum alam. Di samping kuantitas, juga kualitasnya. Saya ingin
PTIK menjadi think-tank. Pak Kunarto (Kapolri) minta hal yang sama. Bagaimana pendapat Bapak tentang polisi yang ikut proram MBA?
Saya setuju, terutama yang senior-seniornya. Kapolrinya juga ikut. Tapi
dia menggairahkan yang muda-muda. Kalau Kapolrinya saja mau belajar,
bagaimana dengan perwira- perwira menengah. Saya bilang pada Kapolri,
dampaknya saudara belajar adalah didengar oleh anak buah. Waktu untuk keluarga, kapan?
Waktu untuk keluarga memang kurang. Saya dekat dengan anak-anak, waktu
mereka kecil-kecil. Sekarang semuanya sudah dewasa dan mandiri. Rumah?
Saya tidak pernah mendapat rumah dinas, selama jadi menjabat apa pun
juga. Rumah saya baru saya dapat setelah saya berhenti dari Kapolri.
Saya cari setelah saya berhenti.
Kalau saya mengajar di PTIK, saya bilang agak kasar, “Saya nggak
pernah ambil apa-apa dari republik ini. Saya memberi untuk republik ini.
Kirim ribuan orang ke luar ne- geri semasa menjabat Ketua LAN, Kapolri
dan sebagainya.
Setelah berhenti baru saya mikir diri, mikir rumah, baru mulai
cari-cari rejeki. Nyatanya, tidak kurang juga. Cukup-cukup saja. Rumah
saya, dicicil sampai sekarang. Baru saya beli, beberapa tahun lalu.
“Saya dapat dari apa yang menjadi hak saya”. Waktu jadi menteri, negara
tak punya uang. Seandainya sejarah boleh diulang, apakah Bapak ingin yang lain?
Saya termasuk orang yang beruntung di negara ini. Di zaman Orde Baru
ini. Pangkat baru naik jadi kolonel satu minggu, dapat kehormatan besar,
diangkat jadi menteri. Pangkat naik dari AKBP (Ajun Komisaris Besar
Polisi), yang setara Letkol jadi Komisaris Besar atau Kolonel. Delapan
tahun saya jadi AKBP. Naik pangkat, seminggu kemudian dilantik jadi
menteri.
Menteri-menteri lainnya adalah mayor jenderal semua, maka sebentar
saya dinaikkan pangkat jadi Brigjen oleh Pak Harto. Aneh juga, waktu
kemudian jadi Deputi Kapolri pangkat saya Mayjen, sedangkan waktu jadi
Menteri pangkat saya Brigjen. Waktu saya duta besar, pangkat saya
dinaikkan jadi Letjen. Saya hampir dua tahun jadi Letjen. Saya juga
nggak tanya.
Dalam pidato saya ketika diangkat jadi guru besar, saya bilang, “Saya
orang yang paling berbahagia. Pertama, saya mendapat kesempatan belajar
setinggi-tingginya. PTIK, Universitas Pittsburg, University of Southern
California. Nomor dua, sebagai sarjana administrasi negara, saya dapat
kesempatan memimpin organisasi pemerintahan, departemen dan lembaga
non-departermen, (LAN), kedutaan besar dan angkatan bersenjata. Ketiga,
saya dapat kesempatan memperbaiki aparatur negara republik ini. Saya
dapat kesempatan menerapkan apa yang saya tahu. Kan tidak semua orang
mendapat kesempatan itu?
Saya dikukuhkan sebagai guru besar pada 1982, dan saya masih jadi
Kapolri. Dalam bidang yang saya pelajari, saya diangkat jadi guru besar,
itu kan kehormatan juga. Saya juga pernah menjadi anggota MPRS, DPR-GR
dan DPA. Saya orang yang beruntung di negeri ini. (Pewawancara: Robert Adhi Ksp/Indrawan SM/\Harian KOMPAS, Minggu 28 Juni 1992)
Komentar
Posting Komentar