Almarhum Gus Dur pernah berceloteh, "Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng”. Ternyata di republik sempat muncul sosok-sosok abdi Bhayangkara yang patut diteladani. Di antaranya terdapat nama RS Soekanto, Mohammad Jasin, Anwar Maksum, Kaharoeddin, dan Hoegeng. Sungguh mencegangkan mengetahui kisah-kisah mereka mempertahankan prinsip kejujurannya sendiri.
Sebelumnya, penulis perlu menyampaikan apabila keseluruhan isi dalam tulisan ini dikutip dari berbagai sumber. Beberapa di antaranya berasal dari buku otobiografi (atau semi biografi). Sayangnya, tidak semuanya terarsip ke dalam dokumentasi nasional. Keseluruhan tokoh polisi di sini adalah tokoh polisi yang menjalani masa akhir hidupnya dengan kesederhanaan. Ciri khas dari perilaku yang jauh dari korupsi adalah kesederhanaan dalam gaya hidup. Sayangnya, untuk beberapa tokoh belum memiliki sumber yang dapat menguatkan fakta-fakta atas keadaan yang melatarbelakangi tokoh tersebut. Seluruh tokoh pula merupakan pimpinan tinggi atau pejabat di kepolisian di masanya. Sengaja dipilih dari kalangan perwira atau pimpinan, karena umumnya pimpinan akan menjadi conto dan teladan bagi anak buah maupun generasi sesudahnya.
Sumber: Merdeka.Com (telah diperbaharui)
Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (7 Juni 1908 - 24 Agustus 1993)
Catatan sejarah sering menuliskannya dengan sebutan akrab RS Soekanto, seorang yang dikenal pula sebagai Bapak Kepolisian Republik Indonesia. RS Soekanto lahir di Kampung Sawah, Bogor, tanggal 7 Juni 1908. Dari namanya saja sudah tersirat keturunan ningrat atau tepatnya putera dari seorang priayi yang cukup terpandang. Tidak seperti kebanyakan anak keturunan ningrat, Soekanto lebih memilih untuk masuk ke Sekolah Aspiran Komisaris Polisi. Paska kemerdekaan, Presiden Soekarno memberikan kepercayaan kepada Soekanto untuk segera membentuk lembaga Kepolisian Negara di mana Soekanto sendiri ditunjuk sebagai Kepala Djawatan Kepolisian Negara (sekarang bernama Polri) selama periode 29 September 1945 hingga 14 Desember 1959.
Sumber: Museum Polri (web)
Tidak seperti kebanyakan mantan petinggi polisi, selepas pengunduran dirinya di tahun 1959, Soekanto kembali ke tugas kepolisian. Beliau terlahir sebagai anak orang berada dan terhubung ke jajaran keluar ningrat. Tidak begitu sulit bagi Soekanto apabila mau memanfaatkan gelar ningratnya untuk mencari tambahan pendapatan. Apalagi dengan mengetahui reputasinya sebagai mantan petinggi polisi dan pimpinan polisi pertama yang ditunjuk oleh Soekarno, tentu akan semakin dimudahkan untuk mencari peluang melakukan KKN. Dari sejumlah sumber yang belum bisa diklarifikasikan, di akhir hayatnya, Soekanto hidup sederhana di sebuah rumah yang setara dengan rumah dinas perwira menengah di masa itu. Ada yang menyebutkan rumah tersebut adalah rumah kontrakan, tetapi ada pula yang mengatakan rumah terakhir yang ditempatinya tidak begitu besar.
Sumber: Wikipedia
Mohammad Jasin (1920 - 3 Mei 2012)
Belum lama ini, bangsa Indonesia telah ditinggal pergi oleh salah satu putera terbaiknya, Mohammand Jasin. Beliau dikenal sebagai Bapak Brigade Mobil (Brimob) Polri dan sekaligus menjadi komandan Brimob yang pertama dibentuk pada tahun 1946. Termasuk salah satu petinggi Polri dengan pangkat terakhir Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi. Putera kelahiran Sulawesi ini turut berjasa selama masa transisi kemerdekaan, mulai dari keterlibatannya pada 10 November 1945 hingga perlawanan Agresi Militer Belanda dan penumpasan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung, serta berbagai operasi penumpasan pemberontakan di tanah air. Dari sederet reputasinya, termasuk jabatan yang pernah disandang, Mohammad Jasin ternyata menyimpan sejumlah kisah yang patut untuk diteladani.
Sumber: Kaskus
Kisahnya bermula dan berbarengan dengan Peristiwa 10 November 1945 di mana situasi cukup memanas setelah terjadinya persaingan di antara pucuk pimpinan TKR di Surabaya. Perilaku mereka diibaratkan seperti 'Warlord' yang saling bersaing dengan pimpinan TKR lainnya untuk berebut pengaruh dan kekuasaan. Salah satu di antaranya adalah Mayor Sabaruddin, Komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR). Perilaku Mayor Sabaruddin dianggap telah melampaui batas setelah menculik Mayor Jenderal Mohammad, seorang petinggi TKR di Surabaya. Mayor Sabaruddin tidak hanya melakukan pembasmian terhadap pesaing-pesaingnya, melainkan melakukan perampasan pula, termasuk perampasan atas benda-benda yang seharusnya menjadi milik negara.
Singkat kata, Pimpinan Markas Besar Angkatan Perang, yaitu Jenderal Soedirman menugaskan Inspektur Polisi Jasin untuk melucuti pasukan Sabaruddin dan menangkapnya. Inspektur Polisi Jasin pada masa itu menjabat sebagai Komandan P3 atau Pasukan Polisi Perjuangan yang sekarang ini disebut Brigade Mobil. Setelah mendapatkan kartu perintah dari Jenderal Soedirman, Inspektur Polisi Jasin pun memobilisasi pasukannya di Surabaya untuk menangkap Mayor Sabaruddin. Dalam penangkapan tersebut ditemukan sejumlah empat karung penuh yang berisi emas batangan, perhiasan, dan berlian. Benda-benda tersebut diperkirakan dirampas oleh Sabaruddin dari kamp-kamp tahanan Eropa yang masih tersisa sejak ditinggalkan oleh Jepang. Menurut cerita, tidak ada satupun di antara benda-benda berharga tadi yang dikutip oleh Jasin. Padahal perintah Soedirman hanya meminta untuk melucuti persenjataan dan menangkap komplotan Mayor Sabaruddin, bukan termasuk mengumpulkan barang-barang bukti hasil kejahatan.
Kisah tentang Inspektur Polisi Jasin di Surabaya 1945 di atas disadur berdasarkan buku “Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia” yang ditulis oleh Ridwan Jasin, terbitan Gramedia edisi tahun 2010.
Inspektur Polisi I Anwar Maksoem (1920 - 12 Februari 2009)
Tidak banyak yang mengetahui kiprah, kisah, dan sejarah hidup salah satu putera terbaik asal Sumatera Barat. Anwar Maksoem dikenal kekayaannya tidak bertambah setelah selama 7 tahun lamanya menjabat sebagai Walikota Bukittinggi (1960-1966). Kiprahnya di Kepolisian RI tidak bisa dipandang sebelah mata dalam konteks sejarah kepolisian RI maupun sejarah nasional. Sebelum kemerdekaan RI, Anwar Maksoem bahkan sudah pernah menjabat sebagai Komandan Polisi pada tahun 1943. Kemudian pernah pula menjabat sebagai Camat Militer di Lubukbegalung di tahun 1949, Wakil Direktur SPN Sabang (1951-1953), Wakil Kepala Reserse Kodak III Sumatera Utara, dan Wakil Kepala Polisi di Sibolga (1955-1959) (Padang-Today.Com, Jumat, 13 Februari 2009, 15.43).
Petikan kisah yang diulas oleh Merdeka.Com menyebutkan betapa miris kondisi ekonomi Anwar Maksum setelah tidak lagi menjabat sebagai Walikota. Seorang senior kepolisian, lalu pernah menjabat posisi sebagai pejabat publik, tetapi Anwar Maksoem hidup dalam kekurangan. Kisah tersebut diceritakan oleh anak buahnya yang pernah dimintakan uang untuk membeli rokok. Bisa dibayangkan, seorang inspektur polisi dan senior bisa tidak punya uang untuk hanya membeli sebatang rokok. Ketika itu, Anwar Maksoem meminjam uang ke anak buahnya yang bernama Ahmadsjah yang sehari-hari bertugas sebagai pegawai sipil di Polda Sumbar. Petikan percakapannya dituliskan sebagai berikut (Merdeka.Com, Rabu, 25 September 2012, 13.27).
"Mad ada uang Rp 25? Bapak pinjam dulu," kata Anwar.
Ahmadsjah menyangka bosnya bercanda. Masak seorang perwira, mantan Wali Kota mau pinjam uang Rp 25 untuk beli rokok? "Bapak becanda ya?" balas Ahmad.
Anwar menggeleng. "Tidak, bapak benar-benar tidak punya uang," akunya.
Maka Ahmad pun memberikan pinjaman Rp 25 dengan hati bingung. Tapi Inspektur Anwar cuek saja. Dia menikmati rokoknya dengan nikmat.
Sungguh miris bukan? Selepas tidak menjabat sebagai polisi, harta satu-satunya yang paling berharga mungkin cuma tanda pangkat (balok emas) yang ternyata sudah dijual. Uangnya pun sudah habis untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Kisah ini dicertakan oleh Jenderal Polisi Kaharoedin dalam bukunya “Gubernur di Tengah Pergolakan” terbitan Pustaka Sinar Harapan (1998). Uang Rp 25 di masa itu untuk membeli rokok satu batang mungkin setara dengan nilai Rp 1.000 saat ini. Bisa dibayangkan, seorang mantan petinggi polisi itu bahkan pernah tidak punya uang sepeser pun di kantongnya. Sangat bertolak belakang dengan pernyataan Wakapolri Nana Sukarna yang mengeluh gaji polisi yang kecil (Kompas, Kamis, 11 Oktober 2012, 16.28). Sebagai mantan pejabat daerah tentunya sosok Anwar Maksoem pun bertolak belakang dengan kebanyakan pejabat, bahkan mungkin rata-rata kepala daerah sekarang ini yang hidup di atas kemapanan ekonomi.
Anwar Maksoem sejatinya adalah seorang polisi, abdi Bhayangkara sejati hingga akhir hayatnya. Sangat disayangkan, berita tentang kepulangannya tidak diekspos secara meluas oleh media, bahkan oleh pemerintah pusat di ibukota. Ironisnya, Google tidak menemukan satu pun foto dari Anwar Maksoem. Polri seharusnya memajang tokoh-tokohnya sendiri untuk disebarluaskan ke masyarakat sebagai wujud penganyomannya kepada masyarakat.
Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa (17 Januari 1906 - 1 April 1981)
Satu lagi kisah dari putera Minang (Sumatera Barat) yang layak untuk menjadi teladan tentang karakter kejujuran dan kesederahaan dalam memberantas perilaku korup. Sama halnya dengan Anwar Maksoem, Kaharoedin Datuk Rangkayo Basa pernah pula menjabat sebagai kepala daerah, yaitu Gubernur Sumatera Barat selama periode 1958-1965, serta sekaligus menjadi gubernur pertama di Sumatera Barat. Kiprahnya di kepolisian sudah dimulai sejak menjabat Asisten Demang dan Kepala Kepolisian lokal sebelum masa kemerdekaan di tahun 1926. Kiprah dan jasanya yang tidak bisa diabaikan adalah keteguhan dan keberaniannya ketika menghadapi tekanan dari PRRI Sumatera Barat yang memberontak ke NKRI.
Sumber: Wikipedia
Kisah berikut ini disadur oleh Merdeka.Com (11 September 2012, 06.33) tentang kejadian ketika menerima kotak roti berisi uang. Kaharoedin ditemui oleh rekanan pemprov yang datang mengunjungi kantor Kaharoedin. Dengan sengaja, pengusaha tadi meninggalkan sebuah kotak roti berisi uang. Ternyata setelah diperiksa oleh Kaharoedin, isinya uang. Beliau pun spontan langsung memanggil ajudannya, lalu diucapkan, “Kembalikan uang ini pada pengusaha yang menemui saya tadi. Bilang kalau mau menyumbang bukan sama gubernur, tapi ke jawatan sosial," kata Kaharoeddin tegas. Kisah ini dikutib dari bukunya berjudul “Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, Gubernur di Tengah Pergolakan” yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan tahun 1998.
Ketika menikahkan anaknya, beliau dengan tegas menolak menggunakan fasilitas milik gubernuran. Selama hidupnya, anak-anak dan keluarganya pun tidak ada yang boleh naik mobil dinas untuk keperluan pribadi. Anda bisa bayangkan, para pegawai negeri sekarang ini tidak malu-malu membawa kendaraan dinas (berplat merah) ke luar kota untuk liburan bersama keluarga. Anda bisa melihat, para pejabat publik itu pun tidak sungkan-sungkan menggunakan kendaraan dinas plat merah untuk menghadiri pertemuan parpol yang notabene masih termasuk urusan pribadi.
Ketika pernikahan anaknya itu pula, Kaharoedin meminta untuk tidak mengundang kalangan pengusaha. Beliau sangat paham celah-celah masuk seperti ini akan menjebak dirinya. Itu berarti tamu undangannya cuma kalangan keluarga, kerabat, dan teman-teman di kepolisian. Acara pernikahannya itu pun sangat sederhana dengan membatasi tamu untuk menyesuaikan biaya pernikahan.
Sosok Kaharoedin memang dikenal cukup keras dan tidak mengenal sedikitpun kompromi apalagi sikap transaksional. Selama menjabat di Kepolisian, Kaharoedin melarang keras polisi berpakaian dinas nongkrong di kafe ataupun restoran, serta tempat-tempat umum. Menurut Kaharoeddin, hal ini bisa disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh pihak tertentu. Karena itu pula Mariah, istri Kaharoeddin, berkisah dirinya sering mengantarkan makan siang untuk makanan suaminya di kantor. Walau sudah menjadi istri gubernur, Mariah tetap mencucikan pakaian dan memasak untuk suaminya. Sangat bertolak belakang dengan perilaku kebanyakan polisi di masa sekarang yang tidak malu-malu mendapatkan voucher atau sekedar makan gratis, bahkan di Singapura beserta keluarganya.
Ada pula dikisahkan tentang amanah untuk mengelola uang negara yang dititipkan kepadanya di masa pergolakan politik di Sumatera Barat. Ketika itu, menjelang akhir 1950, situasi politik di Sumatera Barat semakin memanas, hingga mencapai puncaknya setelah sejumlah tokoh masyarakat, polisi, dan militer bergabung untuk mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pergolakan politik tersebut tidak lain dipicu oleh ketidakpuasan terhadap sikap politik Presiden Soekarno terhadap sejumlah tokoh-tokoh asal Sumatera Barat, terutama yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin Prawiranegara. Sekalipun demikian, Kaharoeddin yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Polisi Sumatera Tengah tetap tidak bergeming untuk pertahankan loyalitasnya kepada NKRI.
Selaku Komandan Polisi Sumatera Tengah, Kaharoedin mendapatkan kunjungan dari Wakil Komandan Brimob Kepolisian Negara, Kombes Sutjipto Judodihardjo. Kedatangannya tidak lain untuk menyerahkan sejumlah uang operasional untuk menghadapi situasi genting di Sumatera Tengah sebesar Rp 5 juta. Sesuai dengan amanah yang diberikan, Kaharoedin pun membagikan secara merata ke seluruh kepolisian tingkat Kabupaten/Kota serta kecamatan, hingga akhirnya tersisa Rp 3,2 juta. Sekedar informasi, gaji Kaharoedin sebagai Komandan Polisi Sumatera Tengah (setara dengan Kapolda) di masa itu sebesar Rp 1.230. Artinya, sisa uang Rp 3,2 juta tadi setara dengan gaji 2.601 kapolda. Apabila menggunakan acuan gaji kapolda saat ini sebesar Rp 10 juta, maka sisa uang tadi setara dengan uang sebanyak Rp 26,01 miliar. Mengetahui masih ada sisa uang, Kaharoedin bertekad untuk menjaganya sebaik mungkin, serta hanya digunakan untuk keperluan operasional yang sangat mendesak.
Di masa pergolakan tadi, Kaharoedin bergabung dengan pasukan TNI-AD yang masih loyal dengan NKRI. Kekuatan personila yang tersisa dari Kepolisian Negara dan TNI di Sumatera Barat tidak lagi mampu membendung kekuatan PRRI yang ditopang persenjataan yang lebih moderen. Satu ketika, sempat seorang komandan pasukan TNI-AD hendak meminjam uang untuk keperluan pasukannya, tetapi tidak dikabulkan. Sikapnya yang keras tadi membuatnya cukup was-was, sehingga Kaharoedin meminta tolong kepada istrinya, Mariah untuk menjaga uang sebanyak Rp 3,2 juta. Uang itu pun tetap utuh ketika Kaharoedin mengambilnya kembali. Setelah Sumatera Tengah dan Bukittinggi berhasil dikuasai oleh pasukan republik, uang sisa tadi kemudian diserahkan kepada penggantinya, Kombes Soewarno, lengkap dengan segala tanda terima atas penggunaannya.
Agar pembaca mengetahui, dalam hukum perang tidak ada dikenal istilah pertanggungjawaban penggunaan dana. Apabila komandan di atasnya telah menitipkan dana sebesar sekian, maka angka sekian tadi yang akan dipertanggungjawabkan melalui operasi yang didanai. Bandingkan dengan perilaku perwira tinggi kepolisian dan militer yang cenderung menghambur-hamburkan uang untuk pembelian alat, senjata, ataupun operasional. Mereka lebih senang me-markup sebesar-besarnya, ketimbang nanti ketahuan akan meminta tambahan. Sungguh bertolak belakang dengan keteladanan yang diperlihatkan oleh Kaharoedin.
Kaharoedin dikenal dengan prinsipnya, “Datang dengan satu tas, pulang juga dengan satu tas”. Prinsip tersebut diterapkan benar selama hidupnya menjabat di segala lini jabatan kepolisian, hingga akhirnya menjadi Gubernur Sumatera Barat. Dalam bukunya disebutkan, jabatan bukan untuk memperkaya diri. Maka Kaharoeddin pun mengembalikan seluruh fasilitasnya. Termasuk perabotan rumah dinasnya. Termasuk mobil dinas berplat BA 1. Kaharoeddin memang tegas memisahkan urusan dinas dan urusan pribadi. Hampir tak pernah dia menggunakan fasilitas dinas untuk keperluan pribadi.
Hingga akhir hayatnya, Kaharoeddin tak punya rumah pribadi. Dari dulu, Kaharoeddin menempati rumah dinas polisi di Jl Tan Malaka, Kota Padang. Saat menjabat gubernur, Kaharoeddin memilih tetap tinggal di rumah yang tidak seberapa besar itu. Ketika hendak diberi rumah oleh Pemprov, dia menolak mentah-mentah. Begitu juga ketika polisi menawarinya sebuah rumah. Kembali dia menolak. Hal itu terjadi berulang-ulang. Kaharoeddin tetap memilih tinggal di rumah hak pakai milik Polri. Sampai dia meninggal, Jenderal dan mantan gubernur ini tak punya rumah pribadi. Karena kejujuran dan kesederhanaannya Kaharoeddin yang menjabat gubernur Sumbar tujuh tahun ini tak punya cukup uang untuk beli rumah. Beliau sempat punya sepetak lahan (tanah), tetapi sudah habis dijual untuk mengongkosi keperluan haji bersama istrinya.
Hoegeng Imam Santoso (9 Mei 1968 - 2 Oktober 1971)
Nampaknya masyarakat Indonesia lebih akrab dengan nama Hoegeng, ketimbang nama-nama tokoh yang penulis sebutkan sebelumnya. Gus Dur (alm.) sendiri sampai sempat melontarkan celoteh, "Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng." Kiprah Hoengeng di Kepolisian tidak pula bisa dipandang sebelah mata. Dirinya hanya di bawah senioritas dari RS Soekanto. Hoegeng pula dikenal sebagai sosok pembaharu Kepolisian RI setelah dirinya diberikan kepercayaan menjabat Kapolri selama periode 9 Mei 1968 hingga 2 Oktober 1971. Putera kelahiran Pekalongan (Jawa Tengah) tersebut termasuk salah satu putera bangsa yang pernah mengenyam Kursus Orientasi di Provost Marshall General School pada Military Police School Port, Gordon, Georgia, Amerika Serikat di tahun 1950. Di masa Hoegeng ini pula jabatan Kepala Kepolisian Negara berganti menjadi Kepala Kepolisian RI atau Kapolri.
Kisah mengenai keteladanan Hoegeng selama menjabat di Kepolisian hingga akhir hayatnya dituliskan ke dalam buku, “Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyamanan” yang ditulis oleh Abrar Yusra dan Ramadhan KH (diterbitkan Pustaka Sinar Harapan). Satu ketika, seseorang sempat menyindirnya dengan kabar burung (gosip), apabila Hoegeng punya Mercy baru. Hoegeng dengan tegas langsung bereaksi, “Jangan macam-macam. Saya tak punya Mercedez, bahkan tak punya mobil pribadi. Tak mampu beli!”, tegas Hoegeng. Faktanya memang demikian, Hoegeng hingga akhir hayatnya bahkan tidak memiliki mobil pribadi. Jabatan bukanlah menjadi kesempatan untuk menambahkan pundi-pundi kekayaan, tetapi menjadi sebuah pengabdian. Sungguh bertolak belakang dengan perwira-perwira polisi saat ini yang sudah memiliki sendiri mobil pribadi, bahkan mobil mewah dengan jumlah lebih dari satu unit.
Ibu Merry Roeslani, istri Hoegeng menjadi saksi hidup betapa keteguhan suaminya untuk meminta menutup toko bunga miliknya. Istrinya memiliki usaha sampingan untuk menutup kekurangan pendapatan suaminya yang pas-pasan di masa itu. Ketika itu, Hoegeng diberikan amanah untuk menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (sekarang disebut Dirjen Imigrasi). Sehari sebelum dilantik (di tahun 1960), Hoegeng meminta Merry menutup toko bunga tersebut. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan istrinya. Apa hubungannya dilantik menjadi kepala jawatan imigrasi dengan menutup toko bunga. "Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya," jelas Hoegeng. Istri Hoegeng yang selalu mendukung suaminya untuk hidup jujur dan bersih memahami maksud permintaan Hoegeng. Dia rela menutup toko bunga yang sudah maju dan besar itu.
Sejak awal kemerdekaan, jawatan imigrasi dikenal sebagai sarang korupsi dan penyelundupan. Itulah alasan Presiden Soekarno mengkaryakan Hoegeng di posisi tersebut. Benar saja, Hoegeng tak memanfaatkan jabatannya untuk mengeruk kekayaan. Padahal imigrasi dikenal sebagai 'lahan basah' bagi para PNS untuk memperkaya diri. Semasa dikaryakan sebagai kepala jawatan Imigrasi, Hoegeng masih tetap mengenakan seragam polisi. Dia hanya mau mengambil gajinya dari kepolisian. Gaji dan tunjangan sebagai kepala jawatan imigrasi tak disentuh. Padahal, kondisi ekonomi di masa itu merupakan masa-masa sulit.
Mengenai kejujurannya, Presiden Soekarno pun mengakuinya. Bangsa Indonesia di masa itu cukup beruntung memiliki putera bangsa seperti Hoegeng Imam Santoso. Pada tahu 1965, Hoegeng berhenti menjabat kepala jawatan imigrasi. Dia diangkat menjadi menteri iuran negara (kini disebut bea dan cukai). Di sinilah Hoegeng membongkar kasus penyelundupan tekstil besar-besaran. Tahun 1966, setelah bertugas di luar Polri selama enam tahun, Hoegeng kembali ke Korps Bhayangkara. Dia menjabat Wakapolri yang pada saat itu bernama Deputi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Tahun 1968, Hoegeng dilantik menjadi Kapolri. Lagi-lagi dia masih mempertahankan gaya sederhananya. Hoegeng menolak mobil dinas sedan mewah dan memilih jip.
Puncak karirinya sebagai Kapolri di tahun 1968 dimanfaatkan dengan baik untuk membenahi institusi kepolisian RI. Istilah 'rekening gendut' di masa itu sudah ada, bahkan sudah ada sejak awal organisasi kepolisian berdiri di republik ini. Hoegeng benar-benar menjalankan tugasnya sebagai Kapolri secara profesional, tanpa pandang bulu. Terutama di institusi kepolisian yang dipimpinnya saat itu. Segala aturan diperketat, hingga memperkecil ruang gerak aparat kepolisian untuk mencari celah melakukan praktik penyalahgunaan jabatan dan kewenangan. Mirip sekali dengan karakter Kaharoedin yang dikenal cukup kuat dan keras terhadap pendiriannya.
Hoegeng tidak lama menjabat Kapolri. Ada rumor, beliau diberhentikan secara hormat, karena sering berurusan (mengganggu) dengan kekuasaan. Salah satunya yang tak luput dari pengamatan Hoegeng adalah kasus “Sum Kuning” di Yogyakarta yang nyaris saja menyeret pelaku perkosaan yang dilakukan oleh anak-anak pejabat dan petinggi keraton di Yogyakarta. Namun, begitu Hoegeng tidak lagi menjabat sebagai Kapolri, kasus tersebut hilang ditelan bumi. Tetapi kasus yang membuatnya diberhentikan adalah ketika Hoegeng terus menyeret kasus penyelundupan mobil mewah melalui Pangkalan TNI-AU di Halim Perdana Kusuma yang dilakukan oleh Robby Cahyadi. Kasus ini kemudian bergulir semakin panjang hingga akhirnya menyeret nama keluarga Cendana (Socio Politica). Sekalipun demikian, Hoegeng tidak bergeming, serta tetap menunjukkan integritasnya. Hoegeng sempat nyaris dikriminalisasikan karena kasus proyek pabrik helm, karena kebijakannya yang ketika itu mewajibkan pengendara bermotor roda dua menggunakan helm. Hoegeng sempat ditawari oleh Presiden Soeharto jabatan dubes di Eropa, tetapi Hoegeng dengan tegas menolaknya.
Selepas tidak menjabat lagi sebagai Kapolri, Hoegeng masih terlihat aktif memberikan perhatian kepada Polri. Sebagai sosok polisi yang paling dihormati di masa itu, Hoegeng seringkali mendapati laporan dari tokoh masyarakat tentang perilaku personil kepolisian. Puncaknya di tahun 1977, Hoegeng mendapat informasi dari seorang perwira menengah polisi berdinas sebagai provos tentang dugaan tindakan korupsi sejumlah perwira tinggi polisi di bagian jawatan keuangan. Setelah melakukan investigasi, Hoegeng segera menulis sebuah memo pribadi kepada Kapolri saat itu, Jenderal Polisi Widodo Budidarmo, isinya, Hoegeng mengkritik habis-habisan perilaku polisi bergaya hidup mewah. Dalam memo tersebut dituliskan:
"Wid, sekarang ini kok polisi sudah kaya-kaya, sampai-sampai sudah ada yang punya rumah mewah di Kemang. Dari mana duitnya itu," tanya Hoegeng kepada Widodo dalam memo.
Karena tidak mendapatkan respon baik dari kapolri, Hoegeng mengambil langkah tegas untuk membongkar kasus itu. Hoegeng sengaja membocorkan dugaan korupsi di jawatan keuangan Polri itu kepada beberapa media. Hasilnya, tidak lama kemudian meledaklah kasus dugaan korupsi mencapai Rp 6 miliar itu di surat kabar nasional. Ibarat bola salju yang terus menggelinding, hingga akhirnya mendapatkan tindak lanjut dari penegak hukum (Merdeka.Com, Minggu, 14 Oktober 2012, 13.58).
Kisah mengenai Hoegeng sempat diangkat ke acara Kick Andy. Ketika itu, Andy Noya menghadirkan istrinya, ibu Merry dan puteranya. Mereka mengingat-ingat kembali betapa keteladanan ayahnya yang sangat sulit ditemukan pada kepolisian saat ini. Misalnya saja, puteranya pernah berkeinginan untuk masuk ke Akabri Udara. Cita-citanya sejak kecil yang diinspirasikan oleh pilot-pilot pemburu di masa lalu. Mendengar keinginan anaknya, Hoegeng tidak merespon. Sampai akhirnya, Hoegeng memberikan pilihan yang membuat anaknya sulit untuk menolak. Demi menjaga reputasi ayahnya, anaknya kemudian memilih untuk tidak mendaftarkan diri ke Akabari Bagian Udara (sekarang Akademi Angkatan Udara). Tentu saja, anaknya hampir bisa dipastikan akan diterima, tetapi bukan karena dirinya, melainkan karena ayahnya. Sebenarnya tidak ada larangan, bahkan akademi angkatan bersenjata memang memberikan jatah untuk anak-anak jenderal untuk masuk ke militer.
Penutup
Sesungguhnya masih teramat panjang kisah-kisah yang belum bisa dituliskan pada posting di sini. Butuh buku besar untuk mendokumentasikan keteladanan mereka para abdi Bhayangkara. Di masa mereka belum ada aturan hukum yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana korupsi seperti sekarang ini. Terkait dengan sosialisasi tentang implementasi pendidikan anti korupsi, sangat disayangkan pihak Polri justru tidak memberikan referensi yang seluas-luasnya kepada masyarakat. Seperti yang penuliskan sampaikan di sini, bagaimana mungkin seorang tokoh seperti Anwar Maksoem tidak ditemukan fotonya di mesin pencari paling terkenal di dunia (Google). Apabila KPK menerbitkan buku tentang pemahaman tindak pidana korupsi, pihak Kepolisian RI bisa menerbitkan biografi tentang keteladanan tokoh-tokohnya sendiri yang patut untuk diteladani.
Memang bisa untuk dipahami mengenai masih rendahnya gaji personil Kepolisian di Indonesia dibandingkan dengan kebanyakan negara-negara lain. IPW bahkan sempat merekomendasikan agar gaji polisi disesuaikan dengan standarisasi PBB (Gatra, Senin, 2 Juli 2012, 13.23). Bahkan Wakapolri Nana Sukarna sendiri sempat melontarkan keluhan tentang gaji polisi dan perilaku korup. IPW dan Polri mungkin mesti berkaca dengan sejarah Kepolisian yang tumbuh dan berkembang di masa-masa yang sulit, tetapi masih mampu memunculkan tokoh-tokoh yang begitu kuat integritasnya. Persoalannya yang sebelumnya sempat disindir oleh Hoegeng terdapat pada gaya hidup dari personil kepolisian. Memang benar, gaji polisi di Indonesia mungkin tidak ideal apabila dibandingkan dengan gaji polisi di negara-negara tetangga. Tetapi patut dicermati pula, bahwa negara saat ini sedang mengalami kesulitan dalam pengelolaan APBN. Satu-satunya cara untuk bisa menyelamatkan APBN dan kemudian akan meningkatkan kesejahteraan Polri adalah dengan memperkuat integritas individunya sendiri.
Sehubungan dengan telah diterapkannya pendidikan anti korupsi di sekolah dan perguruan tinggi, pihak Kemendikbud RI sebaiknya menggali kembali tokoh-tokoh yang patut untuk diteladani di negeri ini. Pendidikan anti korupsi bukan semata membicarakan tentang pola tindak pidana korupsi dan pencegahannya, melainkan berisikan pula muatan pendidikan moral (karakter).
Yogyakarta, 14 Maret 2013
Sebelumnya, penulis perlu menyampaikan apabila keseluruhan isi dalam tulisan ini dikutip dari berbagai sumber. Beberapa di antaranya berasal dari buku otobiografi (atau semi biografi). Sayangnya, tidak semuanya terarsip ke dalam dokumentasi nasional. Keseluruhan tokoh polisi di sini adalah tokoh polisi yang menjalani masa akhir hidupnya dengan kesederhanaan. Ciri khas dari perilaku yang jauh dari korupsi adalah kesederhanaan dalam gaya hidup. Sayangnya, untuk beberapa tokoh belum memiliki sumber yang dapat menguatkan fakta-fakta atas keadaan yang melatarbelakangi tokoh tersebut. Seluruh tokoh pula merupakan pimpinan tinggi atau pejabat di kepolisian di masanya. Sengaja dipilih dari kalangan perwira atau pimpinan, karena umumnya pimpinan akan menjadi conto dan teladan bagi anak buah maupun generasi sesudahnya.
Sumber: Merdeka.Com (telah diperbaharui)
Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo (7 Juni 1908 - 24 Agustus 1993)
Catatan sejarah sering menuliskannya dengan sebutan akrab RS Soekanto, seorang yang dikenal pula sebagai Bapak Kepolisian Republik Indonesia. RS Soekanto lahir di Kampung Sawah, Bogor, tanggal 7 Juni 1908. Dari namanya saja sudah tersirat keturunan ningrat atau tepatnya putera dari seorang priayi yang cukup terpandang. Tidak seperti kebanyakan anak keturunan ningrat, Soekanto lebih memilih untuk masuk ke Sekolah Aspiran Komisaris Polisi. Paska kemerdekaan, Presiden Soekarno memberikan kepercayaan kepada Soekanto untuk segera membentuk lembaga Kepolisian Negara di mana Soekanto sendiri ditunjuk sebagai Kepala Djawatan Kepolisian Negara (sekarang bernama Polri) selama periode 29 September 1945 hingga 14 Desember 1959.
Sumber: Museum Polri (web)
Tidak seperti kebanyakan mantan petinggi polisi, selepas pengunduran dirinya di tahun 1959, Soekanto kembali ke tugas kepolisian. Beliau terlahir sebagai anak orang berada dan terhubung ke jajaran keluar ningrat. Tidak begitu sulit bagi Soekanto apabila mau memanfaatkan gelar ningratnya untuk mencari tambahan pendapatan. Apalagi dengan mengetahui reputasinya sebagai mantan petinggi polisi dan pimpinan polisi pertama yang ditunjuk oleh Soekarno, tentu akan semakin dimudahkan untuk mencari peluang melakukan KKN. Dari sejumlah sumber yang belum bisa diklarifikasikan, di akhir hayatnya, Soekanto hidup sederhana di sebuah rumah yang setara dengan rumah dinas perwira menengah di masa itu. Ada yang menyebutkan rumah tersebut adalah rumah kontrakan, tetapi ada pula yang mengatakan rumah terakhir yang ditempatinya tidak begitu besar.
Sumber: Wikipedia
Mohammad Jasin (1920 - 3 Mei 2012)
Belum lama ini, bangsa Indonesia telah ditinggal pergi oleh salah satu putera terbaiknya, Mohammand Jasin. Beliau dikenal sebagai Bapak Brigade Mobil (Brimob) Polri dan sekaligus menjadi komandan Brimob yang pertama dibentuk pada tahun 1946. Termasuk salah satu petinggi Polri dengan pangkat terakhir Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi. Putera kelahiran Sulawesi ini turut berjasa selama masa transisi kemerdekaan, mulai dari keterlibatannya pada 10 November 1945 hingga perlawanan Agresi Militer Belanda dan penumpasan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung, serta berbagai operasi penumpasan pemberontakan di tanah air. Dari sederet reputasinya, termasuk jabatan yang pernah disandang, Mohammad Jasin ternyata menyimpan sejumlah kisah yang patut untuk diteladani.
Sumber: Kaskus
Kisahnya bermula dan berbarengan dengan Peristiwa 10 November 1945 di mana situasi cukup memanas setelah terjadinya persaingan di antara pucuk pimpinan TKR di Surabaya. Perilaku mereka diibaratkan seperti 'Warlord' yang saling bersaing dengan pimpinan TKR lainnya untuk berebut pengaruh dan kekuasaan. Salah satu di antaranya adalah Mayor Sabaruddin, Komandan Polisi Tentara Keamanan Rakyat (PTKR). Perilaku Mayor Sabaruddin dianggap telah melampaui batas setelah menculik Mayor Jenderal Mohammad, seorang petinggi TKR di Surabaya. Mayor Sabaruddin tidak hanya melakukan pembasmian terhadap pesaing-pesaingnya, melainkan melakukan perampasan pula, termasuk perampasan atas benda-benda yang seharusnya menjadi milik negara.
Singkat kata, Pimpinan Markas Besar Angkatan Perang, yaitu Jenderal Soedirman menugaskan Inspektur Polisi Jasin untuk melucuti pasukan Sabaruddin dan menangkapnya. Inspektur Polisi Jasin pada masa itu menjabat sebagai Komandan P3 atau Pasukan Polisi Perjuangan yang sekarang ini disebut Brigade Mobil. Setelah mendapatkan kartu perintah dari Jenderal Soedirman, Inspektur Polisi Jasin pun memobilisasi pasukannya di Surabaya untuk menangkap Mayor Sabaruddin. Dalam penangkapan tersebut ditemukan sejumlah empat karung penuh yang berisi emas batangan, perhiasan, dan berlian. Benda-benda tersebut diperkirakan dirampas oleh Sabaruddin dari kamp-kamp tahanan Eropa yang masih tersisa sejak ditinggalkan oleh Jepang. Menurut cerita, tidak ada satupun di antara benda-benda berharga tadi yang dikutip oleh Jasin. Padahal perintah Soedirman hanya meminta untuk melucuti persenjataan dan menangkap komplotan Mayor Sabaruddin, bukan termasuk mengumpulkan barang-barang bukti hasil kejahatan.
Kisah tentang Inspektur Polisi Jasin di Surabaya 1945 di atas disadur berdasarkan buku “Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang: Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia” yang ditulis oleh Ridwan Jasin, terbitan Gramedia edisi tahun 2010.
Inspektur Polisi I Anwar Maksoem (1920 - 12 Februari 2009)
Tidak banyak yang mengetahui kiprah, kisah, dan sejarah hidup salah satu putera terbaik asal Sumatera Barat. Anwar Maksoem dikenal kekayaannya tidak bertambah setelah selama 7 tahun lamanya menjabat sebagai Walikota Bukittinggi (1960-1966). Kiprahnya di Kepolisian RI tidak bisa dipandang sebelah mata dalam konteks sejarah kepolisian RI maupun sejarah nasional. Sebelum kemerdekaan RI, Anwar Maksoem bahkan sudah pernah menjabat sebagai Komandan Polisi pada tahun 1943. Kemudian pernah pula menjabat sebagai Camat Militer di Lubukbegalung di tahun 1949, Wakil Direktur SPN Sabang (1951-1953), Wakil Kepala Reserse Kodak III Sumatera Utara, dan Wakil Kepala Polisi di Sibolga (1955-1959) (Padang-Today.Com, Jumat, 13 Februari 2009, 15.43).
Petikan kisah yang diulas oleh Merdeka.Com menyebutkan betapa miris kondisi ekonomi Anwar Maksum setelah tidak lagi menjabat sebagai Walikota. Seorang senior kepolisian, lalu pernah menjabat posisi sebagai pejabat publik, tetapi Anwar Maksoem hidup dalam kekurangan. Kisah tersebut diceritakan oleh anak buahnya yang pernah dimintakan uang untuk membeli rokok. Bisa dibayangkan, seorang inspektur polisi dan senior bisa tidak punya uang untuk hanya membeli sebatang rokok. Ketika itu, Anwar Maksoem meminjam uang ke anak buahnya yang bernama Ahmadsjah yang sehari-hari bertugas sebagai pegawai sipil di Polda Sumbar. Petikan percakapannya dituliskan sebagai berikut (Merdeka.Com, Rabu, 25 September 2012, 13.27).
"Mad ada uang Rp 25? Bapak pinjam dulu," kata Anwar.
Ahmadsjah menyangka bosnya bercanda. Masak seorang perwira, mantan Wali Kota mau pinjam uang Rp 25 untuk beli rokok? "Bapak becanda ya?" balas Ahmad.
Anwar menggeleng. "Tidak, bapak benar-benar tidak punya uang," akunya.
Maka Ahmad pun memberikan pinjaman Rp 25 dengan hati bingung. Tapi Inspektur Anwar cuek saja. Dia menikmati rokoknya dengan nikmat.
Sungguh miris bukan? Selepas tidak menjabat sebagai polisi, harta satu-satunya yang paling berharga mungkin cuma tanda pangkat (balok emas) yang ternyata sudah dijual. Uangnya pun sudah habis untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Kisah ini dicertakan oleh Jenderal Polisi Kaharoedin dalam bukunya “Gubernur di Tengah Pergolakan” terbitan Pustaka Sinar Harapan (1998). Uang Rp 25 di masa itu untuk membeli rokok satu batang mungkin setara dengan nilai Rp 1.000 saat ini. Bisa dibayangkan, seorang mantan petinggi polisi itu bahkan pernah tidak punya uang sepeser pun di kantongnya. Sangat bertolak belakang dengan pernyataan Wakapolri Nana Sukarna yang mengeluh gaji polisi yang kecil (Kompas, Kamis, 11 Oktober 2012, 16.28). Sebagai mantan pejabat daerah tentunya sosok Anwar Maksoem pun bertolak belakang dengan kebanyakan pejabat, bahkan mungkin rata-rata kepala daerah sekarang ini yang hidup di atas kemapanan ekonomi.
Anwar Maksoem sejatinya adalah seorang polisi, abdi Bhayangkara sejati hingga akhir hayatnya. Sangat disayangkan, berita tentang kepulangannya tidak diekspos secara meluas oleh media, bahkan oleh pemerintah pusat di ibukota. Ironisnya, Google tidak menemukan satu pun foto dari Anwar Maksoem. Polri seharusnya memajang tokoh-tokohnya sendiri untuk disebarluaskan ke masyarakat sebagai wujud penganyomannya kepada masyarakat.
Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa (17 Januari 1906 - 1 April 1981)
Satu lagi kisah dari putera Minang (Sumatera Barat) yang layak untuk menjadi teladan tentang karakter kejujuran dan kesederahaan dalam memberantas perilaku korup. Sama halnya dengan Anwar Maksoem, Kaharoedin Datuk Rangkayo Basa pernah pula menjabat sebagai kepala daerah, yaitu Gubernur Sumatera Barat selama periode 1958-1965, serta sekaligus menjadi gubernur pertama di Sumatera Barat. Kiprahnya di kepolisian sudah dimulai sejak menjabat Asisten Demang dan Kepala Kepolisian lokal sebelum masa kemerdekaan di tahun 1926. Kiprah dan jasanya yang tidak bisa diabaikan adalah keteguhan dan keberaniannya ketika menghadapi tekanan dari PRRI Sumatera Barat yang memberontak ke NKRI.
Sumber: Wikipedia
Kisah berikut ini disadur oleh Merdeka.Com (11 September 2012, 06.33) tentang kejadian ketika menerima kotak roti berisi uang. Kaharoedin ditemui oleh rekanan pemprov yang datang mengunjungi kantor Kaharoedin. Dengan sengaja, pengusaha tadi meninggalkan sebuah kotak roti berisi uang. Ternyata setelah diperiksa oleh Kaharoedin, isinya uang. Beliau pun spontan langsung memanggil ajudannya, lalu diucapkan, “Kembalikan uang ini pada pengusaha yang menemui saya tadi. Bilang kalau mau menyumbang bukan sama gubernur, tapi ke jawatan sosial," kata Kaharoeddin tegas. Kisah ini dikutib dari bukunya berjudul “Brigadir Jenderal Polisi Kaharoeddin Datuk Rangkayo Basa, Gubernur di Tengah Pergolakan” yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan tahun 1998.
Ketika menikahkan anaknya, beliau dengan tegas menolak menggunakan fasilitas milik gubernuran. Selama hidupnya, anak-anak dan keluarganya pun tidak ada yang boleh naik mobil dinas untuk keperluan pribadi. Anda bisa bayangkan, para pegawai negeri sekarang ini tidak malu-malu membawa kendaraan dinas (berplat merah) ke luar kota untuk liburan bersama keluarga. Anda bisa melihat, para pejabat publik itu pun tidak sungkan-sungkan menggunakan kendaraan dinas plat merah untuk menghadiri pertemuan parpol yang notabene masih termasuk urusan pribadi.
Ketika pernikahan anaknya itu pula, Kaharoedin meminta untuk tidak mengundang kalangan pengusaha. Beliau sangat paham celah-celah masuk seperti ini akan menjebak dirinya. Itu berarti tamu undangannya cuma kalangan keluarga, kerabat, dan teman-teman di kepolisian. Acara pernikahannya itu pun sangat sederhana dengan membatasi tamu untuk menyesuaikan biaya pernikahan.
Sosok Kaharoedin memang dikenal cukup keras dan tidak mengenal sedikitpun kompromi apalagi sikap transaksional. Selama menjabat di Kepolisian, Kaharoedin melarang keras polisi berpakaian dinas nongkrong di kafe ataupun restoran, serta tempat-tempat umum. Menurut Kaharoeddin, hal ini bisa disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh pihak tertentu. Karena itu pula Mariah, istri Kaharoeddin, berkisah dirinya sering mengantarkan makan siang untuk makanan suaminya di kantor. Walau sudah menjadi istri gubernur, Mariah tetap mencucikan pakaian dan memasak untuk suaminya. Sangat bertolak belakang dengan perilaku kebanyakan polisi di masa sekarang yang tidak malu-malu mendapatkan voucher atau sekedar makan gratis, bahkan di Singapura beserta keluarganya.
Ada pula dikisahkan tentang amanah untuk mengelola uang negara yang dititipkan kepadanya di masa pergolakan politik di Sumatera Barat. Ketika itu, menjelang akhir 1950, situasi politik di Sumatera Barat semakin memanas, hingga mencapai puncaknya setelah sejumlah tokoh masyarakat, polisi, dan militer bergabung untuk mendirikan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pergolakan politik tersebut tidak lain dipicu oleh ketidakpuasan terhadap sikap politik Presiden Soekarno terhadap sejumlah tokoh-tokoh asal Sumatera Barat, terutama yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin Prawiranegara. Sekalipun demikian, Kaharoeddin yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Polisi Sumatera Tengah tetap tidak bergeming untuk pertahankan loyalitasnya kepada NKRI.
Selaku Komandan Polisi Sumatera Tengah, Kaharoedin mendapatkan kunjungan dari Wakil Komandan Brimob Kepolisian Negara, Kombes Sutjipto Judodihardjo. Kedatangannya tidak lain untuk menyerahkan sejumlah uang operasional untuk menghadapi situasi genting di Sumatera Tengah sebesar Rp 5 juta. Sesuai dengan amanah yang diberikan, Kaharoedin pun membagikan secara merata ke seluruh kepolisian tingkat Kabupaten/Kota serta kecamatan, hingga akhirnya tersisa Rp 3,2 juta. Sekedar informasi, gaji Kaharoedin sebagai Komandan Polisi Sumatera Tengah (setara dengan Kapolda) di masa itu sebesar Rp 1.230. Artinya, sisa uang Rp 3,2 juta tadi setara dengan gaji 2.601 kapolda. Apabila menggunakan acuan gaji kapolda saat ini sebesar Rp 10 juta, maka sisa uang tadi setara dengan uang sebanyak Rp 26,01 miliar. Mengetahui masih ada sisa uang, Kaharoedin bertekad untuk menjaganya sebaik mungkin, serta hanya digunakan untuk keperluan operasional yang sangat mendesak.
Di masa pergolakan tadi, Kaharoedin bergabung dengan pasukan TNI-AD yang masih loyal dengan NKRI. Kekuatan personila yang tersisa dari Kepolisian Negara dan TNI di Sumatera Barat tidak lagi mampu membendung kekuatan PRRI yang ditopang persenjataan yang lebih moderen. Satu ketika, sempat seorang komandan pasukan TNI-AD hendak meminjam uang untuk keperluan pasukannya, tetapi tidak dikabulkan. Sikapnya yang keras tadi membuatnya cukup was-was, sehingga Kaharoedin meminta tolong kepada istrinya, Mariah untuk menjaga uang sebanyak Rp 3,2 juta. Uang itu pun tetap utuh ketika Kaharoedin mengambilnya kembali. Setelah Sumatera Tengah dan Bukittinggi berhasil dikuasai oleh pasukan republik, uang sisa tadi kemudian diserahkan kepada penggantinya, Kombes Soewarno, lengkap dengan segala tanda terima atas penggunaannya.
Agar pembaca mengetahui, dalam hukum perang tidak ada dikenal istilah pertanggungjawaban penggunaan dana. Apabila komandan di atasnya telah menitipkan dana sebesar sekian, maka angka sekian tadi yang akan dipertanggungjawabkan melalui operasi yang didanai. Bandingkan dengan perilaku perwira tinggi kepolisian dan militer yang cenderung menghambur-hamburkan uang untuk pembelian alat, senjata, ataupun operasional. Mereka lebih senang me-markup sebesar-besarnya, ketimbang nanti ketahuan akan meminta tambahan. Sungguh bertolak belakang dengan keteladanan yang diperlihatkan oleh Kaharoedin.
Kaharoedin dikenal dengan prinsipnya, “Datang dengan satu tas, pulang juga dengan satu tas”. Prinsip tersebut diterapkan benar selama hidupnya menjabat di segala lini jabatan kepolisian, hingga akhirnya menjadi Gubernur Sumatera Barat. Dalam bukunya disebutkan, jabatan bukan untuk memperkaya diri. Maka Kaharoeddin pun mengembalikan seluruh fasilitasnya. Termasuk perabotan rumah dinasnya. Termasuk mobil dinas berplat BA 1. Kaharoeddin memang tegas memisahkan urusan dinas dan urusan pribadi. Hampir tak pernah dia menggunakan fasilitas dinas untuk keperluan pribadi.
Hingga akhir hayatnya, Kaharoeddin tak punya rumah pribadi. Dari dulu, Kaharoeddin menempati rumah dinas polisi di Jl Tan Malaka, Kota Padang. Saat menjabat gubernur, Kaharoeddin memilih tetap tinggal di rumah yang tidak seberapa besar itu. Ketika hendak diberi rumah oleh Pemprov, dia menolak mentah-mentah. Begitu juga ketika polisi menawarinya sebuah rumah. Kembali dia menolak. Hal itu terjadi berulang-ulang. Kaharoeddin tetap memilih tinggal di rumah hak pakai milik Polri. Sampai dia meninggal, Jenderal dan mantan gubernur ini tak punya rumah pribadi. Karena kejujuran dan kesederhanaannya Kaharoeddin yang menjabat gubernur Sumbar tujuh tahun ini tak punya cukup uang untuk beli rumah. Beliau sempat punya sepetak lahan (tanah), tetapi sudah habis dijual untuk mengongkosi keperluan haji bersama istrinya.
Hoegeng Imam Santoso (9 Mei 1968 - 2 Oktober 1971)
Nampaknya masyarakat Indonesia lebih akrab dengan nama Hoegeng, ketimbang nama-nama tokoh yang penulis sebutkan sebelumnya. Gus Dur (alm.) sendiri sampai sempat melontarkan celoteh, "Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng." Kiprah Hoengeng di Kepolisian tidak pula bisa dipandang sebelah mata. Dirinya hanya di bawah senioritas dari RS Soekanto. Hoegeng pula dikenal sebagai sosok pembaharu Kepolisian RI setelah dirinya diberikan kepercayaan menjabat Kapolri selama periode 9 Mei 1968 hingga 2 Oktober 1971. Putera kelahiran Pekalongan (Jawa Tengah) tersebut termasuk salah satu putera bangsa yang pernah mengenyam Kursus Orientasi di Provost Marshall General School pada Military Police School Port, Gordon, Georgia, Amerika Serikat di tahun 1950. Di masa Hoegeng ini pula jabatan Kepala Kepolisian Negara berganti menjadi Kepala Kepolisian RI atau Kapolri.
Kisah mengenai keteladanan Hoegeng selama menjabat di Kepolisian hingga akhir hayatnya dituliskan ke dalam buku, “Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyamanan” yang ditulis oleh Abrar Yusra dan Ramadhan KH (diterbitkan Pustaka Sinar Harapan). Satu ketika, seseorang sempat menyindirnya dengan kabar burung (gosip), apabila Hoegeng punya Mercy baru. Hoegeng dengan tegas langsung bereaksi, “Jangan macam-macam. Saya tak punya Mercedez, bahkan tak punya mobil pribadi. Tak mampu beli!”, tegas Hoegeng. Faktanya memang demikian, Hoegeng hingga akhir hayatnya bahkan tidak memiliki mobil pribadi. Jabatan bukanlah menjadi kesempatan untuk menambahkan pundi-pundi kekayaan, tetapi menjadi sebuah pengabdian. Sungguh bertolak belakang dengan perwira-perwira polisi saat ini yang sudah memiliki sendiri mobil pribadi, bahkan mobil mewah dengan jumlah lebih dari satu unit.
Ibu Merry Roeslani, istri Hoegeng menjadi saksi hidup betapa keteguhan suaminya untuk meminta menutup toko bunga miliknya. Istrinya memiliki usaha sampingan untuk menutup kekurangan pendapatan suaminya yang pas-pasan di masa itu. Ketika itu, Hoegeng diberikan amanah untuk menjadi Kepala Jawatan Imigrasi (sekarang disebut Dirjen Imigrasi). Sehari sebelum dilantik (di tahun 1960), Hoegeng meminta Merry menutup toko bunga tersebut. Tentu saja hal ini menjadi pertanyaan istrinya. Apa hubungannya dilantik menjadi kepala jawatan imigrasi dengan menutup toko bunga. "Nanti semua orang yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu, dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya," jelas Hoegeng. Istri Hoegeng yang selalu mendukung suaminya untuk hidup jujur dan bersih memahami maksud permintaan Hoegeng. Dia rela menutup toko bunga yang sudah maju dan besar itu.
Sejak awal kemerdekaan, jawatan imigrasi dikenal sebagai sarang korupsi dan penyelundupan. Itulah alasan Presiden Soekarno mengkaryakan Hoegeng di posisi tersebut. Benar saja, Hoegeng tak memanfaatkan jabatannya untuk mengeruk kekayaan. Padahal imigrasi dikenal sebagai 'lahan basah' bagi para PNS untuk memperkaya diri. Semasa dikaryakan sebagai kepala jawatan Imigrasi, Hoegeng masih tetap mengenakan seragam polisi. Dia hanya mau mengambil gajinya dari kepolisian. Gaji dan tunjangan sebagai kepala jawatan imigrasi tak disentuh. Padahal, kondisi ekonomi di masa itu merupakan masa-masa sulit.
Mengenai kejujurannya, Presiden Soekarno pun mengakuinya. Bangsa Indonesia di masa itu cukup beruntung memiliki putera bangsa seperti Hoegeng Imam Santoso. Pada tahu 1965, Hoegeng berhenti menjabat kepala jawatan imigrasi. Dia diangkat menjadi menteri iuran negara (kini disebut bea dan cukai). Di sinilah Hoegeng membongkar kasus penyelundupan tekstil besar-besaran. Tahun 1966, setelah bertugas di luar Polri selama enam tahun, Hoegeng kembali ke Korps Bhayangkara. Dia menjabat Wakapolri yang pada saat itu bernama Deputi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Tahun 1968, Hoegeng dilantik menjadi Kapolri. Lagi-lagi dia masih mempertahankan gaya sederhananya. Hoegeng menolak mobil dinas sedan mewah dan memilih jip.
Puncak karirinya sebagai Kapolri di tahun 1968 dimanfaatkan dengan baik untuk membenahi institusi kepolisian RI. Istilah 'rekening gendut' di masa itu sudah ada, bahkan sudah ada sejak awal organisasi kepolisian berdiri di republik ini. Hoegeng benar-benar menjalankan tugasnya sebagai Kapolri secara profesional, tanpa pandang bulu. Terutama di institusi kepolisian yang dipimpinnya saat itu. Segala aturan diperketat, hingga memperkecil ruang gerak aparat kepolisian untuk mencari celah melakukan praktik penyalahgunaan jabatan dan kewenangan. Mirip sekali dengan karakter Kaharoedin yang dikenal cukup kuat dan keras terhadap pendiriannya.
Hoegeng tidak lama menjabat Kapolri. Ada rumor, beliau diberhentikan secara hormat, karena sering berurusan (mengganggu) dengan kekuasaan. Salah satunya yang tak luput dari pengamatan Hoegeng adalah kasus “Sum Kuning” di Yogyakarta yang nyaris saja menyeret pelaku perkosaan yang dilakukan oleh anak-anak pejabat dan petinggi keraton di Yogyakarta. Namun, begitu Hoegeng tidak lagi menjabat sebagai Kapolri, kasus tersebut hilang ditelan bumi. Tetapi kasus yang membuatnya diberhentikan adalah ketika Hoegeng terus menyeret kasus penyelundupan mobil mewah melalui Pangkalan TNI-AU di Halim Perdana Kusuma yang dilakukan oleh Robby Cahyadi. Kasus ini kemudian bergulir semakin panjang hingga akhirnya menyeret nama keluarga Cendana (Socio Politica). Sekalipun demikian, Hoegeng tidak bergeming, serta tetap menunjukkan integritasnya. Hoegeng sempat nyaris dikriminalisasikan karena kasus proyek pabrik helm, karena kebijakannya yang ketika itu mewajibkan pengendara bermotor roda dua menggunakan helm. Hoegeng sempat ditawari oleh Presiden Soeharto jabatan dubes di Eropa, tetapi Hoegeng dengan tegas menolaknya.
Selepas tidak menjabat lagi sebagai Kapolri, Hoegeng masih terlihat aktif memberikan perhatian kepada Polri. Sebagai sosok polisi yang paling dihormati di masa itu, Hoegeng seringkali mendapati laporan dari tokoh masyarakat tentang perilaku personil kepolisian. Puncaknya di tahun 1977, Hoegeng mendapat informasi dari seorang perwira menengah polisi berdinas sebagai provos tentang dugaan tindakan korupsi sejumlah perwira tinggi polisi di bagian jawatan keuangan. Setelah melakukan investigasi, Hoegeng segera menulis sebuah memo pribadi kepada Kapolri saat itu, Jenderal Polisi Widodo Budidarmo, isinya, Hoegeng mengkritik habis-habisan perilaku polisi bergaya hidup mewah. Dalam memo tersebut dituliskan:
"Wid, sekarang ini kok polisi sudah kaya-kaya, sampai-sampai sudah ada yang punya rumah mewah di Kemang. Dari mana duitnya itu," tanya Hoegeng kepada Widodo dalam memo.
Karena tidak mendapatkan respon baik dari kapolri, Hoegeng mengambil langkah tegas untuk membongkar kasus itu. Hoegeng sengaja membocorkan dugaan korupsi di jawatan keuangan Polri itu kepada beberapa media. Hasilnya, tidak lama kemudian meledaklah kasus dugaan korupsi mencapai Rp 6 miliar itu di surat kabar nasional. Ibarat bola salju yang terus menggelinding, hingga akhirnya mendapatkan tindak lanjut dari penegak hukum (Merdeka.Com, Minggu, 14 Oktober 2012, 13.58).
Kisah mengenai Hoegeng sempat diangkat ke acara Kick Andy. Ketika itu, Andy Noya menghadirkan istrinya, ibu Merry dan puteranya. Mereka mengingat-ingat kembali betapa keteladanan ayahnya yang sangat sulit ditemukan pada kepolisian saat ini. Misalnya saja, puteranya pernah berkeinginan untuk masuk ke Akabri Udara. Cita-citanya sejak kecil yang diinspirasikan oleh pilot-pilot pemburu di masa lalu. Mendengar keinginan anaknya, Hoegeng tidak merespon. Sampai akhirnya, Hoegeng memberikan pilihan yang membuat anaknya sulit untuk menolak. Demi menjaga reputasi ayahnya, anaknya kemudian memilih untuk tidak mendaftarkan diri ke Akabari Bagian Udara (sekarang Akademi Angkatan Udara). Tentu saja, anaknya hampir bisa dipastikan akan diterima, tetapi bukan karena dirinya, melainkan karena ayahnya. Sebenarnya tidak ada larangan, bahkan akademi angkatan bersenjata memang memberikan jatah untuk anak-anak jenderal untuk masuk ke militer.
Penutup
Sesungguhnya masih teramat panjang kisah-kisah yang belum bisa dituliskan pada posting di sini. Butuh buku besar untuk mendokumentasikan keteladanan mereka para abdi Bhayangkara. Di masa mereka belum ada aturan hukum yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana korupsi seperti sekarang ini. Terkait dengan sosialisasi tentang implementasi pendidikan anti korupsi, sangat disayangkan pihak Polri justru tidak memberikan referensi yang seluas-luasnya kepada masyarakat. Seperti yang penuliskan sampaikan di sini, bagaimana mungkin seorang tokoh seperti Anwar Maksoem tidak ditemukan fotonya di mesin pencari paling terkenal di dunia (Google). Apabila KPK menerbitkan buku tentang pemahaman tindak pidana korupsi, pihak Kepolisian RI bisa menerbitkan biografi tentang keteladanan tokoh-tokohnya sendiri yang patut untuk diteladani.
Memang bisa untuk dipahami mengenai masih rendahnya gaji personil Kepolisian di Indonesia dibandingkan dengan kebanyakan negara-negara lain. IPW bahkan sempat merekomendasikan agar gaji polisi disesuaikan dengan standarisasi PBB (Gatra, Senin, 2 Juli 2012, 13.23). Bahkan Wakapolri Nana Sukarna sendiri sempat melontarkan keluhan tentang gaji polisi dan perilaku korup. IPW dan Polri mungkin mesti berkaca dengan sejarah Kepolisian yang tumbuh dan berkembang di masa-masa yang sulit, tetapi masih mampu memunculkan tokoh-tokoh yang begitu kuat integritasnya. Persoalannya yang sebelumnya sempat disindir oleh Hoegeng terdapat pada gaya hidup dari personil kepolisian. Memang benar, gaji polisi di Indonesia mungkin tidak ideal apabila dibandingkan dengan gaji polisi di negara-negara tetangga. Tetapi patut dicermati pula, bahwa negara saat ini sedang mengalami kesulitan dalam pengelolaan APBN. Satu-satunya cara untuk bisa menyelamatkan APBN dan kemudian akan meningkatkan kesejahteraan Polri adalah dengan memperkuat integritas individunya sendiri.
Sehubungan dengan telah diterapkannya pendidikan anti korupsi di sekolah dan perguruan tinggi, pihak Kemendikbud RI sebaiknya menggali kembali tokoh-tokoh yang patut untuk diteladani di negeri ini. Pendidikan anti korupsi bukan semata membicarakan tentang pola tindak pidana korupsi dan pencegahannya, melainkan berisikan pula muatan pendidikan moral (karakter).
Yogyakarta, 14 Maret 2013
(http://leo4kusuma.blogspot.com/)
Komentar
Posting Komentar