Lima puluh tiga tahun yang lalu, tepatnya
pada tanggal 14 November 1961, satuan korps paramiliter yang berada
dibawah naungan Kepolisian Republik Indonesia didirikan, yakni Korps
Brigade Mobil (Korps Brimob/Brimob). Pada masa itu, Brimob didirikan
ketika Polri dan TNI masih tergabung dalam satu komando, yakni Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Cikal bakal Brimob sendiri dapat
ditelusuri pada zaman perjuangan awal kemerdekaan pasca Proklamasi 1945.
Pada masa itu, dibentuklah Tokubetsu Keisatsutai atau Pasukan
Polisi Istimewa, yang bertugas untuk melucuti senjata tentara Jepang,
melindungi kepala negara, dan mempertahakan ibukota. Pada 14 November
1946, Perdana Menteri Sutan Syahrir mendirikan instansi pengganti Tokubetsu Keisatsutai,
yakni Mobile Brigade. Di tahap inilah prinsip paramiliter yang
dijunjung Brimob masa kini berakar, karena semenjak tanggal 1 Agustus
1947, Mobile Brigade berperan sebagai satuan militer untuk menangani
peristiwa konflik bersenjata dalam negeri. Barulah pada tanggal 14
November 1961, Mobile Brigade dirubah menjadi Brigade Mobil, yang
bertugas untuk membantu kepolisian dalam menangani kejahatan dengan
tingkat intensitas tinggi yang menggunakan senjata api dan bahan peledak
dalam operasi yang membutuhkan respon cepat, menangani huru-hara (riot), dan menjinakkan bom.
Menurut East Timor and Indonesia Action Network (ETAN),
Brimob dilaporkan telah menangani puluhan konflik bersenjata dan
konflik etnis yang berujung pada terjadinya pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh personil Brimob yang ditugaskan dalam menangani konflik
tersebut di wilayah Papua, Timor Timur, Aceh, Maluku, dan Sulawesi.[1]
Pada laporan yang dikeluarkan oleh ETAN tersebut, tercatat bahwa dari
tahun 1999-2008, Brimob telah melakukan puluhan pelanggaran HAM dan
pelanggaran kode etik sebagai anggota kepolisian pada konflik bersenjata
di kelima wilayah tersebut.[2]
Selain pelanggaran HAM yang dilakukan,
beberapa anggota Brimob juga seringkali berkonflik dengan beberapa
anggota TNI. Seperti yang dilansir oleh Tempo.co,
pada tanggal 21 September 2014 terjadi bentrokan antara personil Brimob
dengan TNI-AD di Provinsi Riau yang menyebabkan empat orang korban
personil TNI-AD.[3]
Menurut sebagian pihak, bentrok personil antara Brimob dengan TNI
disebabkan karena adanya ego dan jiwa korsa dari masing-masing pihak
yang bertikai.[4]
Sifat Brimob sebagai satuan polisi
berkarakteristik paramiliter yang menimbulkan problematika tersendiri
menimbulkan reaksi dari Polri. Kurun waktu 1999-2007 ditandai dengan
proses perubahan Brimob secara organisasional untuk menyesuaikan ‘watak
sipil’ yang diterapkan dalam perpolisian.[5] Tuntutan tersebut kebanyakan datang dari kalangan yang memperjuangkan penegakan HAM yang beriringan dengan penegakan hukum.[6] Salah satu contohnya seperti proyek pengadaan booklet
yang merupakan hasil kerjasama dari Partnership for Governance Reform
(Kemitraan Partenership), Pusdiklat Korps Brimob, dan Sentra HAM FH-UI
bagi personil Korps Brimob.[7]
Eksistensi Brimob yang memiliki karakter
paramiliter yang santer merupakan persoalan utama yang harus dihadapi,
bukan hanya oleh kepolisian, namun para pemangku jabatan dan masyarakat.
Karakter paramilitersitik yang tertanam dalam personil dan organisasi
Brimob membentuk budaya militer dalam tubuh Polri, dimana Brimob
merupakan bagian di dalamnya. Budaya militer ini menjadi persoalan
ketika bertentangan dengan semangat gagasan diterapkannya prinsip
pemolisian komunitas bagi kepolisian Indonesia. Menurut Muradi,
budaya/karakter/tradisi militer di dalam tubuh Polri, khususnya Brimob
menimbulkan persoalan turunan, meliputi;[8]
- Sentralisasi komando dalam tubuh Brimob
- Metode penyelesaian kasus yang old fashioned
- Keterbatasan keahlian dan keterampilan di lapangan yang berimplikasi pada bagaimana personil Brimob sebagai pelindung dan pengayom menjalin interaksi dengan masyarakat
- Kebijakan pemolisian demokratik yang masih jauh dari harapan
- Struktur kelembagaan yang masih mengalami banyak kendala
- Pemberdayaan personil Brimob yang belum profesional dan demokratik
- Eksklusivisme personil Brimob, semangat korsa yang berlebihan, dan mengidentifikasikan diri sebagai personil paramiliter elit, bukan sebagai polisi
- Pola rekruitmen dan jenjang karir yang berstandar lama.
Berbagai persoalan diatas menimbulkan
pertanyaan khusus yakni; perlukah satuan paramiliter dalam lembaga sipil
penegak hukum yang berorientasi pada pemolisian komunitas? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut maka perlu disadari konsep pemolisian
seperti Brimob tidak hanya terjadi di Indonesia. Konsep dibentuknya
polisi yang memiliki kemampuan paramiliter untuk menangani kejahatan
khusus yang mengandalkan senjata api dengan tingkat kekerasan yang
tinggi juga ada di beberapa negara lain.
Unit Paramiliter di Lembaga Kepolisian Negara Lain
Satuan paramiliter di dalam tubuh
kepolisian juga tidak hanya ada di Indonesia, melainkan juga di negara
lain, semisal Amerika Serikat. Terbentuknya unit paramiliter di tubuh
kepolisian Indonesia dalam bentuk Brimob tak lepas dari konteks historis
kepolisian Indonesia, misalnya, digunakannya Brimob untuk
operasi-operasi militer selama perang mempertahankan kemerdekaan, dan
seiring waktu, Brimob melebur kedalam lembaga kepolisian sipil.
Pembentukan SWAT (Special Weapon and Tactics) di Amerika
Serikat, khususnya di Departemen Kepolisian Los Angeles juga tak lepas
dari konteks historis, namun bukan konteks historis yang sama dengan
Indonesia. Unit paramiliter di dalam tubuh kepolisian Los Angeles
Amerika Serikat terbentuk pada era-1960an, sebagai unit cepat tanggap
untuk menangani kasus kejahatan khusus, terutama kasus kejahatan yang
menggunakan senjata api, gangster, kejahatan terorganisir, terorisme domestik, situasi pembebasan sandera, serta operasi kejahatan yang berisiko tinggi.[9]
Hingga era 2000-an, 80% dari setiap Departemen Kepolisian di daerah
(setingkat Polda) memiliki unit SWAT atau unit lain yang memiliki
kapabilitas yang serupa.[10]
Kehadiran SWAT bukan tanpa masalah. Menurut The Economist, adanya unit paramiliter di dalam tubuh kepolisian Amerika Serikat justru menciptakan trend ketakutan akan personil polisi.[11]
Muncul beberapa kasus dimana personil SWAT dengan menggunakan peralatan
lengkap menyerbu sebuah rumah tanpa peringatan yang diduga sebagai
rumah seorang bandar narkotika.[12]
Ternyata rumah itu hanya berisi seorang perempuan lansia. Terkejut
rumahnya diserbu polisi—yang disangka sebagai perampok—si lansia
tersebut mengeluarkan pistol miliknya dan mengarahkannya ke persoinil
SWAT tersebut. Merasa terancam oleh aksi si lansia tersebut, 5 butir
timah panas di dor ke tubuhnya oleh polisi.
Kritik banyak bermunculan. Apakah
personil polisi dirasa tepat menggunakan taktik penyergapan dengan
peralatan lengkap layaknya personil militer terhadap warga sipil? Selain
itu, tidak terjaminnya akurasi informasi di lapangan juga dapat
mengakibatkan kejadian salah tangkap atau bahkan salah tembak terhadap
warga sipil yang tidak bersalah oleh unit SWAT.[13]
Dalam tulisan ini saya berpendapat bahwa,
sebagai bagian dari kepolisian Indonesia, Brimob harus mampu berperan
sebagai satuan polisi yang mengedepankan gagasan pemolisian komunitas
dalam berkinerja. Brimob harus mampu berperan sebagai lembaga kepolisian
yang menanggalkan tradisi militeristiknya, prosedur penanganan kasus
yang bersifat tradisional, meninggalkan tradisinya sebagai combatant, menjunjung tinggi demokrasi, dan berorientasi pada komunitas.
Dalam hal pemberlakuan prinsip demorasi
dalam pemolisian, Leonardo Morino menjelaskan bahwa ada empat hal yang
perlu diperhatikan dalam penerapan pemolisian komunitas yakni;[14]
- Akuntabilitas/transparansi,
Berpedoman pada prinsip akuntabilitas,
setiap kegiatan dan hasil akhir dari suatu kegiatan yang
diselenggarakan oleh lembaga negara harus dapat dipertanggung-jawabkan
di tingkat internal, negara, masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi, maupun badan badan pengawas
eksternal independen. Dalam prinsip akuntabilitas mengandung unsur transparansi
yang mendasarkan diri untuk membuka diri pada hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif.
- Ketanggapan/Partisipatif
Berpedoman pada prinsip ketanggapan dan partisipatif ,
lembaga negara, misalnya POLRI, dalam melaksanakan tugas pokoknya harus
memberlakukan kebijakan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat yang
dilayaninya.
- Perlindungan HAM
Berpedoman pada prinsip kebebasan atau kemampuan memberikan jaminan dan perlindungan HAM, lembaga
negara, misalnya POLRI, dalam melaksanakan tugas pokoknya harus
menjamin kebebasan warga negara untuk mengeluarkan pendapatnya serta
menjamin hak asasi manusia berdasarkan norma hukum, mengindahkan norma
agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
- Kesamaan Sosial, Politik, dan Ekonomi
Kepolisian harus melaksanakan tugasnya
memlihara kamtibmas, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi, dan
melayani masyarakat harus adil, berdasarkan persamaan polirtik, sosial,
ekonomi. Oversight, proses monitoring. Civil oversight; pengawasan
tindakan/kebijakan polisi oleh rakyat sebagai salah satu komponen
penting dalam masyarakat demokratis. Kesediaan polisi untuk diawasi oleh
sipil sebagai cara merefleksikan polisi yang menghormati hukum, ham dan
kebebasan
Jika keempat prinsip tersebut tidak dapat
dilakukan, maka saya berpendapat bahwa satuan Brimob lebih baik dilebur
kedalam satuan kerja lain di dalam tubuh kepolisian, seperti Den 88,
Reskrim, PHH, Patroli, dsb. Peleburan satuan Brimob tersebut dapat
memberikan dampak penghematan biaya pengeluaran kepolisian Indonesia.
Dengan dileburkannya Brimob ke dalam satuan lain juga secara langsung
meluluhkan tradisi militeristik yang selama ini dijunjung oleh Brimob,
menghilangkan atribut-atribut kemiliteran Brimob yang selama ini identik
dengan TNI.
[1] East Timor and Indonesia Action Network. Background on Kopassus and Brimob. http://www.etan.org/etanpdf/2008/Background%20on%20Kopassus%20and%20Brimob.pdf. Diakses pada 26 Oktober 2014.
[2] Ibid
[3] Irfany, Robby. (2014). Bentrok TNI-Polri Terkait Penggerebekan BBM. Tempo.co. http://www.tempo.co/read/news/2014/09/22/078608790/Bentrok-TNI-Polri-Terkait-Penggerebekan-BBM. Diakses pada 26 Oktober 2014.
[4] Wijaya, Indra. (2014). Personil TNI-Polri Sering Bentrok, Ini Alasan KSAD. Tempo.co. http://www.tempo.co/read/news/2014/02/26/078557844/Personel-TNI-Polri-Sering-Bentrok-Ini-Alasan-KSAD. Diakses pada 26 Oktober 2014
[5] Pustaka Universitas Padjajaran. Brigade Mobil Polri: Menuju Unit Polisi Paramiliter yang Profesional dan Demokratik. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2013/08/brimob-lesperssi.pdf. Diakses pada 26 Oktober 2014.
[6] Ibid.
[7] Kemitraan Partnership; Pusdiklat Korps Brimob; Fakultas Hukum Universitas Indonesia. (2009). Modul Pelatihan HAM Bagi Anggota Brimob Kepolisian Negara Republik Indonesia. Partnership for Governance Reform. Jakarta
[8] Op. Cit. Pustaka Universitas Padjajaran
[9] LAPD. http://www.lapdonline.org/metropolitan_division/content_basic_view/848. Diakses pada 27 September 2014
[10] The Economist. Paramilitary police; Cops or soldiers? America’s police have become too militarised. http://www.economist.com/news/united-states/21599349-americas-police-have-become-too-militarised-cops-or-soldiers. Diakses pada 27 September 2014
[11] Ibid.
[12] Popular Mechanics. SWAT Overkill: The Danger of a Paramilitary Police Force. http://www.popularmechanics.com/technology/military/paramilitary-police-force-ferguson. Diakses pada 27 Oktober 2014.
[13] Ibid
[14] Dermawan, Mohammad Kemal. (2011). Pemolisian Komunitas. Penerbit FISIP-UI. Depok. Jawa Barat
Pemuda itu lahir pada 6 Agustus 1994.
Laki-laki dan berasal dari keluarga single parent. Sejak kecil, pemuda
itu terbiasa menjadi pemimpin keluarga di rumahnya, sehingga sifatnya
cenderung straight to the point, tidak suka berbasa-basi, dan kaku. Jika
menginginkan sesuatu, pasti didapatnya. Jika dimintakan tolong, pasti
dikerjakannya. Dia terbiasa bekerja di dalam sebuah struktur. Setia
terhadap teman, loyal kepada atasan. Terkadang pendiam dan terlalu
serius terhadap suatu hal. Dia mencintai studinya saat ini di
Kriminologi FISIP UI. Pendiriannya terkadang tidak sekeras raut
wajahnya. Pada dasarnya ramah, namun butuh pendekatan yang berbeda.
Menyukai film yang ber-genre serius dan humor. Saat ini dipercaya
sebagai Pemimpin Redaksi wepreventcrime.
Komentar
Posting Komentar