Kilau emas acap bikin silau. Jauh pun ditempuh. Apa saja lakukan asalkan
bijih emas itu bisa sampai ke tangan. Termasuk mengekstrak emas dengan merkuri
yang dapat mendatangkan tragedi lingkungan.
============
Sudah
berkali-kali ditutup, bahkan sampai Presiden memerintahkan penutupan pada 7 Mei
2015 lalu, pertambangan emas ilegal Gunung Botak, Desa Kayeli, Pulau Buru, terus
saja beroperasi. Para petambang yang bermimpi bakal mengantongi bongkahan emas
itu melakukan perlawanan saat hendak ditutup.
Terlihat
Sabtu (14/11) lalu sejumlah petambang di lokasi tambang liar Gunung Botak,
Kabupaten Buru, Maluku, menolak perintah aparat untuk meninggalkan tempat
tersebut. Beberapa di antaranya melawan petugas sehingga terpaksa diamankan. Petugas
mulai menyisir petambang yang masih bertahan di Gunung Botak hari itu.
Sekitar
500 personel gabungan dari TNI dan Polri bertugas melakukan penyisiran di sana.
Mereka dibantu Satuan Polisi Pamong Praja bersama beberapa lembaga swadaya
masyarakat serta masyarakat adat setempat. Fokus penyisiran dilakukan di puncak
gunung yang diperkirakan masih ditempati ribuan petambang.
Kepala
Bagian Operasional Kepolisian Resor Pulau Buru Ajun Komisaris Agung Tribawanto
menyatakan, ada petambang yang menolak ditertibkan. Mereka melakukan perlawanan
sehingga diamankan anggota TNI yang lebih dulu mendatangi lokasi itu. Jumat (13/11)
lalu, pimpinan TNI dan Polri setempat mendatangi lokasi itu.
Sekitar
pukul 12.40 WIT hari Sabtu itu, pasukan dari kepolisian bergabung di lokasi
untuk melakukan penyisiran. Sejumlah petambang di puncak bersiap mengosongkan
Gunung Botak. Lebih dari 80 persen petambang berasal dari luar Pulau Buru.
Sebagian dari mereka sudah meninggalkan daerah tersebut, awal pekan lalu.
Kemudian
Selasa (17/11) malam sebanyak 1.328 orang petambang yang beroperasi di kawasan
tambang ilegal Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, berangkat meninggalkan Namlea,
ibukota Kabupaten Buru, menggunakan KM Gunung Sinabung.
"Ribuan
petambang bersama keluarganya yang berangkat dengan KM Gunung Sinabung tersebut
berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan instansi teknis terkait," kata
Mansur, salah seorang petugas KPLP Pelabuhan Namlea, sebagaimana dikutip kepada
Antara.
Para
petambang yang berangkat dengan KM Gunung Sinabung tersebut akan kembali ke
daerah asal mereka di Provinsi Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Gorontalo.
Pantauan
Antara, para petambang saling berebutan naik ke tangga kapal sambil
membawa barang-barang mereka yang telah diambil dari lokasi tambang Gunung
Botak.
Pintu
masuk pelabuhan dan tangga kapal terlihat dijaga ketat puluhan personil TNI dan
Polri, dan memeriksa barang bawaan maupun tiket masing-masing.
Ratusan
petambang di antaranya tidak memiliki tiket dan terlibat saling dorong di depan
pintu masuk dan memaksa naik ke kapal, namun dihalangi aparat keamanan,
sehingga mereka terlibat aksi adu mulut dengan petugas.
Setelah
dilakukan negosiasi dengan para petugas serta pihak kapal, akhirnya 100 orang
petambang yang tidak memiliki tiket diperbolehkan naik kapal dan berangkat,
tapi hanya sampai di Pelabuhan Yos Sudarso Ambon saja.
Memang
tidak mudah menutup areal tambang emas Gunung Botak yang telanjur dipadati
ribuan petambang sejak empat tahun terakhir. Akibat penambangan liar itu
kawasan Gunung Botak menjadi gersang dan pohon-pohon merangas.
Namun
kondisi itu bukan hal aneh bagi Mahani, salah seorang petambang emas yang
sehari-harinya mengais rejeki di Gunung Botak. "Ada air yang bersih, ada
yang tidak. Ada batu-batu jatuh. Lalu ada bukit tinggi sekali. Ada batu jatuh
kena orang. Gunung itu tinggi, tinggi sekali. Orang jalan juga sulit karena
kalau hujan, licin," ungkap Mahani sembari menambahkan korban yang jatuh
karena longsor bisa menderita patah kaki, tangan atau bahkan lebih parah lagi.
"Ada
orang yang meninggal. Dalam seminggu atau dua hari, bisa ada yang meninggal dua
sampai tiga orang karena tertimbun tanah longsor. Di waktu hujan, tanah digali,
longsor," kata Mahani.
Selain
menimbulkan korban jiwa karena kondisi alamnya yang keras, Gunung Botak juga
memunculkan korban jiwa akibat perebutan emas antar-petambang. Namun, walau
sudah mengetahui dampak buruk tambang emas ilegal, Mahani dan ribuan warga
lainnya masih ingin mendulang logam mulia tersebut.
"Karena
dengan kerja seperti ini, petambang bisa beli mobil, punya tromol, ada rumah
yang bisa berubah (direnovasi). Anak-anak juga bisa sekolah. Jadi petambang ini
biar susah, tetap usaha kita agar anak-anak bisa sekolah, kuliah," tutur
Mahani.
Penambangan
emas sesungguhnya memiliki dampak lain, yang baru dapat diketahui beberapa
tahun kemudian. Yuyun Ismawati, pegiat lingkungan dari Balifokus, menjelaskan
bahwa untuk dapat mengekstrak emas dibutuhkan merkuri atau yang lazim dikenal
dengan air raksa.
Ketika
emas dibakar untuk menghasilkan warna kilau yang dikenal masyarakat, merkuri
juga ada di udara, jelas Yuyun.
"Uap
merkuri ini linger (masih tertinggal) di udara sekitar 1,5 tahun. Waktu
hujan turun, uap merkuri akan terbasuh lalu terdeposisi di sawah, air, tanah,
jadi turun. Tapi masih ada sisanya di udara," ungkap Yuyun.
Efek
merkuri ini, menurut Yuyun, sangat buruk bagi wanita hamil. "Banyak bayi
lahir cacat, itu sudah banyak kasusnya. Kemudian di Kalimantan kita bisa lihat,
terutama Kalimantan Tengah, ada satu kampung yang bayi atau anak-anak mereka semua
bibir sumbing. Di Lombok ada anak umur dua tahun tremor," terang Yuyun.
Kendati
begitu, individu yang kondisi fisiknya sehat pun harus waspada terhadap merkuri
karena dapat menyebabkan darah tinggi, pusing, rasa mual bahkan stroke.
Agar
merkuri tidak digunakan dalam penambangan emas, pegiat lingkungan Ahmad Ashov
Birry dari Greenpeace memberi solusi. "Pertama, substitusi dari bahan itu
sendiri. Kedua, apabila bila tidak ada penggantiya, harus dicari substitusi
pada proses. Lalu yang ketiga, substitusi pada materialnya," ujar Ahmad.
Sudah
sejak tahun 2012 lalu merkuri mencemari lingkungan Gunung Botak. Dinas
Kesehatan Maluku memastikan sumber air masyarakat dan sungai di kawasan
penambangan emas Gunung Botak tercemar merkuri.
"Pencemaran
akibat logam mulia terungkap berdasarkan hasil penelitian Balai Teknik
Kesehatan Lingkungan (BTKL) Ambon pada November 2012," kata Kadis
Kesehatan Maluku Ike Pontoh di Ambon waktu itu.
Pencemaran
meliputi delapan lokasi. "Batas normal yakni 0,001 mg per liter, namun
hasil penelitian menunjukkan melebihi yakni bervariasi 0,061-0071 mg per
liter," terangnya.
Delapan
lokasi tersebut adalah Wansait, Anahony, Masarette, Waigenangan, Waitenat Mako
(Waeapo), Kayeli, Kaki Air dan Gunung Botak jalur D1 ataupun D2.
"Pencemaran
karena penggunaan merkuri ini juga terungkap berdasarkan hasil penelitian Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Maluku," kata Pontoh.
Hasil
penelitian tersebut, tegas Pontoh, menjadi pertimbangan oleh Gubernur Maluku
(saat itu) Karel Albert Ralahalu bersama Kodam XVI/Pattmura dan Polda Maluku
untuk menutup aktivitas penambangan emas di Gunung Botak pada 5 Desember 2012. Dan
penutupan itu ternyata gagal.
Bagaimana
pula dengan dampak tanah longsor, penambang yang celaka, dan konflik antar-petambang?
Awal Desember 2012 sempat terjadi bentrok antar-petambang yang menewaskan lebih
dari satu orang.
Deputi
Pencemaran Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup, Karliansyah,
mengungkapkan, "Ada aturan main yang mengharuskan pemerintah untuk
mengalokasikan wilayah tertentu untuk wilayah pertambangan rakyat. Di sini
pemerintah bisa masuk, bisa membantu kajian lingkungannya, kemudian membantu
pengendalian dampak lingkungannya, termasuk limbahnya. Tapi yang kita lihat
selama ini kan, banyak wilayah-wilayah yang dieksploitasi oleh yang menamakan
dirinya masyarakat," kata Karliansyah.
Sebab
itu, Karliansyah berharap masyarakat memiliki kesadaran bahwa tambang emas yang
mereka gali bukan semata-mata untuk kelangsungan hidup mereka, namun juga untuk
lingkungan semua habitat. (*)
Komentar
Posting Komentar